Karena faktor ekonomi, masih banyak orang Indonesia yang mengonsumsi kopi dengan campuran jagung. Soal rasa, lidah bisa terbiasa. Maka, tak heran bila orang asing terkejut betul mencicipi rasa kopi oplosan tersebut.
“Yang seperti ini kok dikasih ke manusia?!”
Itulah reaksi spontan teman Pujo Semedi Hargo Yuwono asal Eropa setelah menyesap kopi jagung untuk pertama kalinya. Pujo, antropolog asal Universitas Gadjah Mada, menyayangkan budaya yang terkonstruksi sejak era kolonial Belanda tersebut. Sejak ratusan tahun silam, kopi terbaik dari tanah Jawa memang telah diekspor ke Eropa, sementara masyarakat lokal hanya kebagian produk kelas dua.
Masalah ini menjadi salah satu pembahasan dalam film dokumenter Aroma of Heaven (Biji Kopi Indonesia) hasil karya Perum Produksi Film Negara (PFN) bekerja sama dengan Budfilm, Traffic Production dan GoodNews Film. Film ini diputar pertama kali untuk pers di Blitz Megaplex Grand Indonesia pada 30 Mei 2014, dan kemudian ditayangkan secara reguler pada 3 Juni.
Film ini mencoba mengangkat sejarah dan identitas kopi di berbagai belahan Tanah Air yang mendorong tumbuhnya kultur masyarakat setempat. Disebutkan bahwa di awal abad ke-18, kopi asal tanah Jawa telah membangun reputasinya di Eropa.
Bahkan, hingga pertengahan abad ke-19, kata “Java” di Eropa identik dengan kopi. Oleh karena itu, masyarakat Eropa pada masa itu terbiasa menyebut secangkir kopi sebagai “a cup of Java”.
Industri kopi lokal pun terus berkembang, hingga akhirnya Jawa berhasil jadi produsen kopi terbesar untuk masyarakat Eropa. Pada 1878, pemerintah Hindia Belanda sampai menerapkan sistem transportasi biji kopi dengan menggunakan saluran pipa bawah tanah untuk menghindari pencurian. Sisa peninggalannya masih bisa kita temukan saat ini di Desa Jolotigo, Pekalongan Selatan.
Namun, antusiasme akan kopi tak hanya ada di tanah Jawa. Sejak lama, penduduk Gayo, Aceh, juga merasakan hal serupa. Kopi asal Gayo memang terkenal berkualitas tinggi. Tak heran, warga setempat secara umum menggantungkan hidupnya dari hasil kebun kopi.
“Kopi adalah kompleksitas,” ujar pengamat kopi asal Gayo, Mahdi Usati. “Orang Gayo sekolah dari kopi, makan dari kopi, istilahnya meninggal juga harus dari kopi.”
Sayangnya, kebesaran nama kopi Gayo tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat di sana. Mereka kerap menjual murah ke agen sehingga tak mendapatkan keuntungan setimpal atas harumnya nama kopi Gayo di mata dunia.
“Jadi seperti menanam pisang, tapi harus beli pisang goreng untuk dimakan,” kata Mahdi kembali.
Hal ini juga terjadi di belahan timur Indonesia, tepatnya di Ruteng, Manggarai, NTT. Warga lokal sendiri menyebut Ruteng sebagai pusat perdagangan kopi sejak kira-kira seabad silam. Di sana, bahkan kopi yang belum matang dan masih berwarna kekuningan bisa menghadirkan cita rasa nan istimewa.
Hanya saja, kopi asal Ruteng kerap dikirim ke Surabaya untuk kemudian diekspor oleh perusahaan-perusahaan besar. Bercampur dengan jenis kopi lain, kopi Ruteng telah kehilangan identitasnya sejak diambil oleh tangan pertama. Hal inilah yang membuat nama Ruteng tak sepopuler Gayo atau Toraja di kalangan pecinta kopi dunia.
Padahal, kopi telah mengakar begitu kuat di sana. Pada umumnya, orang-orang Manggarai menyebut kopi sebagai colol. Mayoritas masyarakat setempat juga merupakan petani kopi, profesi yang telah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Inilah masalah yang secara umum terjadi di Indonesia. Dikenal sebagai salah satu produsen kopi terbaik di dunia, sementara petaninya masih banyak hidup di bawah sejahtera. Mengekspor kopi mahal arabika, rakyatnya gemar minum kopi murah robusta.
“Kita tak boleh menyalahkan taste masyarakat yang dibentuk dari perusahaan kopi besar,” kata Toni Wahid, pendiri Cikopi.com. “Kopi adalah pengalaman pribadi. Jadi tidak ada kopi yang paling enak, semua tergantung subjektivitas individu.”
Melalui film Aroma of Heaven, para penonton seakan diajak untuk merenungkan kekayaan di tengah kemiskinan bangsa. Banyak sisi diangkat, dari sejarah, kondisi perkebunan lokal, hingga kopi sebagai kultur nusantara. Namun, justru itu yang jadi titik lemahnya. Tak ada fokus mendalam pada masing-masing permasalahan sehingga pembahasan yang ada terkesan hanya menyentuh kulit luar.
“Memang, ada begitu banyak yang kita ambil di sini. Namun, film ini hanyalah prolog yang akan diurai lebih lanjut ke depannya. Proyek selanjutnya, kami ingin mengangkat secara spesifik perihal identitas kopi di berbagai kota, entah di Gayo atau di Flores misalnya,” kata sang sutradara, Budi Kurniawan.
Sebelum melakukan pengambilan gambar, Budi sendiri telah melakukan riset mendalam selama tiga hingga empat tahun. Lebih lama dari proses produksi yang berlangsung selama dua setengah tahun. Budi mengakui, pengumpulan dan akses materi riset soal kopi dari zaman kolonial Belanda menjadi salah satu kendala yang mengulur waktu lebih lama.
Namun, semua itu dirasanya tak sia-sia. Dengan sumber daya yang terbatas, Budi dan kawan-kawan mencoba mengembalikan kopi pada esensi utamanya, yaitu membuka mata. Diharapkan, film dokumenter ini dapat membuka mata banyak orang tentang asal usul, serta kompleksitas yang terbangun dalam ratusan tahun sejarah kopi di nusantara.
Seperti kata Pujo sang antropolog, “Ini adalah hasil keringat dan kerja keras bangsa. Mari kita apresiasi, mari kita minum.”
***
30 may kapan tayangnya ya? Tahun ini kah? Atau tahun yg sdh lewat? Nice post
wah sayang sekali ini tulisan dari setahun lalu, dan filmnya perdana tayang pada Mei tahun 2014 🙁
btw, terima kasih banyak ya telah membaca :))