Banyak partitur tergantung di langit-langit, berdampingan dengan foto-foto penciptanya, Ismail Marzuki, dari berbagai zaman. Sang komponis telah mencipta setidaknya 240 lagu semasa hidupnya dengan berbagai tema, dari perjuangan hingga luapan asmara. Patung setengah badannya yang seukuran satu setengah kali tubuh orang dewasa juga terpampang megah di sebelah kanan ruangan. Aroma sejarah terasa begitu kental menyelimuti.
Hanya ada satu orang penjaga di sana. Ia sedang asyik berkeliling sembari membersihkan ruangan kala serombongan anak-anak dengan pakaian warna-warni masuk bersama memecah keheningan.
“Katanya kita mau diajak rekreasi!”
“Enggak ada permainan perang bintang, enggak ada istana boneka!”
“Ini banyak foto-foto juga kita enggak ada yang tahu itu siapa!”
Untunglah sang pemandu wisata, Niken Flora Rinjani, segera menenangkan. Niken mulai bercerita soal siapa itu Ismail yang dahulu akrab disapa Maing. Tak sampai di situ, beberapa penyanyi kondang tiba-tiba muncul dalam kotak televisi raksasa di tengah panggung mencoba menghibur anak-anak dengan membawakan lagu-lagu legendaris karya Maing.
Itulah cuplikan operet Ismail Marzuki Sang Pahlawan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, yang diadakan pada 22 Mei 2014. Ia merupakan bagian dari serangkaian acara peringatan seabad sang komponis yang berlangsung hingga 24 Mei. Maing lahir pada 11 Mei 1914 dan meninggal pada 25 Mei 1958.
Operet ini merupakan hasil kolaborasi berbagai pelaku seni. Sebut saja Teater Tanah Air asuhan Jose Rizal Manua, Sanggar Tari Daya Presta pimpinan Retno Marnila Wanti dan Paduan Suara Perguruan Cikini.
Operet ini mengangkat kisah hidup Maing sebagai hidangan utama. Niken dan Maudy Koesnaedi bergantian menyajikan sejarah dalam narasinya di atas panggung.
Semua berawal kala Maing lahir dan besar di Kwitang, Jakarta Pusat. Di sanalah Maing mengenal rebana untuk pertama kalinya. Selain itu, kegemarannya akan musik juga terpengaruh hobi ayahnya sendiri yang kerap memasang piringan hitam di rumah.
Salah satu lagu yang tercipta di awal kariernya, atau tepatnya pada 1944, adalah “Rayuan Pulau Kelapa”. Lagu ini bahkan sempat memenangkan Piagam Wijaya Kusuma dan menarik kekaguman dari pecinta musik luar negeri.
Dalam operet, lagu “Terkenang Tanah Air” dinyanyikan oleh Ecky Lamoh, “Candra Buana” dan “Indonesia Pusaka” oleh Aning Katamsi, serta “O Sarinah” dibawakan Nurria Animbang.
Menariknya, terdapat pula satu lagu Maing yang belum rampung liriknya berjudul “Oh Ayah, Saya Ingin Kawin”. Band rock Slank mendapat kepercayaan untuk mengaransemen serta menggubah lirik lagu tersebut.
Slank membawakannya untuk pertama kali pada 24 Mei, di pergelaran musik yang jadi puncak acara peringatan seabad Maing. Kaka dan kawan-kawan membawakan lagu itu dengan penuh energi dan distorsi. Liriknya pun nakal dan genit seperti yang terdapat dalam lagu-lagu Slank pada umumnya.
Oh Ayah, tolong kawini saya sekarang juga.
Saya sudah tak tahan lagi.
Oh Ayah, saya sudah tak sanggup hidup sendiri lagi.
Saya sudah tak sanggup lagi.
Oh Ayah, tolong kawini saya sekarang juga.
Saya sudah tak tahan lagi.
Oh Ayah, tolong lamar kekasihku untukku.
Usai menyanyikannya, tepuk tangan meriah diberikan penonton.
“Malam ini kita dikasih sebuah kebanggaan, juga sedikit beban. Jadi ada lagunya beliau yang belum selesai, cuma ada notasi dan judul. Kita bangga sekali diminta mengisi liriknya. Mudah-mudahan bisa berkenan, dan ini versinya Slank,” ujar Kaka, vokalis band tersebut.
Banyak penyanyi lintas generasi dalam pergelaran musik ini, seperti Ecky, Diah Iskandar, Ikke Nurjanah, Ivan Nestorman, Michael Jakarimilena, Sundari Soekotjo dan Ubiet. Mereka bernyanyi secara bergantian dengan iringan musik Chandra Buana Chamber Orchestra.
Kemudian, ada pula penyanyi sopran asal Palestina, Mariam Tamari, pemain biola asal Prancis, Nicolas Dautricourt, penari flamenco asal Meksiko, Karen Vanessa Rubio dan pemain perkusi Meksiko, I Jesse Varela.
Pergelaran ini memang tak terpatok pada satu atau dua genre musik saja. Hal ini terlihat kala Sundari membawakan lagu “Tukang Becak Bang Samiun” dengan gaya keroncong dan ketika Ikke menyanyikan “Kampung Halaman” dengan cengkok dangdutnya.
Salah satu yang mendapat sambutan paling meriah adalah lagu “Indonesia Pusaka” yang dibawakan oleh Ecky. Mantan vokalis grup rock Edane ini berhasil melabrak telinga penonton dengan teriakannya yang galak bertenaga sejak lirik awal.
Bisa dikatakan, Maing sukses menyatukan keragaman lewat karya-karyanya. Dari dangdut hingga rock, dari Palestina hingga Prancis. Maka, sungguh memalukan bila generasi muda Tanah Air masih kerap bertanya-tanya soal siapa dan apa yang telah dilakukan oleh Maing semasa hidupnya dahulu.
“Ismail Marzuki itu seorang pahlawan nasional. Lagu-lagunya sangat indah, berisi nilai moral, nilai sosial, kecintaan pada Tanah Air dan kecintaan pada perjuangan. Banyak hal positif dari lagu Ismail Marzuki dan syairnya juga indah. Sayang sekali kalau tertelan zaman dan generasi muda tidak tahu apa-apa soal maestro besar di Indonesia yang tak ada bandingannya dengan musisi lain,” tutur Jose, sutradara operet Ismail Marzuki Sang Pahlawan.
***