Mengintip Puing Kejayaan Kesultanan Banten

Kompleks Benteng Speelwijk di kawasan Banten Lama.
Kompleks Benteng Speelwijk di kawasan Banten Lama. Viriya Singgih.

Butuh waktu setidaknya tiga abad untuk meruntuhkan Keraton Surosowan. Sultan Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, mendirikannya pada 1552. Mulanya ia adalah benteng pertahanan. Namun perlahan Surosowan berkembang jadi pusat pemerintahan. Runtuhnya kesultanan Banten pada 1813 juga diawali oleh penghancuran keraton tersebut oleh pasukan kolonial Belanda. Selewat dua abad, bagaimana nasibnya kini?

Secara kasatmata, tak lagi terlihat sisa kejayaan masa lalu di sana. Reruntuhan bangunan berdiri tak beraturan di sekeliling rumput liar dan padang ilalang. Di pinggir kompleks keraton, para penjaja makanan berkumpul mencari pelanggan. Mobil-mobil berdesakan di lahan parkir membawa para wisatawan penasaran. Saat tengah hari, banjir terik mendominasi wilayah ini. Dari luar, Keraton Surosowan kini terkesan seperti lapangan sepak bola tak terurus peninggalan zaman kolonial Belanda.

Kompleks Keraton Surosowan di kawasan Banten Lama.
Kompleks Keraton Surosowan di kawasan Banten Lama. Viriya Singgih.
Kompleks Keraton Surosowan di kawasan Banten Lama.
Kompleks Keraton Surosowan di kawasan Banten Lama. Viriya Singgih.

Namun, tempat ini belum kehilangan daya tariknya. Sehari-hari, gerbang masuk wilayah keraton terkunci rapat. Alhasil, pengunjung beramai-ramai memanjat dinding batu setinggi dua kali tubuh orang dewasa. Di dalam, mereka berkeliling, berfoto maupun bercerita soal kebesaran Banten di masa lampau.

Pada awal berdirinya kesultanan Banten, pemerintahan setempat memang telah menggunakan berbagai teknologi yang termasuk unggul di zamannya. Misalnya sistem penyaringan air bersih di bagian belakang keraton. Di sana terdapat enam keran yang terbuat dari besi berwarna kuning. Lantas, tempat itu disebut sebagai “pancuran emas”. Air tersebut bersumber dari Danau Tasikardi yang terletak kurang lebih 2,5 kilometer dari Surosowan.

Keraton Surosowan dan Danau Tasikardi hanyalah bagian kecil dari wilayah Kota Tua Banten Lama. Selain itu, ada pula situs Keraton Kaibon, Benteng Speelwijk, Masjid Agung Banten maupun Vihara Avalokitesvara.

Cukup mudah untuk menjangkau Banten Lama dari Jakarta. Bila menggunakan mobil, kita bisa berkendara melalui jalan tol Tangerang-Merak. Keluar di pintu Serang Timur, belok kanan dan terus melaju sekiranya 11 kilometer hingga mencapai wilayah itu.

Bila menggunakan kereta api, kita bisa pergi dari stasiun Tanah Abang langsung menuju Serang. Setelahnya, dengan menggunakan angkutan umum kita bisa mencapai Banten Lama dalam waktu 15-20 menit.

Tak jauh dari Surosowan, Sultan Maulana juga mendirikan Masjid Agung Banten. Di dalamnya, terdapat kompleks pemakaman sultan-sultan Banten serta keluarganya dari masa ke masa. Salah satu yang menarik adalah arsitektur masjid ini.

Masjid Agung Banten.
Masjid Agung Banten. Sumber: id.wikipedia.org.

Atap bangunan utamanya bertumpuk lima seperti pagoda Tiongkok. Perancangnya adalah arsitek Tiongkok bernama Tjek Ban Tjut. Lalu terdapat pula paviliun dua lantai di sebelah selatan masjid tersebut yang dinamai Tiyamah. Arsitek Belanda kuno, Hendick Lucasz Cardeel, membangunnya sebagai tempat rapat maupun kajian ajaran Islam. Kini, bangunan itu digunakan sebagai tempat penyimpanan barang pustaka.

Kehidupan multikultur di era kesultanan Banten bisa dirasakan dengan kehadiran Vihara Avalokitesvara bagi para penganut ajaran Buddha. Dahulu, Sunan Gunung Jati mendirikannya sebagai tempat ibadah bagi para perantau dari Tiongkok yang datang untuk berdagang.

Di bagian dalamnya, ada 16 patung dewa yang tersebar di seluruh penjuru ruangan. Salah satunya adalah patung Dewi Kwan Im yang diperkirakan telah berusia 600 tahun. Ia terletak di tengah bangunan dan dibawa langsung dari Tiongkok. Saat kebakaran besar pernah melanda vihara ini pada 2009, patung ini jadi satu-satunya yang selamat di antara patung-patung lainnya.

Vihara Avalokitesvara.
Vihara Avalokitesvara. Felix Jody Kinarwan.

Selain itu, di sana terdapat ukiran dinding yang bercerita soal letusan Gunung Krakatau pada 1883. Menurut kisah yang ada, letusan itu mengakibatkan tsunami besar hingga warga pun ramai-ramai berlindung di dalam vihara. Mereka berdoa bersama sembari menunggu mukjizat tiba. Benar saja, air bah urung memasuki kompleks vihara dan orang-orang pun selamat dari tragedi tersebut.

Di antara Surosowan dan Masjid Agung, kini berdiri pula Museum Kepurbakalaan Banten Lama. Para pengunjung bisa melihat berbagai kepingan sejarah peninggalan zaman purbakala. Dengan luas kurang lebih 10 ribu meter persegi, museum ini jadi salah satu tempat wisata favorit.

Di sana ada benda-benda arkeologi seperti arca, gerabah dan lesung batu. Lalu kita juga bisa menemukan miniature rumah adat suku Baduy, senjata-senjata tradisional dan peninggalan kolonial, keramik, lukisan maupun mata uang lokal dan asing yang dicetak oleh masyarakat Banten lintas generasi.

Sayangnya, banyak situs bersejarah seperti Surosowan, Kaibon dan Benteng Speelwijk yang terkesan tidak terurus dengan baik. Sampah berserakan, banyak pula coretan di dinding oleh para pengunjung tak bertanggung jawab.

Coretan di dinding Keraton Surosowan.
Coretan di dinding Keraton Surosowan. Viriya Singgih.
Coretan di dinding Benteng Speelwijk.
Coretan di dinding Benteng Speelwijk. Viriya Singgih.

Nilai sejarahnya tetap tinggi, tapi kehadirannya secara fisik seperti terlupa begitu saja oleh pemerintah. Bagaikan melihat pahlawan sekarat di pinggir jalan, miris tapi kita tak bisa berbuat apa-apa.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 15 September 2014.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top