Awalnya, saya tak berharap banyak saat beberapa kawan mengajak berkemah di Kampung Cai Ranca Upas, Bandung, pada awal Juni lalu. “Paling hanya jadi wacana,” pikir saya saat itu.
Maklum, selepas lulus kuliah dan masuk ke dunia kerja, interaksi intim dengan rekan-rekan sepermainan dahulu biasanya hanya mentok di ucapan selamat ulang tahun dan janji kumpul-kumpul nihil realisasi di grup WhatsApp atau Line.
Maka, saya cukup terkejut ketika tiba-tiba sudah diundang masuk ke sebuah grup WhatsApp bernama “Kamping centil” pada 11 Juni, dan pada 30 Juni, Jumat malam, saya dan empat kawan telah berkumpul di Stasiun Gambir menunggu kereta menuju Stasiun Bandung.
Jujur, saya belum pernah mendengar soal Ranca Upas sebelum mendapat ajakan pelesiran ini. Namun, tiga peserta wanita di grup “Kamping centil” – Agnes Theodora, Chatarina Komala dan Gabrella Sabrina – begitu bersemangat membicarakannya, terutama karena mereka terpacu untuk swafoto bersama rusa ala Raisa di sana.
Sementara itu, saya dan satu rekan lain, Felix Jody Kinarwan, cuma bisa pasrah bila dipaksa jadi fotografer keliling dalam rangka mempercantik feed Instagram mereka.
Jumat, pukul 23.22 WIB, Kereta Argo Parahyangan yang kami tumpangi berangkat dari Stasiun Gambir dan tiba di Stasiun Bandung pada Sabtu, pukul 2.28 WIB.
Selama kurang lebih tiga jam, perjalanan kami isi dengan berbagai kisah soal krisis usia pertengahan 20an, entah soal pekerjaan rutin yang kian lama kian memuakkan, kegamangan akan usaha mencicil rumah yang berlokasi jauh dari peradaban, hingga prospek berkeluarga yang terkadang terasa begitu menakutkan. Seperti biasa, tak ada solusi yang ditawarkan, karena sesungguhnya kami hanya berkompetisi untuk mentertawakan kemalangan diri sendiri.
Sesampainya di Bandung, kami segera memanggil taksi online untuk mengantar kami ke rumah pamannya Agnes di daerah Cihapit. Rencananya, kami akan bermalam di sana sebelum berangkat ke Ranca Upas pada Sabtu sore.
Nyatanya, kami justru kembali ke Stasiun Bandung pada Sabtu siang untuk mencari frame tenda pinjaman Agnes yang tertinggal di kereta. Untung saja, frame tersebut telah diamankan di kantor Polisi Khusus Kereta Api (Polsuska) setempat.
Pukul 15.37 WIB, kami berangkat dari Stasiun Bandung menggunakan jasa taksi online dan tiba di Ranca Upas pada pukul 17.55 WIB. Tarif yang mesti kami bayar mencapai Rp 200 ribu.
Untuk mencapai Ranca Upas, kita juga bisa naik bus Damri dari Jalan Dipati Ukur menuju Terminal Leuwi Panjang dengan ongkos Rp 5 ribu, sebelum lanjut naik angkutan minibus Elf ke arah Terminal Ciwidey dengan tarif Rp 10 ribu. Dari sana, kita tinggal lanjut naik angkot dengan jurusan Ciwidey-Situ Patengan dengan harga Rp 6 ribu.
Untuk masuk ke kawasan Ranca Upas, tiap orang mesti membayar Rp 20 ribu, plus tambahan Rp 5 ribu bila pengunjung membawa mobil dan Rp 2 ribu untuk sepeda motor.
Sesampainya di sana, langit telah gelap. Sayang, kami melewatkan senja. Harapan untuk mendapat foto-foto cantik tinggal ada di esok pagi kala matahari terbit. Saat ini, kami mesti bergegas membangun tenda dan memasak makan malam. Perut sudah tak bisa kompromi, mungkin terpengaruh udara sejuk di Ranca Upas dengan suhu berkisar di antara 17 hingga 20 derajat Celcius. Konon, saat pagi buta suhunya bisa mencapai 0 derajat Celcius. Wajar, wilayah ini terletak pada ketinggian 1.700 hingga 2.000 meter di atas permukaan laut.
Setelah berjalan beberapa ratus meter dari gerbang utama, kami menemui area lapang yang bersisian dengan jejeran 15 warung makan di pinggir kanan.

Di warung-warung itu, pengunjung bisa membeli beragam barang, dari keperluan kemah hingga kebutuhan pribadi, entah syal, sarung tangan, sandal, senter, tali rafia, kayu bakar, jagung, sabun cuci baju hingga bola plastik. Kita bahkan bisa menumpang isi daya handphone di sana dengan membayar Rp 5 ribu atau menyewa sleeping bag dengan kisaran harga antara Rp 15 ribu dan Rp 25 ribu, tergantung ketebalannya.
Dua hingga tiga kamar mandi juga terletak di antara warung-warung tersebut, walau kondisinya tidak sebersih enam kamar mandi di bagian depan area ini.
Puluhan mobil tampak berjejer rapi di berbagai sisi area lapang tersebut. Keesokan paginya saya baru mengetahui bahwa banyak keluarga yang memutuskan untuk tidur di mobil alih-alih bermalam di tenda. Pilihan ini mungkin dianggap lebih praktis. Tidur di kursi empuk mobil yang terparkir dekat warung tentu memudahkan bila tiba-tiba si pengunjung ngidam ingin makan mi instan atau sekadar ngopi sembari ditemani gorengan.

Saya dan kawan-kawan tentu lebih memilih bersusah payah mendirikan tenda dan bermalam di sana, tipikal anak kota yang sudah terlampau muak melihat gedung bertingkat dan mobil-mobil berjejalan di jalan sehingga mencari pelarian instan ke bumi perkemahan.
Bila malas membawa tenda sendiri, pengunjung pun sebenarnya bisa menyewa tenda beragam ukuran di Ranca Upas. Untuk satu malam, tenda berukuran besar diberi harga Rp 300 ribu. Ditambah isi dua kasur dan sebuah lampu penerangan, harganya jadi Rp 450 ribu. Sementara itu, tenda kecil bisa disewa dengan harga Rp 150 ribu semalam. Biayanya naik jadi Rp 200 ribu bila ditambah satu kasur dan sebuah lampu penerangan.
Setelah membeli seikat kayu bakar dan sebotol minyak tanah 600 mililiter, masing-masing seharga Rp 15 ribu, kami segera mencari lokasi ideal untuk mendirikan tenda. Ini tak mudah karena kompleks Ranca Upas memiliki luas total kurang lebih 215 hektare, sementara kami harus berkeliling saat hari sudah gelap. Namun, setelah diarahkan oleh salah seorang petugas, kami memutuskan untuk berkemah di tanah lapang seukuran lapangan sepak bola. Tiga tenda telah berdiri di sana saat kami tiba.
Tak lama, kami mulai bekerja mendirikan dua tenda, menaburkan garam di sekelilingnya, serta mempersiapkan alat masak. Tiga wanita mulai memasak dengan penuh semangat, sementara dua pria, saya dan Jody, mulai menyiapkan api unggun dengan penuh pesimisme.
Ini bukan kali pertama saya berkemah, tapi baru ini saya bertanggung jawab langsung dalam prosesi menyalakan api unggun. Selama ini, saya lebih banyak berperan jadi “tim hore” yang keseringan komentar dan ketawa-ketiwi saja saat teman sedang berusaha memasang api. Jadi, jujur saja, kali ini saya bingung hilang arah.

Jody sedikit lebih baik. Ia memimpin pergerakan kami dalam menyusun kayu dan menyiram minyak tanah dari berbagai sudut yang terpikirkan. Namun tetap saja, setelah sejam berlalu, bahkan hingga makanan telah tersaji, api unggun buatan kami masih bantet dan cepat mati. Lelah, kami pun pasrah dan mengalihkan fokus sepenuhnya pada cream soup buatan Agnes, Kokom dan Gebby.
Walau begitu, di tengah santap malam pun hidup saya dan Jody tak bisa tenang.
“Yah, tadinya kan kita mau manggang marshmallow. Coba ada api unggun,” kata Kokom, yang kemudian disambut dengan celetukan “Iya, tuh. Iya tuh,” oleh dua wanita lain.
Tak mau dipecundangi begitu saja, saya segera mencari solusi dengan cara buka YouTube. Benar saja, di situ saya segera menemukan video tutorial menyalakan api unggun yang diunggah oleh Dedi Mulyono. Setelah menontonnya, rasa percaya diri saya langsung membubung.
Dalam video tersebut, sekelompok pecinta alam menunjukkan cara membuat api unggun yang baik dengan memperhitungkan tiga faktor penting: material untuk dibakar, oksigen dan api itu sendiri.
“Tiga segitiga itu harus maksimal. Apinya bagus, supply oksigennya baik, materialnya juga ada. Enggak harus kering. Jika teknik benar, jika teknik baik, maka kayu sebasah apa pun bisa kita bakar,” kata sang pemandu dengan begitu inspiratif, setidaknya untuk amatiran seperti saya.
Segera saya ikuti semua instruksi yang ada. Saya susun ulang kayu-kayu di depan mata sehingga berbentuk mirip bak mandi persegi dengan celah-celah oksigen di sekelilingnya, dan kemudian, voila, api segera berkobar, menjilat-jilat udara dengan bengisnya.

Di malam itu, berkat Dedi Mulyono, saya telah berhasil meraih predikat firebender alias sang pengendali api (unggun).
Tidur saya dan kawan-kawan pun jadi nyenyak setelah bertukar cerita dan bernyanyi fals ditemani api unggun tersebut.
Esok paginya, kami menjalankan mandat sebagai pemuda-pemudi dari generasi millennial dengan segera berfoto centil di berbagai titik sekaligus. Saat hari terang, pemandangan di Ranca Upas terlihat kian menyejukkan mata, mengingat luasnya hamparan rumput hijau yang dikelilingi beragam pohon menjulang, dari pohon Huru, Hamirug, Jamuju, Kihujan, Kitambang, Kurai, Pasang hingga Puspa.

Saat berjalan-jalan mengelilingi kompleks, kami juga menemukan perkebunan luas di belakang warung-warung dekat area parkir. Di sana terdapat kebun strawberry, bawang merah, kol dan juga seledri yang masing-masing dikelola oleh warga setempat, dan saat panen, hasilnya akan dijual kepada tengkulak yang akan membawanya ke berbagai daerah di sekitar Bandung dan Jakarta.

Usai sarapan, kami berlima mampir ke penangkaran rusa seluas 5 hektare di dalam kompleks Ranca Upas. Penangkaran ini telah berdiri sejak 1980 dengan “modal awal” tujuh ekor rusa hasil kiriman dari Kebun Binatang Ragunan, Jakarta. Jumlah rusa di sana kemudian bertambah banyak dari tahun ke tahun, hingga sebagian mesti dikirim ke daerah Ciamis pada 1987 dan ke Cariu Bogor pada 1993.
Pengunjung dapat masuk secara gratis ke penangkaran rusa ini. Namun, kita mesti membayar Rp 10 ribu untuk pakan rusa – entah seikat kangkung ataupun sekantong kresek wortel – bila tertarik memberi mereka makan secara langsung.

Di sini, tiga peserta wanita dari kelompok kami ternyata cukup kesulitan untuk berfoto ala Raisa karena rusa-rusa yang ada terus berkeliling ke sana kemari mendekati siapa pun yang sedang membawa pakanan. Memang, kesetiaan ada untuk mereka yang senantiasa menjaga perut kita kenyang.
Berbagai infografis yang ditempel di dinding dalam penangkaran ini memberi berbagai informasi menarik. Misal, ternyata rusa adalah hewan yang setia kawan. Disebutkan bahwa rusa ekor putih yang ketakutan akan menderapkan kakinya untuk memperingatkan rusa lain di sekitarnya agar segera kabur.
“Saat ketakutan, mereka lari. Kuku kaki mereka meninggalkan jejak bau yang sangat banyak. Bau itu memberi tanda bahaya untuk rusa lainnya,” begitu yang tertera di salah satu infografis di sana.

Selain penangkaran rusa, masih ada beberapa fasilitas hiburan lainnya di Ranca Upas, seperti kolam pemandian air panas dan kolam renang dengan tarif Rp 15 ribu, wisata outbound seperti flying fox dan jembatan goyang dengan tarif di kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu, serta paintball dengan biaya Rp 90 ribu.

Sayang, kami tidak sempat mencoba fasilitas-fasilitas itu karena harus mengejar mobil travel untuk kembali ke Jakarta.
Yang pasti, Ranca Upas rasanya telah menjadi alasan lain bagi mobil plat B untuk datang memenuhi Bandung, khususnya bagi mereka yang sudah kehabisan jatah cuti dan cuma punya waktu di akhir pekan untuk sejenak lari dari penatnya rutinitas kerja sehari-hari.
Berangkat Jumat malam, pulang Minggu petang, kembali ke realita di Senin pagi.