Selalu terulang. Bangun terlalu pagi, tapi berangkat terlampau siang.
Hari itu padahal saya ada janji wawancara dengan perwakilan dari Korea Chamber of Commerce di daerah Gatot Subroto bersama Jonathan, sang bos besar di kantor Reuters.
Saya sudah janji akan bertemu Jonathan di sana pukul 8 pagi. Beruntung, saya sudah terbangun sejak 6.30. Namun terbangun belum tentu membuat kita bergegas segera. Selalu ada godaan pada sebatang rokok dan secangkir kopi di pagi hari.
Pada 7.15 saya baru berangkat dari rumah. Matahari saja masih malas menggertak, pasti akan sampai tepat waktu, ujar saya dalam hati.
Benar saja, pukul 7.40 saya sudah sampai di Gatot Subroto. Saya yakin betul tak akan terlambat. Namun, perlahan bangunan di kiri-kanan terlihat asing. Curiga, saya pinggirkan motor dan bertanya pada tukang ojek di pinggir jalan.
“Gedung Korea Trade Center di mana, Pak?”
“Yah, kelewatan dua lampu merah itu, Dek.”
Glek.
7.45.
***
Sebentar lagi pukul 8. Seminar segera dimulai, tapi Raditya Dika tampak tak terlampau terburu. Dari tadi raut mukanya santai, tak ada lagi demam panggung yang kerap menyapa sebelum acara. Berbicara di depan ratusan orang rasanya sudah lumrah baginya.
Namun, ia sontak mengernyitkan dahi melihat kopi pesanan yang dibawakan oleh kakak kelas saya.
“Duh, Starbucks? Repot-repot amat. Kalau boleh, ada kapal api aja engga? Di gelas aqua aja engga apa-apa kok. Hehehe.”
“Oh gitu, Bang. Bentar kita beliin di depan ya.”
Senior saya kembali berjalan tergopoh keluar kampus. Saya tahu pasti mereka mencari Bang Danu, penjual kopi sepeda yang biasa nongkrong di seberang kampus. Harga kopinya, bisa jadi 15 kali lipat lebih murah dari kopi pertama yang dibawa.
Tak lama, Dika memberikan segelas kopi ‘mal’ yang tidak sesuai seleranya itu ke sopirnya di dalam mobil.
Saya hanya bisa termangu.
***
Saya mencelos. Entah berapa jam yang harus saya habiskan bila harus memutar balik di ujung jalan sana. Apalagi, arus balik ke arah Slipi sedang ganas macetnya. Panik, saya melaju melawan arah secara perlahan dan sebelum bertemu lampu merah, saya langsung memarkirkan motor di gedung terdekat.
Tak makan banyak waktu, saya keluar gedung dan berlari sepanjang kurang lebih satu kilometer menuju gedung Korea Trade Centre. Sesampainya, saya langsung menuju ke lantai 5 tempat kemarin saya sempat datang berkenalan dengan salah seorang staf di sana. Namun kantor Korea Chamber di lantai 5 kosong, gelap.
Saya bingung, Jonathan tak membalas SMS dan email saya. Akhirnya saya beristirahat sejenak di sebuah tangga dekat pintu masuk kantor Korea Chamber sambil mengembalikan napas pada iramanya yang biasa. Selang lima menit, lewatlah seorang OB.
“Pak, ini orang-orang pada ke mana ya?”
“Lagi pada rapat, Dek, di gedung sebelah.”
Duh! Saya kembali berlari ke lantai dasar dan dengan terburu berbelok ke gedung sebelah. Saat akan memasuki pintu depan, keluarlah Jonathan dengan setelan jas rapi dan muka berseri.
“Hi, Jawir. What happened to you? I have finished interviewing them upstairs.”
“Errr, I came at 8.20 but nobody was in the Korea Chamber’s office.”
“Alright, unfortunately I have to go back to the office immediately.”
“Ah, I’m so sorry, Sir.”
“Well, you’ll learn,” pungkas Jonathan sambil tersenyum dan masuk ke dalam taksi.
***
Terkadang ketika kita merasa sudah begitu berusaha, yang jadi tujuan justru kian jauh secara perlahan. Yang sederhana nyatanya kerap membuat kita tertawa sembari menggelengkan kepala. Seperti secangkir kopi hangat pinggir jalan di tengah senyapnya malam.
Namun ada kalanya kita mesti segera bergegas. Karena perjalanan tak semudah perkiraan. Saat semua terlambat, kita bisa menunduk sembari mengutuk, tapi tak akan ada yang sia-sia. Semoga.