Menyoal Kegilaan Vincent van Gogh

Lukisan diri Vincent van Gogh di Rijksmuseum, Belanda.
Lukisan diri Vincent van Gogh di Rijksmuseum, Belanda. Oren Rozen/Wikimedia Commons.

Malam-malam di Arles pada sekitaran September 1888 begitu indah. Visualisasi warna-warna yang saling kontras dan pendaran cahaya di jenjang kafe di Du Forum terlihat begitu menggoda. Namun, tampaknya cuma Vincent yang begitu terobsesi untuk merekam apa yang dilihatnya, dan menuangkan apa yang dirasanya pada sebidang kanvas di tengah pelukan gelap dan senyapnya malam. Gila, kata orang-orang di sekitarnya.

Obsesi Vincent pada alam memang begitu besar, bahkan kadang berlebihan. Ia sempat kesulitan untuk mencampurkan warna di tengah kegelapan, tapi ia tak putus asa. Dengan segera, Vincent menyalakan lilin di seputaran pinggiran topinya dan juga di kayu-kayu penyangga lukisannya. Hal ini memicu konklusi umum masyarakat setempat bahwa Vincent tidak hanya eksentrik, tapi juga tidak sehat jiwanya. Toh Vincent tak pernah peduli.

Vincent, yang lahir pada 30 Maret 1853 dari pasangan Theodorus van Gogh dan Anna Cornelia Carbentus, adalah seseorang yang terlalu mudah untuk menaruh iba dan jatuh cinta, pun terlalu mudah untuk merasa dikecewakan dan sakit hati karenanya. Namun, sepanjang 37 tahun kisah hidupnya yang cukup singkat, cuma seni yang tak pernah gagal membuatnya jatuh hati. Dan seperti yang kita tahu, ketika Vincent sudah tergila-gila, ia bisa berbuat apa saja.

“Bahkan dalam kesengsaraan yang mendalam, aku merasakan energiku timbul kembali, dan aku bilang pada diriku sendiri, apapun yang terjadi aku akan bangkit lagi. Aku akan meraih pensil lukisku, yang aku tinggalkan dalam ketakberdayaanku, dan aku akan melaju terus dengan lukisan-lukisanku,” tuturnya suatu hari.

Ada sesuatu yang menenangkan dan melegakan yang Vincent temukan ketika ia sedang melukis, yang membuatnya bisa menyalurkan amarah dan kecamuk pikirannya menjadi sebuah mahakarya tak ternilai harganya. Namun, seperti para tokoh-tokoh bersejarah lainnya, Vincent adalah salah seorang yang lahir melampaui zamannya.

Ia mencipta karya yang sepi apresiasi di masa hidupnya, tapi kaya puja-puji selewat puluhan atau ratusan tahun kemudian. Seperti Galileo Galilei yang dikucilkan hingga akhir hidupnya karena meyakini bahwa matahari adalah pusat tata surya, seperti Isaac Newton yang dikira musyrik karena menemukan teori gravitasi.

Syahdan, hanya Theo, sang adik, yang bisa diterima dan menerima Vincent apa adanya. Theo adalah tempat Vincent mencurahkan segala pemikirannya, dan orang yang selalu mendukung secara rohani dan materi dalam setiap pilihan tindakan kakaknya tersebut. Theo memang gusar ketika Vincent bertengkar dan bertutur kasar soal sistem gereja hingga ia diusir dari rumah oleh sang ayah. Theo pun tidak setuju ketika Vincent menjalin hubungan dekat hingga menafkahi Sien, seorang pelacur sakit-sakitan beranak satu. Namun Theo selalu ada untuk Vincent.

Maka, tak heran ketika Vincent merengek padanya, tak ada yang Theo bisa lakukan selain mengabulkan. Seperti saat Theo setuju untuk mengatasi permasalahan finansial Paul Gaugin dan membujuknya untuk tinggal serumah dengan Vincent di Arles.

Gaugin adalah rekan pelukis yang Vincent hormati, sekaligus ia benci di saat bersamaan. Perdebatan mereka antara penggunaan garis dan warna selalu berlangsung panas dan intens, dan cenderung tak bertitik temu. Namun, Vincent membutuhkan Gaugin untuk bertukar pikiran soal karya dan pelecut yang tepat untuk membuatnya semangat berkarya secara inovatif.

Namun, penyatuan Vincent dan Gaugin dalam satu atap yang sama bagai menciptakan bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Setiap perdebatan panas yang tercipta mungkin telah membuat Vincent berkali-kali membunuh Gaugin dalam pikirannya. Hingga suatu hari, ia sempat mengancam Gaugin dengan sebuah pisau cukur di tangan, tapi urung bertindak lebih dan akhirnya berlari menjauh. Ternyata, Vincent kembali ke rumah untuk memotong sendiri cuping telinganya, dan menghadiahkan potongan tersebut pada seorang pelacur bernama Rachel tak lama kemudian.

“Jagalah benda ini dengan hati-hati,” ujar Vincent pada Rachel.

Vincent adalah seseorang yang lebih memilih membuat anasir terlebih dahulu sebelum menambahkan outline pada lukisannya. Ia segan untuk memberi batas pada karyanya, dan kerap mengutamakan esensi lebih yang bisa dicapai pada penggunaan warna. Dan tak lupa, ada keterburuan dan intensitas tinggi untuk menuangkan sesuatu pada lukisan yang justru semakin hari terus menajamkan karyanya.

Hal ini menggambarkan betul kepribadian Vincent dalam kehidupannya sehari-hari. Vincent lebih suka melukis di alam terbuka daripada mengurung diri di studio dan mengandalkan catatan serta ingatan. Ia pun kerap terjun langsung dalam kehidupan masyarakat bawah dan memberikan bantuan tanpa pikir panjang kepada orang yang ia rasa membutuhkan. Mungkin itulah yang membuat Vincent menjadi pribadi yang jujur, spontan dan tak pernah puas untuk terus belajar.

Ada hal yang ingin ia temukan di setiap tempat baru yang ia singgahi, entah di Belanda, Belgia, Inggris maupun Prancis. Ia selalu mengabaikan kesehatan fisiknya untuk orang lain, dan karya. Ia seakan ingin memadatkan usia hidupnya untuk sebuah makna yang lebih mendalam daripada kehidupan panjang yang tak berarti apa-apa.

“Seorang lelaki yang penuh gairah, cenderung melakukan hal-hal yang kurang lebih dungu, dan lantas sedikit banyak menyesali tindakan-tindakan dungu yang telah dilakukannya tersebut,” ujar Vincent suatu hari.

Ada kesuraman dan kegetiran kehidupan miskin para penambang yang kita temukan dalam “The Potato Eaters”, pun ada keindahan tak berbatas pada “The Church at Auvers” di salah satu masa terbahagia dalam hidupnya. Lukisan Vincent, memang kerap lebih berbicara dibanding mulutnya sendiri.

Dan Vincent tak pernah berusaha untuk menjadi orang lain. Bahkan ia pun memutuskan sendiri kapan waktu kematiannya, usai ia menembakkan pistol ke badannya sendiri pada akhir Juli 1890.

“Siapapun yang telah menyaksikan pergulatan ini, perjuangan dan kehadiran yang nestapa ini, pasti akan merasa simpati pada seorang lelaki yang menuntut terlalu banyak pada dirinya sendiri, sampai-sampai menghancurkan raga dan jiwanya. Tapi barangkali, memang begitulah peri-kehidupan seorang seniman agung,” kata seorang rekan Vincent tentang dirinya, Anthon Ridder van Rappard.

Apa yang Vincent tinggalkan pasca hidupnya berakhir mungkin lebih banyak dibanding saat ia masih menghidu napas keseharian. Ada inspirasi dalam tiap kejujuran tingkah lakunya, pun totalitas dalam setiap proses pembuatan karyanya. Dan biarpun ia telah terlampau sering terluka dan dikecewakan, Vincent adalah Vincent, seseorang yang mencintai seni, alam dan kaum proletar lebih dari hidupnya sendiri.

Maka, apalah yang lebih bisa kita syukuri selain dapat melihat secara langsung senyum Vincent van Gogh yang tersungging tulus di bibirnya, dan memeluknya erat di saat orang lain enggan dan pergi jauh secara perlahan. Dan Vincent tak akan mati, dia akan selalu ada dalam banyak jiwa yang terinspirasi karenanya.

***

Catatan
1. Atribusi foto: “AMSTRDM 210217 Rijksmuseum Van Gogh 01” by Oren Rozen is licensed under CC BY-SA 4.0.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top