Merebut Hidup ala Melli Darsa

Melli Darsa.
Melli Darsa. Andrey Gromico.

Sejak kecil Melli Nuraini Darsa gemar bermusik. Apalagi mendiang ayahnya, Irawan Darsa, adalah penggila musik jazz dan klasik. Maka wajar, saat bangku Sekolah Dasar ia telah keranjingan bermain piano.

Salah satu teman main di kompleks perumahan Deplu, Dian Hadipranowo, senang betul menyaksikannya ‘manggung’ kala itu. Dian belum semahir Melli. Sehingga ia berulang kali berdecak kagum melihat jemari Melli menari. “Kamu pintar banget mainnya,” ujar Melli menirukan kata-kata tetangganya itu.

Namun hidup memang tak terduga. Keduanya anak diplomat, hingga harus hidup berpindah-pindah tempat. Saat kelas 5 SD, Melli kembali melanglang buana ke Amerika Serikat dan Swiss mengikuti garis kerja sang ayah. Sementara itu, Dian hijrah ke Rusia dan menekuni musik lebih dalam di sana. Saat dewasa, Dian sukses jadi penata musik ternama. Kini ia lebih dikenal dengan panggilan Dian HP.

“Jadi, hidup itu lucu,” ujar Melli sembari berefleksi. “Semua punya jalannya masing-masing.”

Namun Melli tak menyesal urung jadi musisi. Kini ia adalah salah satu pengacara korporat tersukses di Indonesia. Firma hukumnya bisa meraup pemasukan miliaran rupiah per bulan. Meski demikian, jalan yang harus dilewati tak semudah kisah-kisah dalam mimpi.

Semua berjalan dengan baik hingga Melli masuk Georgetown University di Amerika Serikat. Kala itu ia mengambil jurusan Foreign Services, dan berada di jalur yang tepat mengikuti jejak sang ayah untuk jadi diplomat. Titik balik terjadi pada Oktober 1984. Sang ayah meninggal dunia dua bulan jelang ulang tahun Melli ke-18.

Kehidupannya berubah 180 derajat. Melli pilih putus kuliah. Ia pulang kampung dan segera mencari kerja untuk meringankan beban sang ibu. Ia mesti kembali beradaptasi. Dari hidup serba ada, kini Melli hidup seadanya.

Psikolog asal Universitas Indonesia, Rose Mini, sepakat bahwa ini adalah tantangan berat dalam proses tumbuh kembang anak. “Kalau dalam bahasa psikologi, ia kehilangan significant other, orang yang sangat berperan dalam kehidupan dan mengerti sekali tentang anak tersebut,” kata Rose.

Karena kehilangan figur penting dalam hidup, seorang anak harus bisa mencari dan membangun ulang semangatnya sendiri. Saat itu, terkadang anak terpaksa dewasa sebelum waktunya. “Bila ia punya konsep diri serta kepercayaan diri yang bagus, pengalaman ini bisa jadi modal sukses ke depannya,” kata Rose.

Namun bila yang terjadi sebaliknya, perkembangan anak justru bisa menurun drastis. Pengalaman pahit mengikis semangat anak hingga ia putus sekolah, terlibat pergaulan yang salah, dan sebagainya. Untungnya, Melli mampu bertahan melewati fase ini.

Dengan kemampuan bahasa Inggris di atas rata-rata, Melli melamar kerja di Lembaga Penelitian Pendidikan Penerapan Ekonomi dan Sosial. Di sana, ia bekerja sebagai editor untuk lembaga penerbitan asing selama enam bulan. Lembaga Bantuan Hukum juga terlibat dalam proyek itu. Inilah yang membawanya pada perkenalan dengan para aktivis pejuang reformasi.

“Saat itu saya coba berintegrasi dengan kehidupan yang ada,” kata Melli. “Saya merasa negara ini tak seperti apa yang saya pikirkan sebelumnya. Saya jadi suka berdiskusi dengan para intelektual yang suka ngumpul di situ sehari-harinya.”

Pergaulan dengan para aktivis dan pejuang reformasi perlahan membentuk pola pikir Melli. Ia jadi lebih peka terhadap masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Kala itu ia kerap bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh intelektual seperti Gus Dur, Yap Thiam Hien dan Adnan Buyung Nasution.

Karena itu Melli jadi tertarik untuk mendalami bidang hukum lebih jauh. Pada 1985, ia resmi masuk Fakultas Hukum UI. Di sana ia mengambil jurusan Hukum Tata Negara.

“Jurusan itu dulu sangat tidak populer. Orang-orang mikir saya ambil itu karena saya tidak mampu mengerjakan yang lain. Padahal, saya memang tidak suka kelas lainnya karena kesannya seperti hanya menghafal mati,” kata Melli.

“Sekolah hukum seharusnya mempelajari soal filosofi hukum, bukan belajar peraturan perundang-undangan. Jadi mereka seolah hanya menghafal pasal, letterlijk dan tidak mengerti sebenarnya maksudnya apa. Kalau misalnya nanti pasalnya tidak berjalan, mereka jadi tidak mengerti kenapa.”

Melli memang menganggap pendidikan sebagai bekal yang sangat penting dalam kehidupan. Dengan belajar hukum, ia tidak sekadar berharap untuk bisa lulus dan mendapat pekerjaan yang baik di masa depan. Ia merasa punya tanggung jawab untuk mengembangkan ilmunya dan mengaplikasikannya bagi masyarakat luas.

Pada 1990, Melli lulus dari UI. Di tahun yang sama, ia menikah. Kemudian, kariernya terus meningkat. Sembari kuliah di UI, Melli tetap bekerja untuk LBH Jakarta. Ia juga sempat kerja magang di Amir Syamsuddin & Associates. Setelahnya, barulah ia bergabung dengan firma hukum ternama, Makarim & Taira S.

Melihat kinerjanya yang baik, atasannya, Nono Anwar Makarim, menyarankan Melli untuk mendaftar di Harvard Law School, Amerika Serikat. Biaya sekolah yang ada rencananya akan dibiayai sepenuhnya. Namun, janji itu menguap begitu saja. Padahal Melli kadung diterima di Harvard. Dilema besar ia hadapi. Apalagi anaknya kala itu masih bayi.

Sempat ragu, semangat Melli membubung kembali mendengar nasihat Charles Himawan, Guru Besar Ilmu Hukum UI. “Intinya dia bilang sama saya, ‘Kalau kamu sudah diterima di Harvard dan kamu tidak pergi, kamu bego banget.’ Kamu harus mencari uang untuk berangkat ke sana bagaimana pun caranya,” ujar Melli.

Menurut Charles, apa yang Melli lakukan adalah pengorbanan untuk keluarga. Dari situ, Melli perlahan bisa memantapkan pilihan. Ia tak lagi mengindahkan omongan banyak orang yang menyebutnya egois dan terlampau ambisius. Ia segera meminjam uang dari teman-teman serta kerabat dekat sebagai modalnya melanjutkan studi dan berangkat pada 1993.

“Tanpa mendengar omongan orang lain, saya juga sudah merasa tidak nyaman sendiri. Sebagai seorang ibu, punya anak masih kecil, itu rasanya sangat berat. Apalagi saya juga harus pinjam uang sana-sini, kesannya maksa banget,” kata Melli.

“Cuma dalam hidup ini, kita harus tahu saat mendapat kesempatan emas, kita tidak boleh menyia-nyiakan. Pada akhirnya saya malah merasa kejadian dulu adalah hal yang bagus. Karena saya tak pernah mendapat pendidikan secara cuma-cuma. Saya berjuang untuk itu.”

Dari sudut pandang psikologi, Rose juga mengamini. Menurutnya, ini adalah keputusan yang berat untuk Melli jalani.

“Orang-orang di sekeliling kita juga harus dipersiapkan sebelum ditinggal pergi. Kita harus melihat bahwa keputusan kita ini berimbas pada banyak orang. Kalau orang-orang terdekat mengatakan tidak apa-apa dan menerima dengan baik, itu tak akan jadi masalah,” jelas Rose.

Namun bila Melli terlalu memaksakan diri tanpa memedulikan sekitar, akan ada beban besar menemani dan menghambat perjalanan studinya. Untuk itu, Melli menitipkan anaknya pada sang ibu. Suami tetap bekerja sembari rutin menengok anak di tempat mertua.

Setahun berselang, Melli lulus dari Harvard. Setelahnya ia memboyong anak dan ibunya ke Amerika Serikat sembari bekerja untuk firma hukum Wilmer, Cutler & Pickering. Tak lama, ia kembali ke Tanah Air dan bergabung dengan Hadiputranto, Hadinoto & Partners. Melli sempat menjabat sebagai International Partner sebelum memutuskan keluar dari sana karena perbedaan prinsip.

Pada 2002, ia mendirikan firma hukumnya sendiri bernama Melli Darsa & Co. Sejak itu, kariernya kian melesat sebagai pengacara korporat. Kiprahnya mulai diperhitungkan setelah berhasil menangani klien-klien besar dalam sektor pasar modal, akuisisi maupun merger.

Kini Melli hampir berusia setengah abad. Kedua anak laki-lakinya mulai beranjak dewasa. Pradhana Abhimantra telah berusia 22 tahun, sementara adiknya, Andhika Abhiyantara berusia 14 tahun.

“Saya harus memahami anak-anak saya sebagai individu dengan sifatnya masing-masing. Saya juga merasa tidak benar kalau terlalu memaksakan sesuatu tanpa mereka menyadari sendiri untuk melakukannya,” kata Melli.

Melli menilai, memiliki anak merupakan anugerah dari Tuhan yang patut disyukuri. Selama ini, kehadiran mereka selalu mengingatkan Melli tentang pentingnya hidup. Karena itu, menurutnya membesarkan anak merupakan ibadah. “Mereka juga akan menjaga saya nantinya,” kata Melli.

Tak hanya anak, ia juga menganggap seluruh karyawan yang bekerja padanya merupakan titipan dari Tuhan. Untuk itu, ia berusaha menjaga serta terus mendorong mereka untuk berkarier setinggi mungkin.

Dalam dunia kerja, Melli melihat perempuan masih kerap terjebak stereotip yang melemahkan posisinya, entah dari diri sendiri maupun publik secara umum. Misal, ketika rapat direksi perempuan hanya dianggap pendamping yang tak berkontribusi signifikan.

Karena itu, Melli berpesan kepada karyawannya di kantor – terutama perempuan – agar senantiasa aktif ketika berada di forum umum. Bila tidak, potensi mereka akan tersia. Padahal, kebanyakan dari mereka berlatar belakang pendidikan tinggi. “Mereka punya masa depan yang amat cemerlang,” ujar Melli.

Namun, secara umum Melli melihat telah ada kesetaraan gender di dunia hukum Indonesia. Siapa pun bisa mengejar prestasi tinggi tanpa terkecuali. Ini berbeda dengan kondisi perempuan di luar, terutama pada kelas masyarakat menengah ke bawah. Kesenjangan untuk mendapat akses pendidikan ataupun kesehatan masih memprihatinkan.

Karena itu Melli merasa punya tanggung jawab untuk memberi kembali pada publik. Tak hanya soal memperjuangkan hak perempuan, tapi juga mendorong kehidupan lebih sejahtera pada mereka yang membutuhkan.

“Kalau memang ada peluang, saya ingin masuk ke bidang yang bisa memengaruhi keputusan. Saya lebih senang masuk ke bidang yang proses seleksinya terbuka sehingga kita bisa menunjukkan kapabilitas di situ,” ujar Melli.

Ini juga yang mendorong Melli untuk mengikuti seleksi calon anggota Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2010. Ia berhasil jadi satu-satunya calon perempuan yang bertahan hingga tahap-tahap akhir. Kala itu, ia kalah oleh Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas yang dipilih panitia seleksi untuk dikirim ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Walau begitu, hasratnya tak surut begitu saja. Melli berharap suatu hari nanti bisa berkiprah sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung. “Perkembangan karier seorang pengacara itu memang seharusnya dimulai dari hal praktis, lalu berakhir jadi hakim dengan kedewasaan yang telah ia dapat dari bekerja selama bertahun-tahun,” kata Melli.

Di sela kesibukannya, kini Melli masih gemar bermain piano. Ia merasa jadi pribadi yang berbeda saat musik telah merasuki jiwa. “Saat itulah saya merasa stres saya hilang. Bisa dikatakan, musik adalah cinta pertama saya,” katanya.

Dalam alunan nada yang ia mainkan, mungkin Melli bisa rehat sejenak dari padatnya aktivitas sehari-hari. Selama ini ia telah berusaha keras, tapi rasanya perjuangannya belum tuntas. Prinsipnya, ia selalu berusaha menjalani setiap hari semaksimal mungkin.

“Yang penting adalah, kita berusaha menjadikan setiap hari jadi bermanfaat, jadi hari yang lebih baik dari kemarin,” tegas Melli.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di media online GeoTimes.co.id.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top