Ode untuk Esther

Sehabis rapat desk bisnis The Jakarta Post yang dipimpin Kak Esther Samboh.
Sehabis rapat desk bisnis The Jakarta Post yang dipimpin Kak Esther Samboh.

Esther Samboh jauh dari kesan galak dan berjarak. Ia selalu membuka diri untuk diskusi dan sangat adil saat memberi penilaian.

Selasa, 8 November 2016. Hari itu saya mengirim berita soal kebijakan BBM satu harga Pertamina untuk edisi Rabu The Jakarta Post pada pukul 6.24 petang, telat hampir setengah jam dari tenggat yang ditetapkan editor.

Lega, saya putuskan bersantai sejenak di kedai langganan dalam kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) sembari menunggu lewatnya jam macet bubaran kantor. Saya baru beranjak pulang setelah sekiranya satu jam kemudian, usai santap makan malam dan menghabiskan beberapa batang rokok.

Saya segera mengambil sepeda motor di parkiran dan melaju keluar TIM dengan santai. Selewat beberapa ratus meter, mendadak ponsel saya berdering nyaring. Ternyata Kak Esther Samboh yang menelepon.

“Vir, di mana?” tanyanya ramah.

“Di motor, Kak, lagi jalan pulang dari Cikini. Kenapa?”

“Hehehe. Gimana? Mood hari ini lagi bagus, enggak?”

Perasaan saya mendadak tak enak. Kalau tiba-tiba Kak Esther telepon dan tanya basa-basi begini, kemungkinan besar tulisan saya bermasalah.

“Aman, Kak, aman.”

“Oh, gitu. Jadi begini, Vir… Eh, berisik banget. Itu suara apaan deh?”

“Ondel-ondel, Kak. Aku habis ngelewatin ondel-ondel, nih.”

Sontak Kak Esther ngakak.

“Apaan, sih? Kok bisa ada ondel-ondel?”

Lalu dia lanjut ngakak selama kira-kira satu menit.

“Hahaha, enggak tahu, Kak. Kebetulan aja ngelewatin.”

Setelah Kak Esther menenangkan diri, barulah dia menjelaskan. Benar saja, menurutnya tulisan saya soal BBM satu harga kurang data.

“Kamu ada tambahan data pendukung enggak buat dimasukin ke tulisan? Kalau ada coba kirim ulang ya. Kalau enggak ada, kemungkinan tulisannya di-dropped,” lanjut Kak Esther, masih dengan nada ceria.

Saya sontak pusing.

“Oke, Kak. Coba aku cari dulu ya.”

Singkat cerita, saya segera banting setir, mampir ke gerai Dunkin Donuts di dalam kompleks SPBU Cikini. Selewat 20 menit, saya sudah kirimkan revisi tulisan yang telah berisi data-data tambahan.

Saya pun kembali lega.

Kalau ingat kejadian tersebut, saya suka geleng-geleng kepala sendiri. Kak Esther memang selalu begitu. Ia pandai, sangat pandai bahkan, menjalin hubungan dengan para reporter, hingga ia bisa saja mengkritik sebuah tulisan sembari memberi tugas tambahan dengan riang sampai reporternya lupa untuk kesal atau tersinggung. Ia bahkan masih sempat tertawa lepas saat menemukan keseharian yang jenaka, seperti suara ondel-ondel dari pinggir jalan itu, biarpun tenggat sedang mengancam tanpa belas kasihan.

Saya dan kawan-kawan reporter lain di desk bisnis The Jakarta Post, rasanya sudah terlalu sering bersyukur bisa bekerja di bawah arahan Kak Esther.

Rapat desk bisnis The Jakarta Post yang dipimpin Kak Esther Samboh.
Rapat desk bisnis The Jakarta Post yang dipimpin Kak Esther Samboh.

Sebagai kepala desk bisnis, Kak Esther jauh dari kesan galak dan berjarak. Reporter bisa menyambangi mejanya kapan saja tanpa segan. Bahkan di tengah jam deadline sekalipun, ia (hampir) selalu membuka diri untuk konsultasi tulisan atau sekadar bertukar gosip kantor.

Terkadang, editor lainnya yang harus mengingatkan reporter agar jangan dulu mengganggu Kak Esther bila memang kerjaan sedang begitu menumpuk. “Jangan ajak ngobrol Esther! Dia lagi ngedit halaman 1,” kata Kak Tassia Sipahutar, editor lain di desk bisnis, suatu hari.

Di sisi lain, reporter pun menaruh respek begitu besar pada Kak Esther, entah karena kemampuannya mengedit tulisan amburadul jadi kinclong, caranya menjelaskan hal rumit jadi sederhana, serta perhatian dan apresiasinya pada tiap reporter.

Pada pertengahan Agustus 2016, saya kebagian meliput Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Bumi Serpong Damai, Tangerang. Saya yang seumur-umur tidak pernah menulis soal otomotif, terpaksa belajar memahami seluk beluk mesin sepeda motor atau bahkan ukuran ban truk.

Lalu, jadilah saya menulis soal peluncuran sports bike terbaru Astra Honda Motor bernama CBR250RR. Karena tulisan itu dialokasikan untuk terbit di koran Senin, maka saya punya cukup banyak waktu untuk menggarapnya di Sabtu sebelumnya. Seharian saya kerjakan tulisan itu dengan dahi berkerut, mencari data soal produk 250 cc Honda sebelumnya hingga angka penjualan sepeda motor nasional selama beberapa tahun terakhir.

Saya kirim tulisan tersebut Sabtu malam. Lalu pada Minggu sore tiba-tiba Kak Esther menyapa via WhatsApp.

“Story Astramu (lima gambar jempol). Sampe terharu bacanya.”

Baca pesan Kak Esther, saya langsung sumringah. Maklum, itu baru bulan kedua saya jadi reporter desk bisnis. Selama di sana, saya rutin stres, entah kala berusaha membaca prospektus perusahaan untuk pertama kalinya, terbengong-bengong mendapati berbagai istilah alien di sektor perbankan, sampai kepala pening usai dihajar tumpukan data ekspor-impor terbaru keluaran Badan Pusat Statistik (BPS).

Di waktu lain, saya sempat menulis soal cashless society pada akhir November 2016 dalam rangka pemenuhan tugas mingguan. Tiap beberapa minggu sekali, reporter di desk bisnis memang wajib bergantian mengerjakan tugas liputan mendalam selama satu minggu penuh dengan hasil akhir dua hingga tiga tulisan (sedikit lebih) panjang dari biasanya. Saat itu, kami dibebaskan dari tugas rutin harian di beat masing-masing.

Namun, selewat kurang lebih seminggu setelah saya kirim hasil liputan ke editor, tulisan saya itu tak kunjung naik cetak. Heran, saya sempat menanyakan hal ini ke Kak Linda Yulisman, salah satu editor.

“Tenang, Vir. Tulisanmu oke kok, makanya disimpan. Kalau pas lagi seret, itu kita keluarin biar ada yang cetar,” kata Kak Linda yang memang selalu riang dan positif.

Walau begitu, entah kenapa saya tetap tak tenang.

Benar saja, besoknya ketika saya mampir ke kantor, saya menanyakan hal yang sama ke Kak Esther yang langsung menjawab, “Aku enggak ngerti kamu mau ngomong apa sih di tulisan itu?”

Ya salam.

Kak Esther memang sangat fair saat memberi penilaian, dan saya justru lebih senang bila diperlakukan seperti itu.

Kak Tassia Sipahutar, Mas Hasyim Widhiarto, dan Kak Esther Samboh.
Kak Tassia Sipahutar, Mas Hasyim Widhiarto, dan Kak Esther Samboh.

Banyak hal lain yang membuat saya begitu segan padanya, entah pencapaiannya yang bisa jadi kepala desk bisnis di usia belum mencapai kepala tiga, atau juga berbagai kisah legendarisnya saat masih berstatus reporter.

Beberapa tahun silam, Kak Esther pernah ditugaskan meliput Investor Day di Bursa Efek Indonesia, acara yang jadi ajang berkumpulnya para emiten untuk melakukan paparan publik soal kinerja dan rencana ekspansi mereka ke depan. Saat itu, Kak Esther sempat dalam satu hari mengirimkan 13 berita online dan empat artikel koran.

Mendengarnya, saya cuma bisa bengong. Apalah saya ini yang paling banyak cuma kirim dua artikel koran saat meliput Investor Day pada Agustus tahun lalu? Cuma remah Malkist Abon kalau dibanding Kak Esther.

Namun, satu hal yang saya tak akan pernah lupa adalah pesan Kak Esther saat saya masih berstatus calon reporter di desk bisnis.

“Selalu kasih yang terbaik, bukan untuk kantor, bukan untuk editor, tapi untuk diri kamu sendiri. Kalau kamu kasih yang terbaik demi kantor, akan ada banyak kecewanya. Makanya kamu harus lakukan yang terbaik untuk diri kamu sendiri, untuk bekal kamu ke depannya.”

Dan, akhirnya itu pula yang ia ucapkan saat memberi kata-kata perpisahan pada seluruh rekan-rekan reporter dan editor desk bisnis pada 11 Januari 2017.

Mulanya, banyak dari kami seakan tak terima dengan keputusan Kak Esther, terutama saat ia pertama kali mengumumkannya secara resmi pada pertengahan Desember 2016. Tiap reporter di dalam ruang rapat saat itu cuma bisa terdiam, terjebak dalam canggung yang menyesakkan.

I should give this new job a try. I’ve been in this small box for a long time. Sampai ke titik bahkan kadang-kadang bikinin outline untuk liputan kalian aja cuma butuh lima sampai 10 menit. And it’s bad when you have reached that point. It’s like you’re on autopilot mode. So, I feel the need to expand myself, and I need more time with my family,” kata Kak Esther.

Akhirnya kita memang harus terus maju. Mesin di “kotak kecil” ini mesti lanjut berjalan biarpun banyak lubang menunggu di depan.

And now, it’s about time for us to give it a try.

Perpisahan dengan Kak Esther Samboh.
Perpisahan dengan Kak Esther Samboh.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top