Steven Gerrard emosional. Laga melawan Manchester City pada 13 April 2014 menandai kemenangan ke-10 Liverpool secara beruntun di Liga Inggris, yang membuat gelar juara terasa kian dekat dan nyata. Hanya tersisa empat pertandingan sebelum ia dan tim dapat meraih surga yang dijanjikan.
Setelah laga usai, Gerrard menangis. Stadion Anfield bergemuruh. Seluruh penggemar bersorak. Para pemain berkumpul memeluk Gerrard, dan sang kapten pun memberikan kata-kata penyemangat.
“Ini telah berlalu. Kita akan pergi bertanding ke Norwich dan melakukan hal yang sama. Dengar, kita tak akan tergelincir!”
Sudah terlalu lama Gerrard mendamba dan mengejar trofi Liga Inggris, dan terlalu sering pula ia gagal. Sejak melakoni debut di tim utama Liverpool pada November 1998, Gerrard telah meraih segalanya, kecuali juara liga. Bersamanya, Liverpool hanya pernah mentok jadi runner-up pada musim 2001/02 dan 2008/09.
Pada musim 2013/2014, semua terlihat sempurna. Bersama manajer Brendan Rodgers, Liverpool menemukan kembali konsistensinya. Kinerja Gerrard bersama Jordan Henderson mungkin tak sesolid ketika ia bersama Xabi Alonso dan Javier Mascherano di era manajer Rafael Benitez. Namun, duet maut striker Luis Suarez dan Daniel Sturridge hampir selalu dapat memberikan jawaban di tengah kebuntuan.
Optimisme semakin membubung setelah Liverpool berhasil mengalahkan Norwich City di pekan ke-35. Kini, halangan terbesar tinggal laga melawan Chelsea pada pekan selanjutnya. Bila Liverpool berhasil kembali menang, bisa dikatakan jalan mereka jadi juara bakal terbuka lebar, mengingat dua lawan terakhir mereka adalah Crystal Palace dan Newcastle United.
Harapan besar ada di pundak Gerrard dan kawan-kawan. Apalagi, Liverpool terakhir kali juara Liga Inggris pada 1990, saat Jerman Barat sukses merengkuh Piala Dunia dan Lothar Matthaus berhasil meraih Ballon d’Or.
Bersama harapan, datanglah tekanan, yang sesungguhnya telah jadi makanan Gerrard sehari-hari. Sepanjang kariernya, ia sudah terlalu sering menyelamatkan Liverpool dari keterpurukan di tengah situasi penuh tekanan. Ia yang memimpin orkestra kebangkitan tim saat tertinggal 0-3 dari AC Milan di final Liga Champions 2005, dan kala nyaris tumbang dari West Ham United pada final Piala FA 2006.
Gerrard adalah pejuang yang selalu siap mati demi Liverpool. Tak ada yang meragukan kapabilitasnya. Karena itu, tak ada yang menyangka justru Gerrard yang melakukan kesalahan fatal berujung bencana di laga melawan Chelsea pada 27 April 2014.
Pada masa perpanjangan waktu babak pertama, Mamadou Sakho memberikan umpan pendek pada Gerrard di tengah lapangan. Gerrard gagal mengontrol, hingga bola justru mengarah pada penyerang Chelsea, Demba Ba. Panik, Gerrard coba mengejar, tapi ia justru tergelincir. Ba menguasai bola, berlari sendirian, dan kemudian mencetak gol ke gawang Liverpool.
Anfield terhenyak.

Di babak kedua, Gerrard berusaha menebus kesalahannya. Berulang kali ia menembak, tapi selalu gagal, entah bolanya melebar atau berhasil dihalau kiper pelapis Chelsea, Mark Schwarzer. Gawang Liverpool justru kembali bobol oleh Willian di penghujung pertandingan.
Memang, Liverpool masih unggul dua poin atas Chelsea di posisi kedua dan tiga poin atas City di posisi ketiga klasemen Liga Inggris. Namun, City masih punya tabungan satu laga lebih banyak dan selisih gol lebih baik. Mendadak, gelar juara terasa menjauh dari Liverpool.
Dan benar saja, Liverpool kembali tersandung saat ditahan 3-3 oleh Palace. Mereka menang 2-1 atas Newcastle di laga pamungkas, tapi itu tak lagi berguna. City sukses meraih poin penuh di dua laga terakhirnya, dan dinobatkan sebagai juara Liga Inggris 2013/2014.
Kejadian Gerrard tergelincir benar-benar membawa tragedi nan puitis. Apalagi, dua minggu sebelumnya ia baru saja berkata pada rekan-rekannya: “Kita tak akan tergelincir!”
Hal ini begitu berbekas dalam diri Gerrard, dan bahkan terus menghantuinya bertahun-tahun setelah ia pensiun. “Luka ini telah menganga sejak saya mengalami kejadian itu. Saya tidak yakin lukanya akan tertutup, karena saya tidak bisa mengubah pengalaman tersebut,” kata Gerrard pada Maret 2019.
Andai saja Gerrard tidak tergelincir, mungkin Liverpool telah mengakhiri puasa panjang trofi Liga Inggris pada 2014. Sang kapten bakal pensiun dengan tenang. Manajer Rodgers pun akan disembah bagai Tuhan oleh para pendukung, dan tak akan ada yang berani memecatnya setelah itu.
Dan mungkin, Jurgen Klopp tak akan pernah datang ke Liverpool.
***
Hans-Joachim Watzke berjasa besar menyelamatkan Borussia Dortmund dari jurang kebangkrutan pada 2005. Sebagai CEO, saat itu Watzke bekerja sama dengan presiden Reinhard Raubell dan CFO Thomas Tress untuk mengembalikan kesehatan keuangan Dortmund.
Berbagai cara dilakukan, termasuk dengan merestrukturisasi utang Dortmund yang menumpuk akibat belanja pemain secara berlebihan, menegosiasikan pinjaman dari Morgan Stanley, dan memotong gaji pemain. Nama stadion mereka pun berganti dari Westfalenstadion menjadi Signal Iduna Park, yang berasal dari nama perusahaan jasa keuangan lokal yang jadi sponsor klub.
Dortmund sukses bertahan hidup. Konsekuensinya, mereka tak punya uang untuk membeli pemain bintang dan harus mengandalkan pemain mudanya. Walau begitu, Watzke bersikeras tim ini mesti tetap dapat menunjukkan gaya permainan memikat. Untuk itu, dibutuhkan pelatih yang tepat. Masalahnya, siapa?
Lantas Watzke teringat pada Mainz 05, tim asuhan pelatih muda bernama Jurgen Klopp.
Mainz 05 baru pertama kali dalam sejarah promosi ke Bundesliga pada 2004. Walau begitu, mereka sukses bertengger di posisi ke-11 klasemen pada dua musim pertamanya di divisi utama. Bukan pencapaian buruk untuk tim promosi. Mainz 05 memang terdegradasi kembali ke divisi dua pada akhir musim 2006/2007, tapi permainan mereka membuat Watzke terkesan.
“Anda selalu merasa bahwa mereka sebenarnya tidak bagus-bagus amat, tapi entah bagaimana mereka bisa membuat situasi sulit untuk Anda, dan terkadang mereka mengalahkan Anda,” ujar Watzke, seperti dikutip dari buku Klopp: Bring the Noise (2019) karya Raphael Honigstein.
“Itu karena mereka memiliki mental para pembunuh. Dan secara taktik, perencanaan mereka sangat bagus. Itu semua pasti karena pelatihnya.”

Pada Oktober 2007, Watzke mulai mendekati Christian Heidel, general manager Mainz 05 kala itu, dan mencari masukan soal seberapa bagus sebenarnya Klopp sebagai pelatih.
Dengan terbuka, Heidel berujar: “Jika Anda butuh seseorang berjas dan berdasi, jangan rekrut Jurgen Klopp. Tapi jika Anda menginginkan pelatih top, Anda harus merekrutnya.”
Perlahan, Watzke semakin yakin untuk mendatangkan Klopp, apalagi melihat kiprah Dortmund yang tak meyakinkan di bawah arahan pelatih Thomas Doll. Pada akhir musim 2007/2008, tim Hitam Kuning hanya mampu berada di posisi ke-13 klasemen Bundesliga, dan kalah dari Bayern Muenchen di laga final DFB-Pokal.
Pada 19 Mei 2008, Doll resmi mengundurkan diri, dan membuka jalan bagi Dortmund untuk mendekati Klopp lebih intens. Mulanya Klopp ragu, karena di saat yang sama Bayer Leverkusen juga menunjukkan ketertarikan. Belum lagi, tawaran gaji dari Dortmund awalnya lebih kecil dari jumlah yang ia dapat di Mainz 05, yang saat itu ada di divisi dua.
Heidel-lah yang meyakinkan Klopp untuk pergi ke Dortmund, dan mendorong Watzke untuk menaikkan gaji sang pelatih muda. Alhasil, Klopp menandatangani kontrak dengan Dortmund pada 23 Mei 2008.
Sejak saat itu, revolusi Dortmund resmi dimulai.
Klopp dengan mudah merebut hati orang-orang di sekitarnya. Ia berbaur bersama ultras atau pendukung garis keras Dortmund, dan datang ke pesta musim panas tahunan para mantan pemain. Ia memperlakukan staf klub dan pemainnya bagai keluarga sendiri. Ia senang berinteraksi dengan siapa saja, entah untuk sekadar bercanda, menanyakan kabar, berdiskusi taktik, atau bahkan melontarkan kritik. Kehadirannya menebar antusiasme dan optimisme dalam tubuh tim.
Lantas, Klopp memperkenalkan sepak bola heavy metal pada Dortmund. Gaya permainan ini menuntut seluruh pemain untuk terus menekan lawan dengan intensitas tinggi, mengoper dan menyerang balik dengan cepat, serta berlari, berlari, dan berlari dengan perencanaan posisi yang rapi.
Inti dari filosofi Klopp adalah gegenpressing, atau sederhananya, menyerang balik usaha serangan balik lawan. Jadi, saat lawan berhasil merebut bola di wilayahnya, para pemain Dortmund justru dituntut untuk segera memberi tekanan alih-alih mundur. Dengan begitu, diharapkan pemain lawan terpancing melakukan kesalahan di wilayahnya sendiri di tengah situasi penuh tekanan.
“Gegenpressing memungkinkan Anda merebut kembali bola di posisi lebih dekat dengan gawang lawan. Peluang yang sangat bagus kemudian bisa tercipta dengan satu operan saja. Tidak ada playmaker di dunia ini yang bisa (menciptakan peluang) sebaik situasi gegenpressing, dan itulah kenapa ia sangat penting,” ujar Klopp, yang mengaku terinspirasi dari filosofi mentornya dahulu di Mainz 05: Wolfgang Frank.
Namun, implementasinya tak semudah itu. Para pemain Dortmund butuh waktu sebelum benar-benar bisa mencerna sistem Klopp. Mereka dituntut untuk disiplin dalam hal taktik, dan meningkatkan daya tahan fisik agar bisa terus belari menekan lawan, melakukan tekel tepat sasaran, mengoper dengan cepat, dan sebagainya. Intinya, tak ada ruang untuk bermalas-malasan di lapangan.
Seleksi alam pun terjadi. Mereka yang kesulitan mengikuti sistem Klopp terpaksa dilepas. Kemudian, berkat tangan dingin direktur olahraga Michael Zorc, Dortmund dengan anggaran terbatas berhasil mendatangkan pemain-pemain bertalenta yang sesuai dengan kebutuhan tim, seperti Robert Lewandowski, Shinji Kagawa, dan Ilkay Gundogan. Kehadiran mereka sukses memperkuat tim yang saat itu telah disesaki pemain-pemain muda berbakat semacam Mats Hummels, Nuri Sahin, dan Mario Gotze.
Perlahan, hasilnya terlihat semakin nyata. Dortmund duduk di posisi keenam klasemen Bundesliga pada akhir musim 2008/2009, lalu naik ke peringkat kelima pada musim 2009/2010. Bisa dikatakan, dua musim pertama Klopp adalah periode adaptasi, masa-masa krusial untuk menyiapkan fondasi. Setelahnya, tim Hitam Kuning memelesat tak terkendali.
Dortmund berhasil menjuarai Bundesliga pada musim 2010/2011 dengan rata-rata usia pemain hanya 23 tahun – termuda dalam sejarah. Mereka pun melakukannya dengan elegan. Tim Hitam Kuning kokoh di puncak klasemen, berjarak tujuh poin dari Leverkusen di posisi kedua, dan 10 poin dari Muenchen di posisi ketiga. Mereka hanya kebobolan 22 gol, paling sedikit di liga. Mereka benar-benar mendominasi, dan mematahkan segala prediksi.
“Pada tahun pertama, sepak bola kami cukup normal, dengan sedikit sentuhan taktik Klopp,” kata Neven Subotic, bek tengah yang ikut dibawa Klopp saat pindah dari Mainz 05 ke Dortmund. “Tahun kedua, gayanya jadi lebih tajam. Tahun ketiga: boom! Kami mencapai tingkatan yang sama sekali baru.”
Pada musim 2011/2012, Dortmund sukses untuk pertama kalinya dalam sejarah mengawinkan gelar juara Bundesliga dengan DFB-Pokal. Gelar yang terakhir mereka raih dengan membantai Muenchen 5-2 di laga final. Itu adalah kemenangan kelima Dortmund secara beruntun melawan Muenchen dalam rentang dua tahun.

Setahun berselang, Dortmund memang gagal mempertahankan gelar juara Bundesliga, tapi mereka tampil gemilang di Liga Champions. Di fase grup, mereka tergabung bersama Real Madrid, Manchester City dan Ajax, dan lolos sebagai pemuncak klasemen tanpa pernah kalah. Mereka bahkan sempat membantai Real 4-1 di leg pertama babak semifinal, sebelum akhirnya kalah dari sang rival abadi Muenchen di laga pamungkas pada 25 Mei 2013.
Pada titik itu, orang-orang telah mengakui kemampuan Klopp dan berbagai klub besar Eropa, utamanya dari Inggris, mulai mencari celah untuk menggunakan jasanya. Salah satunya Manchester United.
Ed Woodward, wakil kepala eksekutif United, terbang ke Jerman pada April 2014 untuk menemui langsung Klopp. Seperti dijabarkan dalam buku Honigstein, Woodward bermaksud merekrut Klopp untuk menggantikan David Moyes, yang saat itu belum sampai setahun menangani tim Setan Merah setelah manajer legendaris Sir Alex Ferguson pensiun. Moyes adalah pilihan utama Ferguson untuk jadi penerusnya, tapi kinerja eks manajer Everton itu mengecewakan, hingga United justru kehilangan tajinya.
Woodward berusaha merayu. Ia berkata pada Klopp, Theatre of Dreams – julukan bagi kandang United, Old Trafford – merupakan versi dewasa dari Disneyland. Di sana, masih menurut Woodward, terdapat hiburan kelas dunia dan mimpi-mimpi yang jadi nyata. Klopp justru tak yakin mendengarnya dan menganggap jualan tersebut “kurang seksi”. Ia sempat mempertimbangkan, tapi kemudian menolak.
Kira-kira enam bulan berselang, giliran City dan Tottenham Hotspur yang melakukan pendekatan. Namun, Klopp kembali bergeming.
Setelah tujuh tahun menangani Dortmund, Klopp memutuskan mundur pada akhir musim 2014/2015. Ia merasa perjalanannya bersama tim Hitam Kuning telah usai. Kemudian, datanglah tawaran dari klub yang sulit ia tolak: Liverpool.
Sama seperti Dortmund saat pertama Klopp datang ke sana, Liverpool adalah raksasa yang tertidur dengan kisah sukses panjang di masa lalu. Mereka memiliki basis pendukung yang sangat bergairah, serta latar belakang kelas pekerja yang kuat.
Siapa pun yang menangani Liverpool bakal menemui tugas berat untuk membangun dan mengembalikan kejayaan tim, serta mengangkat semangat pendukung yang telah terlalu sering jadi bahan olok-olok karena setumpuk kegagalan, utamanya di Liga Inggris.
Michael Gordon, presiden Fenway Sports Group – perusahaan pemilik Liverpool, percaya Klopp adalah orang yang tepat. Salah satu alasannya, Klopp telah membuktikan diri dengan meraih sejumlah trofi lewat gaya permainan penuh energi.
Gordon dan timnya juga melakukan “uji kelayakan” dan menganalisis data Klopp saat menangani Mainz 05 dan Dortmund. Sebagai mantan manajer dana lindung nilai (hedge fund), Gordon terbiasa menjalani proses semacam ini sebelum mengambil langkah investasi.
“Saya melakukan sejumlah riset bersama orang-orang di klub,” kata Gordon. “Saya coba mengesampingkan popularitasnya di dunia sepak bola, juga karismanya, agar analisisnya tidak bias.”
Hasil analisis tersebut menunjukkan, Klopp kerap membawa hasil positif yang melebihi ekspektasi bagi tim-tim yang ia tangani. Gordon jadi semakin yakin, dan ingin mendengar langsung ide-ide Klopp. Lantas, diaturlah pertemuan dengannya di New York, Amerika Serikat, pada 1 Oktober 2015.
Tak butuh waktu lama bagi Klopp untuk mengambil hati para petinggi Liverpool di pertemuan itu. Gordon pun terkesan, tak hanya dengan kepribadian Klopp yang menyenangkan dan cenderung blak-blakan, tapi juga pemikirannya yang analitis, logis, dan jelas.
Saat itu Klopp berkata, sepak bola lebih dari sekadar sistem. Ia juga mencakup hujan, tekel-tekel keras, dan keriuhan di stadion. Karena itu, kerumunan Anfield harus bisa “dihidupkan”.
Seminggu kemudian, Klopp resmi jadi manajer Liverpool, dan Liga Inggris pun bersiap menyambut sebuah era baru.

***
Sabtu, 14 Mei 2011. Wasit Phil Dowd meniup peluit panjang. Laga berakhir imbang 1-1 antara Blackburn Rovers dan Manchester United. Untuk standar United, ini bukan pertandingan menarik. Mereka mendominasi bola hingga 60 persen, tapi hanya mampu menghasilkan empat tembakan tepat sasaran. Salah satunya yang jadi gol datang dari tendangan penalti Wayne Rooney pada menit ke-73. Di luar itu, tak ada aksi yang benar-benar memikat.
Namun, reaksi yang muncul setelah laga usai menunjukkan ini bukan hasil seri biasa. Seluruh pemain dan staf United bersorak kegirangan. Manajer Sir Alex Ferguson meloncat-loncat sembari mengangkat kedua tangannya. Striker Wayne Rooney memeluk rekan-rekannya sembari tersenyum lebar. Legenda klub Sir Bobby Charlton tampak berseri-seri. Para penonton terus bertepuk tangan dan bernyanyi.
Tambahan satu poin pada malam itu sudah cukup untuk memastikan United jadi juara Liga Inggris 2010/2011. Ini gelar liga ke-12 Ferguson selama menangani tim Setan Merah, atau yang ke-19 sepanjang sejarah klub. Dengan raihan ini, resmi sudah United melewati rekor 18 trofi Liverpool yang selalu dibangga-banggakan para pendukungnya, walau terakhir mereka juara liga adalah pada 1990.
Ferguson tentu ingat betul apa yang terjadi pada Selasa, 4 Januari 1994. Kala itu United bertandang ke stadion Anfield, kandang Liverpool, sebagai juara bertahan dan pemuncak klasemen Liga Inggris. Kedatangan striker kontroversial Eric Cantona pada musim 1992/1993 sukses membantu United menemukan kembali kejayaannya setelah terakhir kali meraih trofi liga pada 1967.
Di saat yang sama, Liverpool tengah melalui periode sulit bersama manajer Graeme Souness. Serangkaian keputusan buruk di bursa transfer dan setumpuk kekalahan di liga membuat Liverpool hanya duduk di posisi ketujuh klasemen pada awal 1994, terpaut 21 poin dengan United di puncak.
Namun, para pendukung fanatik Liverpool tetap menunjukkan keangkuhannya. Pada laga yang berakhir imbang 3-3 itu, mereka memasang spanduk di Anfield dengan tulisan: “Dadah, Cantona dan Man. United… Balik lagi kalau sudah menang 18 kali!”
Pernyataan itu tak akan pernah dilupakan oleh Ferguson dan seluruh pendukung United.
Kebencian di antara dua klub dari wilayah barat laut Inggris ini terus terpupuk dari waktu ke waktu. Salah satunya gara-gara sebuah kolom yang ditulis Alan Hansen, pandit sepak bola BBC sekaligus mantan kapten Liverpool era 1980an, di The Daily Telegraph pada 16 September 2002.
Hansen menyoroti kinerja United yang mengecewakan di awal musim 2002/2003. Selewat enam pekan Liga Inggris berjalan, mereka hanya mampu mengumpulkan delapan poin dari dua kemenangan dan dua hasil imbang. Di dua pertandingan terakhirnya, mereka bahkan kalah dari Bolton Wanderers dan Leeds United. Alhasil, United terpuruk di posisi ke-10 klasemen saat itu, berjarak enam poin dari Arsenal di puncak dan empat poin dari Liverpool di posisi kelima.
Ini adalah lanjutan dari tren menurun United sejak musim 2001/2002, saat Arsenal keluar sebagai juara Liga Inggris dengan keunggulan tujuh poin atas Liverpool di posisi kedua dan 10 poin dari United di posisi ketiga. Karena itu, Hansen merasa Ferguson tengah menghadapi “tantangan terbesar dalam kariernya”.
Wartawan The Guardian, Michael Walker, berusaha meminta tanggapan Ferguson atas tulisan Hansen tersebut saat sesi wawancara pada akhir September 2002. Kala itulah Ferguson berkata: “Tantangan terbesar saya bukan apa yang sedang terjadi saat ini. Tantangan terbesar saya adalah untuk menjatuhkan Liverpool dari tenggeran sialannya. Dan silakan Anda menerbitkan (kutipan) itu.”
Setelahnya, United bagai kesetanan. Mereka terakhir kali kalah saat menghadapi Middlesbrough pada Desember 2002. Sejak itu, mereka terus melaju kencang hingga kembali merebut gelar Liga Inggris pada akhir musim 2002/2003.
Delapan tahun berselang, Ferguson berhasil mewujudkan ambisinya dengan membawa United meraih gelar liga ke-19. Liverpool dijatuhkan dari “tenggeran sialannya”, dan United resmi jadi klub tersukses sepanjang sejarah Liga Inggris.

Ironis, ini terjadi saat Sir Kenny Dalglish, mantan pemain legendaris Liverpool, baru saja kembali menangani klub tersebut. Dan jangan lupa, Michael Owen, striker didikan akademi Liverpool, ada di tim juara United saat itu.
Liverpool pun nestapa. Mereka identik dengan lelucon, yang kemudian diperparah kejadian Steven Gerrard tergelincir di laga melawan Chelsea pada akhir musim 2013/2014.
Liverpool semakin tersudut setelah manajer Jose Mourinho membawa United menjuarai Liga Europa 2016/2017. Dengan ini, United sukses menggeser Liverpool sebagai klub Inggris dengan raihan trofi mayor terbanyak sepanjang sejarah. Catatan ini tidak memperhitungkan Community Shield, Piala Super Inggris yang hanya pernah diadakan sekali pada musim 1985/1986, Piala Super Eropa, Piala Interkontinental, dan Piala Dunia Antarklub.
Hingga pertengahan 2017, Liverpool “baru” mengoleksi 41 trofi mayor: 18 Liga Inggris, tujuh Piala FA, delapan Piala Liga, tiga Piala UEFA, dan lima Liga Champions.
Di saat yang sama, United telah meraih 42 trofi mayor: 20 Liga Inggris, 12 Piala FA, lima Piala Liga, satu Piala Winners, satu Liga Europa, dan tiga Liga Champions.
Dari 42 trofi tersebut, 25 diraih United di era Ferguson sejak November 1986 hingga Mei 2013. Pada periode yang sama, Liverpool hanya mengumpulkan 12 trofi. Bisa dikatakan, sang kakek asal Skotlandia sukses memindahkan pusat kejayaan sepak bola Inggris dari kota Liverpool ke Manchester.
Perseteruan antara dua kota ini sebenarnya telah berlangsung jauh sebelum sepak bola jadi candu masyarakat Inggris. Pada abad ke-19, Manchester mencuat sebagai kota industri pertama dalam sejarah. Ia bahkan dijuluki Cottonopolis, yang merujuk pada reputasinya sebagai pusat industri tekstil global. Pada 1853, diperkirakan ada lebih dari 100 pabrik kapas di Manchester. Mereka mendatangkan kapas mentah serta batu bara untuk bahan bakar mesin uap pabrik melalui pelabuhan Liverpool, yang kala itu merupakan salah satu pelabuhan tersibuk di dunia.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pebisnis di Manchester yang mengeluhkan besaran pungutan untuk mengimpor barang melalui pelabuhan Liverpool. Daripada membayar mahal, lebih baik membuat kanal sendiri agar kapal-kapal bisa berlayar dan mengantarkan barang langsung ke pusat kota Manchester, begitu pikir mereka.
Mulanya, ide untuk membangun Kanal Kapal Manchester ditentang keras oleh mereka yang berkepentingan dengan pelabuhan Liverpool. Namun, parlemen Inggris toh memberi persetujuan pada 1885. Dengan melibatkan sekiranya 17 ribu pekerja, kanal tersebut mulai dibangun pada 1887 dan resmi dibuka pada 1894. Sejak saat itu, terjadilah pergeseran pengaruh dan kekuatan ekonomi ke Manchester, dan Liverpool pun tak pernah lagi sama.
Dalam konteks sepak bola, Ferguson adalah Kanal Kapal Manchester di era modern. Kehadirannya mengubah United jadi kekuatan dominan sepak bola Inggris yang secara konstan menggerus relevansi Liverpool.
“Pada tahun 2000 saya melihat Liverpool dan mengetahui bahwa mereka butuh waktu untuk pulih. Mereka mungkin akan lama dalam keadaan seperti itu. Pembinaan pemain muda di sana terputus-putus. Tak ada lagi perasaan bahwa Liverpool adalah ancaman. Momentumnya ada di kami,” tulis Ferguson di bukunya, Alex Ferguson: Autobiografi Saya (2014).
“Pada musim terakhir saya, tidak ada bukti bahwa Liverpool, meskipun beberapa kali tampil luar biasa, memiliki tim yang bisa menjadi juara liga.”
Yang Ferguson tidak tahu, sekiranya dua tahun setelah ia pensiun pada Mei 2013, akan datang pria Jerman yang bakal merombak peta kekuatan sepak bola Inggris. Namanya: Jurgen Klopp.
***
Beberapa hari jelang final Liga Champions 2019, Jurgen Klopp dibayangi kecemasan. Ia tercatat selalu kalah dalam enam final terakhir yang dilaluinya sejak 2013. Rinciannya: satu Liga Champions dan dua DFB-Pokal bersama Borussia Dortmund, serta satu Piala Liga, satu Liga Europa, dan satu Liga Champions bersama Liverpool.
Klopp tak khawatir dengan dirinya sendiri. Yang ia pikirkan adalah istrinya.
“Jika kami kalah lagi, dia bakal membaca (berita) tentang segala hal yang tak bisa aku lakukan, tentang aku yang pecundang … Dia tak akan bisa menghadapi itu semua,” kata Klopp pada seorang teman dekatnya, seperti dikutip dari buku Klopp: Bring the Noise (2019).
Namun, bahkan dengan rekor buruk tersebut, segala pencapaian Liverpool di tangan Klopp sejauh ini tetap patut diapresiasi.
Di bawah asuhan manajer sebelumnya, Brendan Rodgers, Liverpool harus puas duduk di posisi keenam klasemen Liga Inggris 2014/2015. Pertandingan terakhir di musim itu, yang jadi laga perpisahan kapten dan legenda klub Steven Gerrard, bahkan berujung pada kekalahan telak 1-6 atas Stoke City. Di Liga Champions, perjalanan tim pun mentok di fase grup. Situasinya sungguh mengenaskan.
Lantas, setelah hanya mampu membawa Liverpool menang dalam empat dari 11 laga di awal musim 2015/2016, Rodgers dipecat dan Klopp ditunjuk sebagai pengganti.
Sejak awal, Klopp menolak menetapkan target muluk-muluk. Kebalikan dari Jose Mourinho yang langsung mendeklarasikan dirinya sebagai “sang istimewa” (the special one) saat pertama datang ke Chelsea pada Juni 2004, Klopp berkata ia adalah “si orang biasa” (the normal one) dengan perspektif romantis terhadap sepak bola. Ia hanya minta waktu untuk bekerja dan menyuntikkan filosofinya ke tubuh tim.
“Menang itu penting, tapi cara Anda meraih kemenangan dan bermain dalam pertandingan juga penting. Saya percaya pada filosofi permainan yang sangat emosional, sangat cepat, dan sangat kuat. Tim-tim saya harus bisa tancap gas dan berusaha hingga ke batas di tiap pertandingan,” kata Klopp.
Dengan optimisme khasnya, Klopp mengatakan situasi Liverpool sesungguhnya tak seburuk yang banyak orang pikirkan. Hanya saja, menurutnya Liverpool tak boleh terus terbebani kejayaan masa lalu atau fakta bahwa sudah lewat seperempat abad sejak mereka terakhir menjuarai Liga Inggris.
“Sejarah itu hebat, tapi hanya untuk diingat. Sekarang, kita punya peluang untuk menulis cerita yang baru jika kita mau,” ujar Klopp.
Dan itulah yang terjadi. Klopp mendorong Liverpool untuk mulai dari awal lagi agar bisa menuliskan sendiri kisahnya yang baru. Ia menambah sesi latihan dan meminta seluruh pemain berkomitmen untuk bekerja keras dan meningkatkan agresivitas agar bisa menerapkan taktik andalannya: gegenpressing.
Butuh waktu bagi Liverpool untuk beradaptasi dengan sistem Klopp. Pada sesi latihan taktik pertama, para pemain kelewat bersemangat hingga terkesan melakukan segala cara untuk menekan dan menghentikan usaha serangan balik lawan. Ujung-ujungnya malah terjadi banyak pelanggaran, yang membuat bola kembali dikuasai lawan. Klopp sampai harus meminta mereka menurunkan intensitas.
Di sisi lain, Klopp meminta para pendukung mengubah pola pikirnya dari “peragu menjadi pemercaya”. Mereka harus yakin Liverpool bisa sukses. Tentu, perubahan tak langsung terjadi dalam semalam. Sesaat setelah Crystal Palace mencetak gol kemenangan atas Liverpool di menit ke-82 pada November 2015, banyak penonton berbaju merah terlihat meninggalkan stadion Anfield. Mereka urung menyaksikan laga hingga akhir. Melihat hal itu, Klopp berkata, “Aku merasa cukup kesepian.”
Titik baliknya ada di laga melawan West Bromwich Albion (WBA) sebulan berselang. Liverpool unggul lebih dahulu lewat sepakan kapten Jordan Henderson pada menit ke-21, sebelum balik tertinggal gara-gara gol-gol Craig Dawson dan Jonas Olsson bagi WBA pada menit ke-30 dan ke-73. Saat tampaknya Liverpool bakal kembali kalah, penyerang Divock Origi berhasil menyamakan kedudukan melalui tendangan jarak jauhnya pada menit ke-96. Anfield sontak “meledak”.

Setelah laga usai, Klopp memanggil seluruh pemainnya untuk memberi hormat di depan The Kop, berterima kasih pada para pendukung yang terus bertahan hingga akhir.
Perjalanan Liverpool di musim perdana Klopp bagai roller coaster. Di liga, mereka berhasil menang atas Chelsea (3-1) dan Manchester City (4-1 dan 3-0), tapi juga tumbang kala bertemu Palace (1-2), Watford (0-3), dan Swansea City (1-3). Inkonsistensi membuat Si Merah hanya bertengger di posisi kedelapan klasemen pada akhir musim 2015/2016.
Di Liga Europa, Liverpool terlihat lebih menjanjikan, terutama setelah mereka sukses menyingkirkan rival abadi Manchester United dan menang dramatis atas eks tim Klopp, Dortmund, dalam perjalanan menuju final. Langkah mereka baru terhenti setelah takluk oleh Sevilla di laga pamungkas pada Mei. Ini kegagalan kedua Liverpool meraih trofi dalam rentang tiga bulan, setelah sebelumnya mereka kalah adu penalti dari City di final Piala Liga pada Februari.
Namun, bukan Klopp namanya bila langsung bermuram durja. Setelah kekalahan dari Sevilla itu, ia mengumpulkan seluruh pemain dan staf klub di hotel tim di Basel, Swiss. Lalu ia berkata: “Dua jam lalu perasaan kalian semua berantakan. Sekarang, semoga kalian semua sudah merasa lebih baik. Ini baru permulaan buat kita. Kita akan bermain di banyak laga final lainnya.”
Kemudian, Klopp mengajak semua bernyanyi, “Kita adalah Liverpool, tra-la-la-la!” Mereka pun berpesta dan menepis segala lara.
Yang telah berlalu biarlah berlalu. Bagi Klopp, yang penting adalah tetap berbenah agar bisa melangkah lebih jauh lagi ke depannya. Dan inilah yang ia lakukan saat bursa transfer musim panas 2016. Klopp melakukan perombakan besar-besaran. Ia melepas total 14 pemain, termasuk Martin Skrtel, Joe Allen, Christian Benteke, dan Mario Balotelli. Di sisi lain, ia mendatangkan tujuh pemain baru, termasuk Sadio Mane, Georginio Wijnaldum, Joel Matip, dan Loris Karius.
Mane, yang dibeli dari Southampton dengan banderol 34 juta pounds, langsung menjadi andalan di lini depan Liverpool bersama Roberto Firmino dan Philippe Coutinho dalam skema 4-3-3 Klopp. Wijnaldum dan Matip juga menjadi pemain reguler yang menambah kekuatan lini tengah dan belakang. Namun, Karius yang diplot sebagai kiper utama justru terlihat tak stabil. Ia cedera di awal musim. Saat pulih dan kembali, ia pun berulang kali melakukan blunder, misalnya saat melawan Bournemouth dan West Ham United di liga.
Pada musim 2016/2017, Liverpool duduk di posisi keempat klasemen akhir Liga Inggris dengan 22 kemenangan, jauh membaik dibanding catatan musim sebelumnya. Mereka memang kalah dari Wolverhampton Wanderers di Piala FA dan dari Southampton di Piala Liga. Namun, kerja tim secara umum terus meningkat di bawah arahan Klopp.
Seperti di Dortmund, tahun ketiga Klopp di Liverpool adalah masa-masa krusial untuk memantapkan taktik dan fondasi tim. Karena itu, Klopp kembali agresif mencari pemain yang sesuai kebutuhan tim pada bursa transfer musim panas 2017. Saat itu, Liverpool membeli Mohamed Salah, Andy Robertson, dan Alex Oxlade-Chamberlain dengan nilai total yang bisa mencapai lebih dari 90 juta pounds.
Di saat yang sama, datanglah tawaran besar dari Barcelona untuk Coutinho, sang pusat kreativitas serangan Liverpool. Si Merah dengan tegas menampik tawaran tersebut, yang justru membuat Coutinho berang. Pemain asal Brasil itu bahkan mengirimkan surel langsung ke direktur olahraga Michael Edwards untuk minta diizinkan pergi. Namun, usahanya sia-sia.
Coutinho lantas bertahan, walau toh hanya untuk beberapa bulan. Saat Natal 2017, Barcelona kembali mengetuk pintu Liverpool dengan tawaran lebih besar. Klopp merasa tak ada lagi yang bisa mengubah pikiran Coutinho. Bila terus dipaksa bertahan, ia bakal bermain setengah hati. Akhirnya, Liverpool setuju melepas Coutinho dengan harga 142 juta pounds pada Januari 2018, yang menjadikannya pembelian termahal sepanjang sejarah Barcelona.
Sebagian dari hasil penjualan Coutinho langsung digunakan Liverpool untuk memecahkan rekor transfernya sendiri dengan membeli bek tangguh Virgil van Dijk dari Southampton. Harganya 75 juta pounds. Kedatangan van Dijk sukses menutup lubang besar di pertahanan Liverpool, utamanya ketika menghadapi situasi bola mati. Dia cepat, kuat, pandai membaca situasi, dan mampu mendistribusikan bola dengan baik.
Kinerja brilian Salah di lini depan juga membuat Liverpool cepat melupakan Coutinho. Pada musim 2017/2018, penyerang asal Mesir ini sukses mencetak 44 gol di seluruh kompetisi. Capaian ini menjadikannya pemain dengan jumlah gol terbanyak di musim debut bersama Liverpool.

Salah memberi ancaman konstan melalui tusukan dan sepakan mautnya dari kanan. Di seberangnya, Mane selalu siap berlari menyusuri sayap kiri, mengejutkan lawan dengan kecepatan tinggi dan penyelesaian akhir yang tak kalah mumpuni. Dan jangan lupakan “Bobby” Firmino yang bertransformasi jadi false nine di bawah arahan Klopp. Ia kerap mengacaukan pertahanan lawan dengan mundur jauh untuk menjemput bola dan menciptakan peluang layaknya gelandang serang. Bila kehilangan bola, trio ini pun siap menekan dan bertahan sejak garis terdepan.
“Mereka bertiga brilian di depan gawang lawan. Dalam hal bertahan, mereka juga tahu apa tugas mereka,” kata Oxlade-Chamberlain. “Saat mereka sedang bermain optimal, tak ada trio lain yang Anda inginkan ada di depan Anda.”
Serangan Liverpool semakin ganas setelah duet bek sayap ofensif Robertson dan Trent Alexander-Arnold mengukuhkan diri di tim inti. Alexander-Arnold, didikan akademi klub, berkembang pesat pada musim 2017/2018. Ia mendapat banyak kesempatan tampil setelah bek kanan utama tim, Nathaniel Clyne, mengalami cedera punggung parah di laga pra-musim.
Kemajuan Liverpool bisa terjadi juga karena kehadiran pemain-pemain berbakat yang sesuai dengan sistem Klopp. Untuk hal ini, sang manajer patut berterima kasih pada direktur olahraga Edwards dan direktur riset Ian Graham.
Edwards sebelumnya bekerja sebagai kepala bagian analisis performa di Tottenham Hotspur. Saat ia datang ke Tottenham pada 2009, klub London tersebut telah bekerja sama dengan perusahaan data Decision Technology, entah untuk melakukan analisis pemain atau meminta saran terkait perekrutan. Karenanya, Edwards sering berurusan dengan Graham, yang kala itu menjabat kepala riset sepak bola di Decision Technology. Mereka cocok satu sama lain.
Setelah Fenway Sports Group membeli Liverpool pada 2010, perusahaan asal Amerika Serikat itu membawa pendekatan baru berbasis data dalam strategi pengembangan klub. Mereka lantas membajak Edwards pada November 2011 dan Graham lima bulan berselang. Seiring berjalannya waktu, peran keduanya kian signifikan. Edwards bahkan ditunjuk jadi direktur olahraga Liverpool sejak November 2016, yang membuatnya bertanggung jawab terhadap kesepakatan transfer pemain dan operasi sepak bola klub.
Kehadiran Edwards dan Graham membuat Liverpool jadi lebih “melek statistik”. Klub berusaha mengandalkan data untuk berbagai hal, termasuk menganalisis pertandingan, mencari pemain berbakat berharga miring yang tak banyak dikenal orang, dan tentu saja, merekrut Klopp.
Hasil analisis tim riset yang dipimpin Graham di bawah koordinasi Edwards sukses mendatangkan sejumlah pemain yang kemudian jadi tulang punggung tim, termasuk Salah, Firmino, Robertson, dan van Dijk. Beberapa pemain awalnya memang bukan favorit Klopp, tapi data berbicara bahwa mereka adalah pilihan tepat.
Misal, tadinya Klopp lebih tertarik membeli penyerang sayap Julian Brandt dari Bayer Leverkusen dibanding Salah dari A.S. Roma. Namun, Edwards dan timnya terus berusaha meyakinkan sang manajer bahwa Salah bakal cemerlang dan mencetak banyak gol untuk Liverpool. “Mereka tak henti-hentinya bicara padaku soal dia,” ujar Klopp.
Ketika Edwards dan kawan-kawan menemukan pemain yang tepat, mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk mendatangkannya, tentu atas restu Klopp sebagai manajer. Edwards bahkan menghabiskan sepanjang musim 2017/2018 untuk meyakinkan penjaga gawang A.S. Roma, Alisson Becker, agar mau pindah ke Liverpool alih-alih ke Real Madrid atau Chelsea.
Lantas, setelah Karius melakukan dua kesalahan fatal yang menyebabkan kekalahan Liverpool atas Real di final Liga Champions 2018, Si Merah telah siap mendatangkan pengganti dengan kualitas jauh lebih baik. Pada Juli, dua bulan setelah malam bencana itu, Liverpool resmi membeli Alisson dengan banderol 65 juta pounds. Ini harga sepadan untuk seorang kiper yang bisa menentukan jalannya pertandingan dengan penyelamatan dan bahkan distribusi bolanya.

Di bulan yang sama, Liverpool juga mendatangkan dua pemain tengah baru, Naby Keita dan Fabinho, masing-masing senilai 52,75 juta pounds dan 43,7 juta pounds, dan pemain sayap Xherdan Shaqiri dengan harga 13,5 juta pounds.
Keita langsung tampil menjanjikan pada awal musim 2018/2019, tapi kerap bermasalah dengan cedera hingga membuat sinarnya sempat meredup. Di sisi lain, Fabinho butuh beberapa bulan untuk bisa beradaptasi dengan sistem Klopp serta cuaca dan intensitas pertandingan di Inggris. Setelahnya, sang gelandang bertahan menjelma jadi pemain kunci di lini tengah tim. Sementara itu, Shaqiri lebih banyak berperan sebagai pelapis bagi trio lini depan Liverpool: Salah, Mane, dan Firmino.
Pada titik ini, Liverpool rasanya telah mengumpulkan seluruh kepingan puzzle yang dibutuhkan untuk kembali berjaya. Mereka memiliki tim yang kuat dan dalam, manajer yang brilian dengan pasokan data berlimpah, dan pemilik yang tanpa ragu memberi kepercayaan dan dukungan finansial. Masalahnya cuma satu: saingan utama mereka adalah City dengan manajer Pep Guardiola.
Pada musim 2017/2018, City asuhan Guardiola bagaikan monster. Mereka memastikan diri jadi juara Liga Inggris dengan lima pertandingan sisa. Di akhir musim, mereka berhasil meraih 32 kemenangan, 18 di antaranya secara beruntun dari Agustus hingga Desember 2017, dan mengumpulkan 100 poin. Jumlah total kemenangan dan poin tersebut adalah yang terbanyak dalam sejarah.
Untuk bersaing dengan City, Liverpool butuh konsistensi, dan mereka berhasil menunjukkannya di musim 2018/2019. Pada paruh pertama musim itu, Si Merah melaju kencang di Liga Inggris tanpa pernah kalah. Liverpool bahkan menutup 2018 dengan kemenangan telak 5-1 atas Arsenal, yang membuat mereka duduk nyaman di puncak klasemen dengan selisih tujuh poin atas City di peringkat kedua.
Titik baliknya terjadi kala Liverpool menghadapi City di Etihad Stadium pada 3 Januari 2019.
Pada menit ke-18, Salah memberi umpan terobosan pada Mane yang berlari kencang sembari dibayangi John Stones, bek tengah City. Mane menyepak bola melewati kiper Ederson. Bola menyambar tiang dan memantul ke arah Stones, yang segera menendang kencang untuk membuang jauh si kulit bundar. Namun, tendangannya justru menghantam Ederson, dan bola kembali berbalik arah ke gawang City yang kosong. Panik, Stones meluncur dan menyapu bola itu di saat-saat akhir.
Sekilas, bola terlihat telah masuk ke gawang City. Para pemain Liverpool protes. Namun, saat dicek melalui teknologi garis gawang, ternyata ada 1,12 sentimeter bagian bola yang belum melewati garis gawang. Keputusannya: tidak gol.

Di akhir pertandingan, Liverpool kalah 1-2 dari City. Si Biru Langit berhasil memotong selisih dengan Si Merah jadi hanya empat poin. Ini momen krusial, karena di akhir musim City keluar sebagai juara Liga Inggris dengan raihan total 98 poin, unggul satu poin saja dari Liverpool. Tim asuhan Klopp jadi satu-satunya runner-up dalam sejarah yang berhasil mengumpulkan lebih dari 90 poin dengan mencatatkan hanya satu kekalahan.

Andaikan Stones gagal atau terlambat menyapu bola dan laga pada Januari itu berakhir seri, Liverpool-lah yang jadi juara liga dengan 98 poin dari 30 kemenangan dan delapan hasil imbang. Capaian itu bakal lebih impresif dibanding rekor Arsenal yang jadi juara tanpa pernah kalah pada musim 2003/2004 dengan 90 poin dari 26 kemenangan dan 12 hasil imbang. Sayang, itu semua hanya perandaian.
Kesialan tampaknya juga akan kembali menimpa Liverpool di Liga Champions 2018/2019. Mereka mesti berhadapan dengan Barcelona di semifinal. Pada pertemuan pertama di Camp Nou, Barcelona unggul duluan setelah umpan silang Jordi Alba berhasil diteruskan jadi gol oleh Luis Suarez pada menit ke-26. Setelahnya, Si Merah tampil cukup dominan dan beberapa kali mengancam gawang Blaugrana. Namun, dua gol Lionel Messi dalam rentang tujuh menit di babak kedua memaksa Liverpool pulang dengan kepala tertunduk malam itu.
Perjuangan Liverpool makin berat setelah Firmino dan Salah mengalami cedera jelang pertemuan kedua dengan Barcelona di Anfield. Walau begitu, Klopp tak mau timnya menyerah begitu saja. Ia menceritakan pada para pemain pengalamannya memimpin Dortmund menghadapi Real di perempat final Liga Champions 2014.
Setelah tumbang 0-3 di pertemuan pertama, Dortmund berhasil menang 2-0 atas Real di laga selanjutnya. Dortmund tetap kalah agregat dan gagal lolos ke babak berikutnya. Namun, setumpuk peluang yang mereka buat di pertemuan kedua nyaris saja membalikkan keadaan.
Karena itu, Klopp merasa bukan tak mungkin Liverpool bisa menciptakan keajaiban melawan Barcelona.
“Kami ingin merayakan perjalanan di Liga Champions, entah dengan penyelesaian yang baik atau gol. Itulah rencananya. Jika kami bisa melakukannya, hebat. Jika tidak, maka gagal-lah dengan cara terindah,” ujar Klopp.
Hebat, atau gagal dengan indah? Liverpool memilih hebat.
Dalam waktu kurang dari satu jam, mereka telah unggul 3-0 di Anfield dan menyamakan skor agregat. Pada menit ke-79, Liverpool mendapat sepak pojok. Alexander-Arnold berjalan ke sudut, bersiap untuk mengambil. Di saat yang sama, Klopp memalingkan wajah untuk bicara pada salah satu asistennya. Ia bersiap untuk melakukan pergantian pemain.
Lantas, tiba-tiba Anfield riuh. Saat Klopp menengok kembali ke lapangan, bola tengah melayang masuk ke gawang Barcelona. Ia tak tahu apa yang terjadi. Yang pasti, Origi mencetak gol dan skor 4-0 terus bertahan hingga akhir.

Setelah laga usai, Klopp masuk ke ruang sepatu kecil di Anfield. Di sana, ia duduk memegang botol air dan tersenyum dalam diam.
“Perasaan saat itu tak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” kata Klopp.
Saat dihadapkan dengan Tottenham di final Liga Champions 2019, Klopp tak mau jemawa. Ia bersikeras bahwa Liverpool bukan favorit, dan orang-orang harus memberi hormat pada segala pencapaian Tottenham di bawah manajer Mauricio Pochettino.
Benar saja, Tottenham mengerahkan segalanya di laga pamungkas itu. Mereka unggul dalam penguasaan bola dan jumlah tembakan. Namun, hanya Liverpool yang berhasil mencetak gol. Si Merah menang berkat sepakan Salah dan Origi, dan Klopp pun menyudahi puasa gelarnya yang panjang.
Sesaat setelah mengangkat trofi pertamanya bersama Liverpool, Klopp telah berbicara di telepon dengan rival utamanya: Guardiola.
“Kami saling berjanji bahwa kami akan berjibaku lagi tahun depan,” ujar Klopp. “Kami akan mengincar segalanya, dan mari lihat apa yang bisa kami dapat.”
Tentu, buat Klopp ini hanyalah permulaan.
***
Sabtu, 31 Oktober 2015, adalah saat istimewa bagi Jurgen Klopp. Setelah tiga minggu jadi manajer Liverpool, akhirnya ia berhasil meraih kemenangan pertama di Liga Inggris. Si Merah unggul 3-1 atas Chelsea-nya Jose Mourinho di Stamford Bridge.
Kemenangan itu membawa Liverpool naik ke posisi ketujuh klasemen. Ketika Klopp datang menggantikan Brendan Rodgers, Liverpool hanya ada di posisi ke-10. Melihat tren positif tersebut, wartawan dengan cepat bertanya pada Klopp usai laga mengenai peluang tim asuhannya menjuarai Liga Inggris.
Jawaban Klopp: “Apa Anda gila?”
“Saya baru sekitar tiga minggu di sini. Anda pikir setelah satu kemenangan melawan Chelsea, kami harus berpikir soal itu?”
“Kami tidak memikirkan hal itu. Kami mesti berpikir tentang pertandingan berikutnya, tentang bagaimana caranya memperbaiki permainan kami. Kami bisa jauh lebih baik dari hari ini.”
Melihat respon Klopp tersebut, wartawan kemudian melontarkan pertanyaan yang lebih realistis: bagaimana peluang Liverpool untuk masuk posisi empat besar liga?
Tanggapan Klopp: “Inggris benar-benar tak sabaran!”
Terheran-heran, Klopp sampai “mengadu” pada wasit Mark Clattenburg yang kebetulan lewat. Manajer asal Jerman itu bilang, “Masa, mereka bertanya padaku soal posisi empat besar.” Dengan santai, Clattenburg menjawab, “Selamat datang di Inggris.”
Media-media Inggris memang terkenal tak sabaran dan reaktif. Mereka bisa membesar-besarkan hal-hal prematur dan membawa tekanan yang tak perlu bagi pemain ataupun pelatih. Klopp tak mau terjebak di sana. Ia tak ingin Liverpool berpikir terlalu jauh. Lebih baik fokus untuk maju selangkah demi selangkah, dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya.
Selewat lebih dari empat tahun, Klopp tetap mempertahankan sikap yang sama, walau situasinya telah jauh berbeda.
Kamis, 26 Desember 2019, Liverpool membantai Leicester City 4-0 di The King Power Stadium. Itu kemenangan ke-17 dari 18 pertandingan yang telah Liverpool lalui di musim 2019/2020. Mereka hanya sempat kehilangan poin saat imbang 1-1 melawan Manchester United dua bulan sebelumnya. Bahkan, terakhir kali mereka kalah adalah ketika melawan Manchester City pada 3 Januari – saat John Stones menyapu bola di saat-saat akhir itu.

Keberhasilan mengalahkan Leicester membuat Liverpool makin nyaman di puncak klasemen. Jarak dengan Leicester di posisi kedua dan City di posisi ketiga melebar hingga masing-masing 13 poin dan 14 poin. Walau baru lewat separuh musim, rasanya semua sepakat Liverpool ada di jalur yang tepat untuk menjuarai liga. Apalagi, City sedang tak stabil setelah diterpa badai cedera dan ditinggal kapten Vincent Kompany pada akhir musim sebelumnya.
Namun, saat lagi-lagi ditanya wartawan soal peluang Liverpool jadi kampiun liga, Klopp menolak tenggelam dalam euforia.
“Kami tidak memikirkannya. Kami tidak membahasnya sekali pun sebelum laga,” kata Klopp. “Kami hanya fokus menghadapi pertandingan-pertandingan berikutnya.”
Konsistensi Liverpool musim itu benar-benar mengagumkan, bahkan cenderung mengerikan. Klopp tampaknya telah menemukan racikan tim yang pas sejak musim sebelumnya, saat Liverpool menaklukkan Eropa, dan sistem yang ia tanam sejak 2015 telah mendarah daging dalam diri para pemain. Karena itu, ia enggan mengutak-atik kembali tim yang ada saat jendela transfer dibuka.
Jelang musim 2019/2020 dimulai, Liverpool mendatangkan dua pemain muda menjanjikan, Sepp van den Berg dengan nilai bisa mencapai 4,4 juta pounds dan Harvey Elliott dengan perkiraan harga sekitar 7-10 juta pounds. Selain itu, klub hanya merekrut dua kiper pelapis secara gratis: Adrian dan Andy Lonergan.
Ini berbanding terbalik dengan musim sebelumnya, saat Si Merah menghabiskan hingga 175 juta pounds untuk empat pemain: Naby Keita, Fabinho, Xherdan Shaqiri, dan Alisson Becker.
“Tim-tim besar di masa lalu – saya tidak mengatakan bahwa kami sudah jadi tim besar sekarang, itu bakal ditentukan dalam beberapa tahun ke depan – mereka terus bertahan bersama-sama sampai bertahun-tahun lamanya. Mereka tak butuh banyak perubahan,” kata Klopp.
“Saya tak membandingkan kami dengan Barcelona pada lima, enam, atau tujuh tahun lalu, tapi mereka terus bertahan bersama-sama. Ada pemain baru yang datang dan menemui kesulitan, hingga ujung-ujungnya yang bermain adalah orang-orang yang sama lagi.”
Dalam kasus Liverpool, orang-orang yang sama lagi berhasil membawa mereka ke tingkatan lebih tinggi. Setelah mengalahkan Norwich City 1-0 pada 15 Februari 2020, Liverpool memperlebar jarak di klasemen dengan City asuhan Pep Guardiola jadi 25 poin. Ini selisih terbesar dalam sejarah Liga Inggris antara tim peringkat pertama dan kedua.
Kira-kira seminggu berselang, Liverpool menaklukkan West Ham United dengan skor 3-2. Ini kemenangan ke-18 mereka secara beruntun di liga, yang menyamai rekor City pada 2017. Liverpool juga tak terkalahkan dalam 44 pertandingan terakhirnya.
Saat itu, tampaknya semua berjalan sesuai kehendak Liverpool, dan hanya hal-hal luar biasa yang bisa menghentikan laju mereka. Misalnya? Pandemi.
Pada akhir Januari, dua kasus pertama virus korona tipe baru, atau Covid-19, ditemukan di York. Selewat sebulan, jumlah warga Britania Raya yang tercatat positif terinfeksi virus ini telah mencapai 23. Lantas, kekhawatiran tumbuh kian besar, dan mendadak muncul wacana untuk menghentikan sementara kompetisi sepak bola di Inggris. Apalagi, Serie A telah menunda sejumlah laga setelah jumlah pasien positif Covid-19 di sana melonjak hingga sekitar 900.
Walau begitu, otoritas Liga Inggris belum merasa perlu untuk mengambil langkah tegas, dan laga-laga pekan ke-28 pada akhir Februari tetap berlangsung seperti biasa. Saat itulah kejutan terjadi. Liverpool dihajar 0-3 oleh Watford yang tengah berjuang menghindari degradasi. Otomatis, pupus sudah impian Si Merah untuk mematahkan rekor 49 laga tanpa kalah Arsenal pada 2003 hingga 2004.
Tak hanya di liga, Liverpool juga tiba-tiba melempem di kompetisi lainnya. Mereka kalah 0-2 dari Chelsea di Piala FA pada 3 Maret, dan tumbang 2-3 dari Atletico Madrid di pertemuan kedua babak 16 besar Liga Champions seminggu kemudian.
Di antara dua kekalahan itu, untungnya Liverpool masih sempat menang tipis 2-1 atas Bournemouth di Liga Inggris pada 7 Maret. Sehari berselang, City takluk 0-2 dari tetangganya, United. Dengan begitu, Liverpool hanya butuh dua kemenangan tambahan untuk meraih gelar liga pertama mereka dalam 30 tahun terakhir.
Situasi jadi pelik pada 12 Maret. Saat itu, 10 orang telah meninggal karena Covid-19 di Britania Raya. Jumlah kasus positif yang terkonfirmasi hampir menyentuh 600, tapi angka sebenarnya di lapangan kemungkinan berkisar di 5-10 ribu berdasarkan estimasi pemerintah. Namun, otoritas Liga Inggris menyatakan bahwa seluruh pertandingan akan tetap berjalan sesuai jadwal di akhir pekan dengan kehadiran penonton.
Tak sampai satu jam setelah pernyataan itu muncul, Arsenal mengumumkan di malam hari bahwa pelatih kepala mereka, Mikel Arteta, positif terkena Covid-19. Beberapa jam kemudian, Chelsea mengabarkan bahwa pemain mudanya, Callum Hudson-Odoi, juga terinfeksi virus korona. Panik, pengurus liga segera mengadakan rapat darurat bersama seluruh perwakilan klub esok paginya. Lantas, mereka memutuskan menunda seluruh laga Liga Inggris hingga setidaknya 3 April, sebelum meninjau kembali situasinya nanti.

Keadaannya memang sudah mendesak, dan semua paham bahwa sepak bola bukan segalanya, apalagi bila telah berurusan dengan nyawa manusia. Klopp pun menegaskan hal ini dalam suratnya untuk seluruh pendukung Liverpool.
“Hari ini, sepak bola dan pertandingan sepak bola sama sekali tidak penting. Tentu saja, kita tak ingin bermain di stadion kosong dan kita tak mau pertandingan atau kompetisi ditangguhkan, tapi jika melakukan hal tersebut bisa membantu satu orang tetap sehat – satu saja – kita akan melakukannya tanpa pertanyaan,” tulis Klopp.
“Kalian harus tempatkan kesehatan sebagai yang utama. Jangan ambil risiko apa pun.”
Kata-kata Klopp bagai peringatan tegas bahwa ini bukan saatnya memikirkan gelar juara Liga Inggris, seberapa pun besarnya hasrat para pemain dan pendukung untuk meraihnya.
Masalahnya, kian hari situasinya kian tak menentu. Jumlah korban Covid-19 terus bertambah, dan Liga Inggris terpaksa berulang kali memperpanjang masa penangguhan. Rencana untuk melanjutkan kembali kompetisi terus berubah, dari awalnya pada 4 April jadi 1 Mei, jadi hingga keadaan sudah dirasa “aman dan tepat”.
Pendukung Liverpool sontak gelisah setelah otoritas sepak bola Belanda memutuskan membatalkan liga utama mereka, Eredivisie, pada 24 April, karena ancaman virus korona. Dengan begitu, tak ada klub yang jadi juara atau terdegradasi pada musim 2019/2020. Empat hari kemudian, pemerintah Prancis juga menegaskan bahwa tak ada kompetisi olahraga yang boleh berlangsung hingga setidaknya September, termasuk liga sepak bola Ligue 1. Posisi akhir klasemen lalu ditentukan berdasarkan rata-rata poin per pertandingan yang telah dimainkan.
Keputusan yang diambil di Belanda dan Prancis bisa jadi preseden bagi liga-liga di Eropa lainnya. Bila Liga Inggris mengikuti sistem Ligue 1, Liverpool bakal keluar sebagai juara dengan rata-rata poin per pertandingan paling tinggi. Masalahnya, jika petinggi liga mengambil langkah yang sama dengan Eredivisie, semua akan berakhir sia-sia bagi Si Merah, dan mereka harus memulai lagi dari awal di musim selanjutnya. Bila itu terjadi, Liverpool benar-benar bagai kena kutukan: mereka boleh juara apa saja, asal bukan Liga Inggris.
Bahkan Klopp mulai was-was.
“Ketika kami memasuki masa karantina, saya tidak berpikir, ‘Ya Tuhan, ini adalah musim kami, kami sudah sangat dekat,’ karena itu tidak penting saat itu,” ujar Klopp.
“Saya jadi khawatir ketika orang-orang mulai membicarakan (wacana) soal musim ini dibatalkan dan tak berlaku,” katanya. “Saya merasa ‘wow’. Itu bakal sulit.”
Di tengah suasana serba tidak pasti, yang bisa Klopp lakukan adalah mencoba terus menjaga moral pasukannya, entah dengan menanyakan kabar lewat telepon video atau grup percakapan digital. Klopp bilang ia tergabung dalam grup berisi sekitar 60 orang, termasuk para pemain dan stafnya, dan mereka rutin berinteraksi di sana.
“Tak seorang pun mesti sendirian di situasi ini, dan tak ada yang perlu merasa kesepian walau untuk sedetik saja,” kata Klopp. “Kami harus selalu bertahan bersama seperti keluarga.”
Klopp paham, tak ada yang tahu kapan kompetisi akan kembali berjalan. Karena itu, ia hanya bisa menunggu sembari melihat situasi.
Pada 18 Mei, ada tambahan 160 orang yang meninggal karena Covid-19 di Britania Raya. Ini angka kematian harian paling kecil sejak 24 Maret. Secara total, korban wafat telah mencapai hampir 34.800, dengan jumlah kasus positif lebih dari 246.400. Pada titik ini, data kematian karena virus korona telah jadi konsumsi sehari-hari masyarakat, tak hanya di Inggris dan sekitarnya, tapi di seluruh dunia.
Di hari yang sama, muncul pula titik terang bagi Liverpool dan klub-klub lainnya. Pemerintah menyatakan sedang berusaha untuk memulai kembali Liga Inggris pada pertengahan Juni tanpa kehadiran penonton di stadion. Apalagi, Badan Sepak Bola Eropa (UEFA) telah menunda setahun penyelenggaraan Piala Eropa dari jadwal aslinya pada Juni-Juli 2020. Dengan begitu, berbagai liga domestik punya waktu lebih untuk menyelesaikan musimnya.
“Saya berharap kita bisa punya sesuatu yang sedikit lebih ambisius, dengan menyiarkan pertandingan secara gratis sehingga orang-orang bisa menyaksikan dari rumah. Itu akan membantu dalam hal membuat orang-orang malas keluar rumah karena ingin menonton pertandingan,” kata Oliver Dowden, sekretaris bidang digital, kebudayaan, media, dan olahraga di pemerintahan Britania Raya.
Tak lama, keluar izin bagi klub-klub Liga Inggris untuk kembali menjalani sesi latihan pada 19 Mei, dengan catatan bahwa para pemain mesti menjaga jarak dan tak boleh ada kontak fisik. Pada 28 Mei, sesi kontak fisik mulai diperbolehkan, dan yang terpenting, seluruh pihak terkait sepakat untuk melanjutkan kembali liga pada 17 Juni dengan memenuhi seluruh ketentuan kesehatan yang berlaku.
Klopp dan Liverpool pun kembali menemukan semangatnya.

“Kami tak berharap mendapatkannya (gelar juara) seperti mendapat kado. Kami tak ingin menggunakan basis poin per pertandingan. Karena itu, kami sangat senang saat diputuskan kami bisa bertanding lagi,” kata Klopp. “Sekarang, kami akan coba meraihnya.”
Minggu, 21 Juni, lebih dari tiga bulan sejak pertandingan terakhir mereka, Liverpool kembali berlaga di Liga Inggris melawan tetangganya sendiri, Everton, di Goodison Park. Skor akhir: 0-0. Bukan hasil yang diharapkan para pendukung Liverpool, meski masih dapat dimaklumi.
Di sisi lain, City langsung melaju kencang. Mereka menang 3-0 atas Arsenal pada 18 Juni dan 5-0 atas Burnley pada 23 Juni. Walau begitu, City tetap terpaut 20 poin dengan Liverpool di puncak klasemen liga.
Liverpool butuh lima poin tambahan untuk menyabet gelar juara, yang bisa didapat dengan menaklukkan dua lawan selanjutnya: Crystal Palace dan City. Namun, bila Liverpool menang melawan Palace, dan di pekan yang sama City kalah dari Chelsea, Si Merah bakal jadi kampiun lebih cepat.
Rabu, 24 Juni, Liverpool menjamu Palace di Anfield. Formasi mereka: 4-3-3. Alisson di gawang. Virgil van Dijk dan Joe Gomez di pusat lini pertahanan. Andy Robertson dan Trent Alexander-Arnold sebagai bek sayap. Kapten Jordan Henderson, Fabinho, dan Georginio Wijnaldum di tengah. Mohamed Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane di depan.
Tidak ada Steven Gerrard, Michael Owen, Fernando Torres, atau Luis Suarez di sana, tapi ini adalah tim tertangguh Liverpool di era sepak bola modern. Tim yang gemar menekan sejak garis terdepan dan mengoyak gawang lawan. Tim yang telah menaklukkan Eropa, dan berjarak paling dekat dengan trofi liga dibanding para pendahulunya dalam tiga dekade terakhir.
Menit ke-22, van Dijk dijatuhkan Jordan Ayew di depan kotak penalti Palace. Wasit memberi tendangan bebas. Alexander-Arnold mengeksekusi, dan bola melengkung cantik ke sudut kanan atas gawang Palace. 1-0.
Menit ke-44, Fabinho memberi umpan lambung pada Salah yang berlari menusuk dari kanan ke tengah kotak penalti Palace. Salah berhadapan satu lawan satu dengan kiper Palace, Wayne Hennessey. 2-0.
Menit ke-55, Robertson di kiri mengoper datar ke Fabinho di tengah. Terpisah sekitar 25 meter dengan gawang Palace, Fabinho menembak kencang. Bola meluncur deras. 3-0.
Menit ke-69, Mane di kiri mengumpan pendek ke Firmino tak jauh darinya. Firmino mengoper ke Salah di dekat garis tengah lapangan, yang langsung memberi umpan terobosan pada Mane yang tahu-tahu sudah di depan kotak penalti Palace. 4-0.
Malam itu, Liverpool menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan penguasaan bola hingga 73 persen dan 21 percobaan tembakan. Sekarang, tinggal menunggu apa yang terjadi dengan City.
Kamis, 25 Juni, City bertandang ke Stamford Bridge untuk menghadapi Chelsea. Tak ada penonton di stadion, tapi jutaan menyaksikan lewat layar kaca, termasuk Klopp dan pasukannya yang mengadakan nobar di sebuah hotel di Merseyside.
City mulanya terlihat di atas angin. Namun, kesalahan bek kiri Benjamin Mendy pada menit ke-36 membuat penyerang sayap Chelsea, Christian Pulisic, berhasil merebut bola, melakukan serangan balik cepat, dan mencetak gol. 1-0.
Kira-kira 10 menit setelah turun minum, N’Golo Kante melanggar Riyad Mahrez saat sedang menggiring bola di depan kotak penalti Chelsea. Tendangan bebas untuk City. Kevin De Bruyne menyepak keras, dan bola memelesat ke sudut kiri atas gawang Chelsea. 1-1.
Kedua tim saling menciptakan peluang. City nyaris membalikkan keadaan dua menit setelah gol De Bruyne, tapi tendangan Raheem Sterling hanya menghantam tiang gawang Chelsea. Enam menit berselang, Mason Mount memotong operan kiper Ederson, berlari cepat ke kotak penalti City, dan menembak. Namun, bola melebar. Selewat delapan menit, Pulisic berhasil melewati Ederson dan menendang bola ke gawang kosong, tapi Kyle Walker meluncur dan membuang bola di saat-saat akhir.
Menit ke-76, Willian mengumpan dari kanan ke tengah kotak penalti City. Tammy Abraham menendang. Ederson menepis. Bola memantul liar di antara Pulisic, Ederson, dan Fernandinho, sebelum mengarah ke Abraham. Penyerang muda Chelsea itu berusaha mendorong bola masuk ke gawang City, tapi tertahan oleh tangan kiri Fernandinho. Hadiah penalti untuk Chelsea.
Willian bersiap mengeksekusi. Klopp dan timnya menyaksikan dengan waswas di hotel mereka. Willian mengambil langkah, dan menembak bola ke sisi kiri gawang City. Ederson salah menebak dan melompat ke arah sebaliknya. 2-1. Para pemain Liverpool sontak bersorak dan berpelukan. Alex Oxlade-Chamberlain menekuk tangan kanan dan coba memamerkan bisepsnya, seakan itu golnya sendiri.

Skor tersebut bertahan hingga injury time. Jelang laga usai, Klopp menghubungi keluarganya lewat telepon video, dan mengatakan ia cinta mereka semua. Lalu ia letakkan ponselnya di atas meja dan bilang, “Jangan dimatikan, karena dalam empat sampai lima detik ke depan, bisa terjadi sesuatu yang spesial.”
Benar saja, sesaat setelah wasit meniup peluit panjang, seluruh pasukan Liverpool bagai kerasukan. Hotel langsung riuh oleh teriakan dan nyanyian kemenangan. Para pemain berpelukan. Klopp menangis, dan kehilangan kata-kata. Liverpool akhirnya sukses jadi juara liga.
“Langsung setelah (laga usai), saya merasa kosong di dalam,” ujar Klopp. “Saya benar-benar kewalahan. Entahlah, rasanya semua bercampur. Saya lega, saya bahagia, saya bangga.”
Klopp mendedikasikan trofi liga untuk seluruh pendukung Liverpool yang telah begitu sabar menanti selama ini. Ia bilang, “Ini untuk kalian semua di luar sana. Ini benar-benar untuk kalian.”
Sejam berselang, ribuan pendukung telah memadati bagian luar Anfield. Mereka menyalakan kembang api merah, lalu bernyanyi dan berpesta. Mereka tak lagi peduli dengan Covid-19. Untuk kali ini saja, mereka ingin menikmati kemenangan, melepas segala beban, dan menyesap euforia. Liverpool adalah juara liga – kata-kata ini sudah begitu lama tak terucapkan.
Di saat yang sama, pendukung United hanya bisa pasrah sembari memasang muka masam. Saat Liverpool berhasil memastikan gelar juara Liga Inggris, United masih terdampar di posisi kelima klasemen. Setelah manajer legendaris Sir Alex Ferguson pensiun pada Mei 2013, mereka terus menjauh dari kejayaan. Jangankan jadi juara liga, untuk masuk posisi empat besar dan lolos ke Liga Champions musim depan saja mereka kesulitan.
Terlebih lagi, gelar Liga Inggris 2019/2020 adalah trofi mayor ke-43 bagi Liverpool, satu lebih banyak dari koleksi United. Mereka bahkan meraihnya dengan tujuh pertandingan sisa – rekor tercepat dalam sejarah. Kini, Liverpool perlahan kembali menaiki tenggerannya dan jadi pusat kekuatan sepak bola Inggris. Bukan mustahil, mereka bakal membangun dinasti baru di bawah arahan Klopp, seperti yang United lakukan di tangan Ferguson dulu.

Sebelumnya, Wayne Rooney telah menyampaikan kemungkinan itu. Legenda United didikan akademi Everton ini – dua klub yang paling dibenci pendukung Liverpool – melihat ada kesamaan antara Klopp dan Ferguson, yang bisa membuat Si Merah terus berjaya dalam waktu lama.
“Klopp sebelumnya bilang, tak mungkin ada klub yang bisa mendominasi seperti United di masa lalu, tapi dia salah. Ada cara sederhana agar Liverpool bisa melakukannya: biarkan Klopp terus dan terus bekerja,” kata Rooney.
“United bisa mendominasi karena Fergie bertahan sangat lama. Saya pikir jika Klopp, yang saat ini baru berusia 53, bertahan di Anfield selama 10 tahun ke depan, Liverpool bakal menjuarai Liga Inggris setidaknya lima kali.”
Menurut Rooney, salah satu alasannya adalah Liverpool memiliki tim tangguh berusia relatif muda, dan para pemain kunci mereka telah terikat kontrak jangka panjang. Manajer bagus seperti Klopp juga jadi daya tarik untuk mendatangkan bintang baru nan berbakat, serta mampu membuat para pemain yang ada terus betah di Anfield.
Tetap saja, Klopp merasa perjalanannya ke depan tak akan mudah. Apalagi, Guardiola masih menangani City. Kinerja Chelsea dan United juga belakangan membaik di bawah arahan eks pemain mereka sendiri: Frank Lampard dan Ole Gunnar Solskjaer. Namun, itu semua justru membuat Klopp makin bersemangat mendorong Liverpool maju, lagi dan lagi.
“Saya bisa menjanjikan, kami akan jadi lebih baik,” kata Klopp sehari setelah Liverpool dipastikan jadi juara liga.
“Kami tak akan berhenti.”

Klopp suatu hari pernah mengatakan, film favoritnya adalah Forrest Gump, yang disutradarai Robert Zemeckis dan dirilis pada 1994. Film itu mengangkat kisah pemuda dengan keterbelakangan mental yang tanpa sengaja menjadi saksi dan bahkan memengaruhi berbagai momen bersejarah di Amerika Serikat. Semua bisa terjadi karena kenaifan dan kegemarannya berlari.
Gump mulai berlari setelah dirundung bocah-bocah nakal saat kecil. Sejak itu, ia selalu berlari ke mana pun ia pergi. Karena kemampuannya berlari cepat, Gump mendapat beasiswa untuk bermain sepak bola Amerika – olahraga dengan bola oval itu – di Universitas Alabama. Ia bahkan mendapat medali kehormatan dari presiden karena berlarian menyelamatkan teman-teman tentaranya yang terluka saat perang di Vietnam.
Setelah patah hati karena ditinggal pujaan hatinya sejak kecil, Gump secara impulsif memutuskan berlari mengelilingi Amerika Serikat. Dalam perjalanan, ia menginspirasi begitu banyak orang untuk mengikutinya. Setelah berlari selama tiga tahun, dua bulan, 14 hari, dan 16 jam, tiba-tiba saja Gump berhenti.
“Aku capek. Aku rasa aku akan pulang sekarang,” katanya.
Klopp adalah Gump di dunia nyata. Ia tidak terbelakang secara mental, tentu, tapi ia menggerakkan hati banyak orang dengan ketulusannya. Ia tak segan untuk marah, tertawa, ataupun menangis. Setiap hari ia hanya fokus berbenah, hingga tanpa sadar telah mengukir namanya dalam sejarah.
Dan, hanya Klopp yang tahu kapan saatnya berhenti. Sebelum itu terjadi, ia akan memimpin timnya terus berlari, berlari, dan berlari.
Saya berkunjung ke situs ini setelah membaca tulisan-tulisan di Project Multatuli. Sebagai penggemar berat Man United, sekaligus tetap respect dengan apa yang dilakukan Klopp di Liverpool, membaca tulisan yang menarik seperti ini rasanya memang menyenangkan. Bahkan sampai tidak terasa bahwa tulisannya cukup panjang. Sepertinya saya akan sering-sering berkunjung ke sini untuk belajar menulis tulisan panjang yang menarik. Salam kenal!
Halo, Abdee! Terima kasih banyak sudah membaca tulisan ini. Saya juga meski penggemar MU, tapi tetap menaruh hormat besar pada Klopp. Untungnya sekarang ada Ralf Rangnick yang semoga bakal bawa perbaikan signifikan ke MU hehe. Salam kenal!