Banyak hal yang bisa saya obrolkan bila sedang bertemu Ivan Oksu, entah masalah gebetan, teater, impian, pekerjaan, ataupun perkuliahan. Saya senang bertukar cerita dengannya karena ia adalah kawan yang jujur dan pandai meramaikan suasana. Ada saja kebodohan yang muncul tiap kali kami kumpul bareng dan akhirnya jadi cerita yang terus diulang di perjumpaan selanjutnya.
Misalnya seusai Teater KataK mementaskan Perkawinan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, pada Maret 2013. Saat itu kami kelimpungan memulangkan properti panggung dari Jakarta ke Tangerang. Truk yang ada kapasitas muatannya terbatas. Alhasil, pada dini hari saya dan Ekki mesti dua kali jalan untuk mengangkut seluruh barang-barang tersebut.
Saya kebagian tugas jadi sopir saat perjalanan kembali dari Tangerang ke Jakarta. Sesampainya di TIM, Oksu menawarkan diri untuk ambil alih kemudi. “Gue mau nyoba dong bawa truk,” katanya.
Saya dan Ekki senang-senang saja bila gantian Oksu yang menyetir, berhubung kami sudah sama-sama lelah. Namun tak lama, selang beberapa kilometer dari TIM, mendadak Oksu panik.
“Eh, dompet gue kebawa Feby nih. Kalau ditilang, enggak ada SIM dong. Elo aja deh Wir yang nyetir.”
“SIM gue sebenarnya udah expired, Su. Elo aja deh yang bawa, Ki.”
“Gue belom bikin SIM, Bro.”
Kami ngakak.
“Yaudah, yang penting KIR-nya (tanda kelayakan truk) ada kan, Ki?”
“Enggak ada juga, Bro.”
Hening sesaat. Kami ngakak lagi.
Memang paling asyik itu mentertawakan kebodohan diri sendiri. Dan kebetulan, saya dan Oksu cukup sering melakukannya saat sedang bergiat di Teater KataK. Kami sama-sama bergabung ke sana pada 2010. Mulanya hanya iseng, tapi lama-lama jadi candu. Banyak sakit hati, tapi akhirnya selalu kembali.
Setelah pentas Perkawinan di TIM, Oksu sempat berujar ingin mengambil jeda terlebih dahulu. Karena itu ia berikrar untuk tidak akan bermain di produksi kami selanjutnya: pentas Kejatuhan Manusia pada Mei 2013. Saat itu saya pun sedang ngebut mengerjakan skripsi, sehingga jarang menengok persiapan pentas tersebut. Namun sekalinya saya iseng datang, saya kaget melihat Oksu sudah bersiap di pinggir panggung mengenakan seragam prajurit Romawi.
“Katanya enggak mau main, Su?”
“Kurang orang, Wir. Jadi bantu-bantu deh.”
Lalu kami kembali tertawa sambil geleng-geleng kepala.
Kami memang kerap “khilaf” berujar ingin keluar, tapi toh selalu terlibat lagi, entah sekadar bantu-bantu jadi sopir lintas provinsi ataupun tim properti dini hari.
Oksu baru benar-benar “undur diri” dari Teater KataK usai jadi asisten sutradara dalam pentas Benarkah Cinta Sudah Mati? pada Januari 2015. Setelahnya, ia bertekad fokus membereskan kuliahnya terlebih dahulu. Ia berhasil mengambil jarak dan urung “bantu-bantu” lagi di pentas Kebun Ceri dan Hamlet, masing-masing pada Mei dan September 2015.
“Gue coba buat enggak peduli dulu deh, Bro.”
Kini, semua terbayar lunas. Kemarin saya terkejut melihat foto yang diunggah Oksu di Facebook dan Instagram. Di situ terlihat wajah semringah Oksu sembari mengangkat tinggi skripsinya. Oksu baru lulus sidang skripsi.
Saya lalu teringat cerita Oksu dahulu saat untuk kesekian kalinya ia tak lulus mata kuliah metodologi. Ia sempat pupus harapan, lalu secara impulsif memacu sepeda motornya berkeliling BSD sendirian malam-malam. Saya juga teringat berbagai kisah percintaannya yang selalu mentok di tengah jalan, entah bersama si A, B, AB, ataupun O – ini gebetan apa golongan darah?
Sekarang dengan bangga saya bisa berkata, sahabat saya Oksu adalah sarjana ekonomi lulusan Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Walau begitu, ia tak akan pernah “lulus” dari Teater KataK. Semua menunggu kepulangannya.
Selamat, Su!
Kangen ka Oksu, kangen ka Jawir juga nih! HUHU :'(