Opera Pergulatan Hati Fatmawati

Opera Ibu Fatmawati oleh Institut Musik Daya Indonesia (IMDI).
Opera Ibu Fatmawati oleh Institut Musik Daya Indonesia (IMDI). Dokumentasi IMDI.
Bapak angkatku pujaanku,
katanya mau meminangku.
Bapak angkatku dambaanku,
ceraikan ibu untuk meminangku.

Itulah celotehan Fatimah, yang lebih dikenal dengan panggilan Fatmawati, kala Soekarno bermaksud meminangnya sebagai istri. Liriknya getir, tapi dibawakan dengan riang dan syahdu. Musik, memang bisa melukis kata-kata dengan indah di atas keheningan para penikmatnya.

Bahkan sejarah pun jadi begitu menarik kala disajikan dalam balutan nada. Setidaknya itu yang coba dilakukan Institut Musik Daya Indonesia (IMDI) dalam opera modern Ibu Fatmawati di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, pada 10 Agustus 2014. Dua penyanyi utama, Christian Febrianto Alexander dan Monica Dyah Paramitha masing-masing berlakon sebagai Soekarno dan Fatmawati.

Soekarno sang pejuang kemerdekaan adalah pria yang terlampau mudah jatuh hati. Pertemuannya dengan Fatmawati pun jadi pemicu perceraian dengan Inggit Garnasih sang istri kedua. Perbedaan usia lebih dari 30 tahun antara Soekarno dan Fatmawati tak pernah jadi penghalang berarti.

Dia adalah sosok idola.
Bapak yang penyayang lagi rupawan.
Berkemeja, dasi, berpeci.
Banyak ilmunya menawan hati.
Siapa lihat pasti terpana.
Siapa dengar pasti menganga.

Begitulah Fatmawati menyanjung tinggi sosok Soekarno. Sejak menikah pada 1943, Fatmawati pun terus mengisi hari-hari Soekarno dalam perjuangannya merebut kemerdekaan.

Pada sebuah lagu, Christian sempat membacakan pidato Soekarno di masa lampau dengan berapi-api. Puncaknya adalah kala IMDI memainkan lagu “Indonesia Raya” dengan alunan biola. Para penonton serentak berdiri, meletakkan tangan di dada dan bernyanyi bersama.

Setelahnya, hubungan antara Soekarno dan Fatmawati terlihat semakin mesra. Namun, apa daya, semua berubah kala Soekarno bertemu dengan Hartini. Soekarno kembali bermain hati dan meminta izin Fatmawati untuk menikah lagi.

Siapa dia, Mas?
Hartini namanya.
Mengapa Mas tega?
Karena kucinta.
Bukankah kau bilang akulah napasmu?
Kau memang napasku, tapi dia mataku.

Lantas, Fatmawati hanya bisa meratapi nasibnya sendiri. Soekarno merasa bersalah, tapi urung membatalkan niatnya itu.

Apakah ini namanya karma?
Aku memang dulu yang kedua.
Apakah ini namanya dosa?
Aku hanya seorang pecinta.

Menarik melihat sejarah bangsa dari sisi Fatmawati. Hal senada diungkapkan oleh Renitasari Adrian, program director Bakti Budaya Djarum Foundation sebagai pihak penyelenggara.

“Sejarah yang menyangkut kemerdekaan Indonesia sangat banyak versinya, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Dengan mengangkat cerita dari perspektif Ibu Fatmawati tentunya memberi warna dan pengetahuan lebih untuk memahami masa-masa perjuangan bangsa Indonesia di masa lampau,” kata Renitasari dalam rilis acara.

“Konsep IMDI untuk menyatukan zaman dulu dan sekarang dengan unsur visual art dan multimedia tentunya akan menjadi pertunjukan yang unik dan kaya akan unsur sejarah bangsa yang patut kita dukung dan apresiasi.”

Opera modern Ibu Fatmawati dibawakan dengan konsep live band performance. Christian Febrianto Alexander dan Arini Kumara berperan sebagai music director. Selain itu, Arini juga memainkan contrabass dalam pentas berdurasi satu jam itu.

Pemilihan sosok Fatmawati untuk diangkat dalam pementasan bukan tanpa alasan. Fatmawati dikenal dalam sejarah atas jasanya menjahit bendera pusaka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta, 17 Agustus 1945. Fatmawati memiliki lima orang anak dari Soekarno: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh.

Melalui pentas ini, kita dapat belajar soal keikhlasan dan perjuangan seorang ibu negara di balik kebesaran nama Soekarno sang pejuang kemerdekaan bangsa. Berkali-kali Fatmawati dikecewakan, tapi ia selalu bangkit dan berjalan tegar dalam hidupnya.

Walau jarak memisahkan jauh.
Walau arah ke mana tak menentu.
Yakinlah aku ‘kan tetap menunggu.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 18 Agustus 2014.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top