Semua berkumpul di sana, dari preman, perampok, pekerja seks, rentenir, hingga tukang cuci. Mereka tak berdaya. Pemimpinnya, Waska, sedang berada di ambang ajal. Sekarat. Tak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya menangis. Kumpulan kaum marginal itu takut kehilangan pegangan, sandaran yang selama ini membawa rasa aman.
“Kalau dia mati, siapa yang akan memimpin kita?” kata seorang anak punk. “Kalau dia mati, siapa yang akan memarahi kita?”
Ini adalah fragmen dari kisah Orkes Madun II atau Umang-umang karangan Arifin C. Noer yang dibawakan Teater Pagupon pada 23 Oktober 2014. Pentas ini merupakan bagian dari acara Pesta Sastra Universitas Indonesia 2014.
Di sini, tokoh Waska dan dalang diperankan oleh orang yang sama. Saat sedang menjadi dalang, ia berlaku layaknya Semar, salah satu tokoh panakawan dalam pewayangan Jawa. Sang dalang memosisikan dirinya sebagai pengamat dan juga penasihat bagi para penonton. Bisa dikatakan ia berada di dalam, pun di luar cerita pada saat yang sama.
Kala menjadi Waska, ia begitu dominan. Siapa yang melanggar aturan, akan segera dibabat habis-habisan. Anak buahnya begitu patuh. Posisi Waska seakan tak tersentuh.
Lantas datanglah saat yang telah ditunggu Waska sejak lama. Ia berencana menaklukkan kota. Seluruh anak buahnya akan dibawa untuk merampok, menjarah dan lain sebagainya. Semua dilakukan sebagai ajang balas dendam. Kemiskinan dan ketidakadilan telah menyisihkan mereka dari masyarakat. Mereka dipandang sebelah mata sebagai kaum terbuang.
Namun rencana itu mandek karena penyakit yang diderita Waska. Seluruh anak buah bingung bukan kepalang melihat sosok Waska yang terdiam kaku kehilangan daya.
“Sebagian menganggap Waska kasar, sinting dan eksentrik. Sebagian mengira penyakitnya adalah hasil guna-guna dari musuhnya. Sebagian mengira dia sedang bercakap-cakap dengan Yang Mahakuasa karena posisinya yang hampir seperti nabi,” kata dalang. “Tapi saya sendiri menganggap tokoh Waska hanya orang yang kocak.”
Dua tangan kanan Waska, Ranggong dan Borok, berusaha keras mencari cara menyembuhkan sang pemimpin. Mereka sampai datang ke kediaman Mbah Albert dan Mbah Putri untuk meminta petunjuk awet muda. Setelah dibujuk selama beberapa saat, Mbah Putri pun membagi resep rahasia jamu dadar bayi, yang disebut sebagai obat sekaligus penangkal mati lintas generasi.
Mendengar hal itu, Ranggong dan Borok segera pergi ke kuburan. Mereka mencari banyak jenazah bayi dan mengambil jantungnya sebagai bahan dasar ramuan tersebut.
Kesetiaan mereka pada Waska memang tinggi. Ahli terapi keluarga asal Amerika Serikat, Angela Wilder, pernah menjelaskan soal ini dalam teorinya yang disebut powerful mate syndrome.
Menurutnya, sindrom ini terjadi kala seorang rekan terlampau dominan dalam hubungan. Terkadang itu membuat kita kehilangan rasa percaya diri, identitas, hingga kemampuan untuk mengambil keputusan. Tak hanya itu, ada rasa takut untuk mempertanyakan atau menentang orang yang berkuasa karena segan kehilangan rasa nyaman yang didapat dari hubungan.
Inilah yang terjadi dalam keluarga besar pimpinan Waska. Telah lama para anak buah hidup dikucilkan. Mereka adalah orang-orang yang terlalu sering kalah.
Bersama Waska, mereka jadi berarti kembali. Bahkan ketika Waska mencaci, mereka merasa diapresiasi. Ada sebentuk pengakuan akan eksistensi. Ada yang berubah dari “kalau” menjadi “walau”.
Sebelumnya, seniman bernama Jonah pernah mengangkat kehidupan para kaum terbuang itu. Kisah pahit mereka dituangkan dalam lagu yang kemudian jadi begitu tenar. Namun Waska menanggapinya dengan sinis.
“Selama ini, kamu mengira nyanyian kamu, kesenian kamu, mewakili kelaparan kami, amarah kami? Cuih! Ilusi! Dan lebih dari itu, sambil membungkam rasa persahabatanku padamu, aku menuduhmu. Aku mendakwa kamu telah mengatasnamakan kami, penderitaan-penderitaan kami, dan kamu telah mendapatkan keuntungan dan kehormatan,” ujar Waska.
Karena itu, Waska menolak kala Jonah mengajaknya kembali berkeliling dunia. Di masa mudanya, Waska memang sempat bekerja sebagai kelasi kapal. Dahulu ia punya segudang cerita dan penuh tawa. Jauh beda dengan Waska tua yang ambisius dan terlampau serius.
Kini, Waska hanya ingin menjalankan rencananya menaklukkan kota. “Saya sudah sampai ke kesimpulan bahwa pada hakikatnya semua orang adalah jahat, dan semua orang adalah baik. Maka apa pun yang seseorang lakukan adalah jahat, tapi ia juga baik,” kata Waska.
Namun apa yang didapatnya setelah semua terlaksana? Hampa.
Waska, Ranggong dan Borok telah meminum jamu dadar bayi terlampau banyak. Mereka hidup sehat sampai seluruh rekannya mati. Bahkan sampai anak-cucu rekan-rekannya itu tumbuh dewasa, semua tetap sama. Mereka bertiga bosan. Nyatanya, tak ada yang lebih menjemukan dibanding hidup tanpa kematian.
Maka, ketika bunuh diri pun sudah tak mempan, mereka hanya bisa mengulang-ulang rutinitas tanpa tujuan. “Semua sudah kita lakukan, cuma mati yang belum,” ujar Waska.
Semua berjalan begitu bertele-tele. Bahkan penonton pun bosan melihat mereka terus berjalan di tempat tanpa henti.
Lantas kita sadar, ambisi dan rencana besar Waska hanyalah bagian kecil dari perputaran roda semesta. Dengan hidup abadi, ia ingin jadi berarti. Namun, hidup selamanya akan terus mempermainkannya. Rasanya benar, Waska bukanlah seseorang yang eksentrik. Ia hanyalah orang yang kelewat lucu.