Panama Papers yang Mana?

Ilustrasi Panama Papers.
Ilustrasi Panama Papers. Sumber: ICIJ.org.

Pagi hari ini, saya menghadiri diskusi panel tentang infrastruktur dan konstruksi yang diadakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat. Saya tiba di sana pukul 8.30 pagi, sesuai dengan waktu yang tertera di undangan, tapi acara baru mulai sekiranya 45 menit kemudian.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dijadwalkan hadir dan jadi pembicara di acara tersebut, tapi ia berhalangan dan diwakilkan oleh Sekretaris Jenderal Taufik Widjoyono. Selain itu, hadir pula para petinggi Kadin, seperti ketua umum Rosan Perkasa Roeslani, wakil ketua umum bidang konstruksi dan infrastruktur Erwin Aksa, serta para perwakilan Kadin daerah.

Seperti biasa, selama acara berlangsung saya menyalakan alat perekam suara sekaligus mencatat cepat di ponsel soal apa yang diperbincangkan. Terus seperti itu, dari sambutan Erwin dan Rosan, penandatanganan nota kesepahaman antara Kadin dan beberapa asosiasi serta Center for Sustainable Infrastructure Development (CSID) Fakultas Teknik Universitas Indonesia, hingga sesi pemaparan Taufik.

Setelahnya, Taufik berjalan keluar ruangan ditemani Rosan dan Erwin, hanya untuk dikerumuni dan ditodong setumpuk pertanyaan oleh belasan wartawan yang telah menunggu di depan. Ada wartawan media daring, cetak dan televisi di sana, salah satunya saya.

Komposisinya seperti biasa: wartawan televisi berdiri di belakang dengan kameranya yang besar-besar, sisanya di depan mencari celah menyodorkan perekam suara – ada yang duduk, berlutut dan membungkuk.

Sesi doorstop dimulai dengan pertanyaan seputar pembagian porsi penggarapan proyek pembangunan antara BUMN dan perusahaan kontraktor swasta. Selang tiga menit, seorang wartawan bertanya, “Pak Rosan, boleh minta komentarnya soal Panama Papers?”

“Nah, ini yang ditunggu-tunggu,” kata seorang wartawan persis di sebelah saya.

Awalnya saya bingung. Saya baru dengar nama Rosan tercatat pula dalam Panama Papers. Saya pikir, saya ketinggalan berita sekali.

Alhasil, saya ikuti saja alur yang ada. Rosan menjawab, pendirian sebuah special purposes vehicle di luar negeri adalah hal wajar di kalangan pebisnis Indonesia, dan itu tak otomatis berarti ilegal.

Tak lama, para wartawan mengajukan pertanyaan soal hal sama ke Erwin. Saya kaget lagi.

Kok saya terlambat betul, ya? Padahal sebelumnya saya sudah baca-baca laporan soal Panama Papers di beberapa media. Tempo, satu-satunya media Indonesia yang terlibat dalam investigasi the International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) soal Panama Papers, bahkan tak menyebutkan dalam laporannya soal keterlibatan Rosan dan Erwin.

Sebelumnya saya juga sempat baca sebuah berita yang mengatakan jumlah nama individu dan perusahaan Indonesia yang ada di Panama Papers mencapai 2.961. Angka yang fantastis. Namun tetap saja, saya tidak tahu bila Rosan dan Erwin termasuk di dalamnya.

Singkat cerita, seusai acara saya langsung mencari tempat menulis yang nyaman di daerah Menteng. Lalu saya cek beberapa situs media daring. Ternyata, banyak yang sudah menerbitkan berita soal tanggapan Rosan dan Erwin tersebut.

Tak mau kalah, saya segera bikin berita yang sama dan kirim ke redaksi The Jakarta Post. Lalu saya mulai menulis berita kedua soal seruan Kadin agar pemerintah memastikan kontraktor swasta mendapat porsi lebih dalam proyek pembangunan nasional.

Setelah tulisan kedua rampung, saya bersantai sejenak dengan membakar rokok sembari mencek kotak masuk surel. Saat itulah saya tergemap.

Mas Argun, salah satu editor di kantor, menegur agar saya mencek ulang data soal Panama Papers. Ia bilang, banyak wartawan dan media yang mencampuradukkan data offshore leaks (juga diinvestigasi ICIJ) yang beredar pada 2013 dengan data Panama Papers yang baru ramai diberitakan pada Minggu, pekan lalu.

Ini menimbulkan kerancuan. Namun yang pasti, nama Rosan dan Erwin tak pernah disebut masuk dalam skandal Panama Papers, setidaknya belum. Nama mereka hanya pernah masuk dalam daftar individu dan perusahaan di data offshore leaks 2013.

Saya merasa bodoh sekali.

Ternyata, berita sebelumnya yang saya baca juga salah kira bahwa data offshore leaks 2013 sama dengan data Panama Papers. Alhasil, mereka bisa menulis:

Kegaduhan yang terjadi menyusul tersiarnya data dari firma hukum Mossack Fonseca di Panama, dan kini mencuat dengan nama skandal “The Panama Papers”, juga menyentuh Indonesia.
Dalam tautan milik Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ), ada 2.961 nama individu ataupun perusahaan yang muncul, saat kata kunci “Indonesia” dimasukkan.
Selain itu, pada laman yang sama pun muncul 2.400 alamat di Indonesia yang terdata dalam kolom “Listed Addresses”.

Salah saya pula tak memeriksa ulang keabsahan data tersebut di sumber resmi data offshore leaks 2013 dan Panama Papers. Padahal, praktik membikin offshore company memang hal wajar di dunia bisnis, dan benar kata Rosan, itu tak otomatis berarti ilegal. Beda halnya dengan Panama Papers yang disebut-sebut memang memuat data para pengemplang pajak dan pelaku pencucian uang dari seluruh dunia – itu pun belum tentu semuanya.

Mas Argun bahkan memberikan pula tautan tulisan di Rappler.com soal kebingungan media-media di Filipina dalam membedakan dua kasus yang sama-sama pernah digarap oleh ICIJ tersebut.

Tulisan tersebut menjelaskan, offshore leaks 2013 adalah kumpulan 2,5 juta data soal lebih dari 120 ribu perusahaan offshore di seluruh dunia. Sementara itu, bocoran 11,5 juta dokumen pada Panama Papers hanya berasal dari satu firma hukum di Panama bernama Mossack Fonseca. Dokumen itu memuat nama lebih dari 214 ribu perusahaan offshore yang berurusan dengan Mossack Fonseca sejak 40 tahun silam.

Saya lalu teringat belasan wartawan yang terburu menodong Rosan dan Erwin dengan pertanyaan soal keberadaan nama mereka di Panama Papers. Kok bisa semua wartawan itu, termasuk saya, terjebak dalam satu kesalahan yang sama? Dan kok bisa-bisanya Rosan dan Erwin latah ikut menanggapi hal itu.

Biar bagaimanapun, saya merasa benar-benar tertampar. Saya merasa gagal betul jadi wartawan. Lah untuk sekadar rajin verifikasi saja saya lalai. Akhirnya saya meminta maaf pada teman-teman redaksi The Jakarta Post yang hampir saja saya rugikan.

Ini jadi pengingat bahwa saya harus kerja lebih keras lagi ke depannya.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top