Banyak nama besar pesepak bola dunia yang melanjutkan karir sebagai pelatih selepas pensiun sebagai pemain. Ada yang sukses, tak sedikit pula yang terpuruk karena racikan tim berjalan di luar ekspektasi.
Diego Armando Maradona boleh saja menaklukkan dunia dengan kaki kirinya saat Piala Dunia 1986 silam. Ia berhasil membawa Argentina memenangkan kompetisi sekaligus meraih predikat pemain terbaik kala itu. Namun performanya di atas lapangan berbanding terbalik saat ia banting setir sebagai pelatih. Tim nasional Argentina yang dipimpinnya pada Piala Dunia 2010 bahkan harus menelan kekalahan telak 0-4 dari Jerman di babak perempat final.
Walau begitu, beberapa eks-pemain ternama nyatanya berhasil menunjukkan taji sebagai peramu taktik ulung. Usia muda tak jadi kendala untuk membawa tim meraih trofi. Berikut adalah daftar eks-pemain yang berhasil meneruskan kesuksesan kala dipercaya sebagai pelatih utama dalam beberapa tahun terakhir di lima liga utama Eropa.
Mereka muda dan berbahaya.
1. Antonio Conte – Juventus

Antonio Conte (44) adalah legenda Juventus yang bermain di sana sebagai gelandang tengah pada periode 1991-2004. Ia adalah kapten tim era 1990-an sebelum Alessandro Del Piero melanjutkan suksesi kepemimpinan setelahnya.
Total, ia bermain sebanyak 419 pertandingan dan mencetak 44 gol di seluruh kompetisi bersama Juventus. Selama karirnya tersebut, Conte berhasil meraih setidaknya lima titel Serie A, satu Coppa Italia, satu Piala UEFA dan satu trofi Liga Champion.
Conte memulai langkah awalnya sebagai pelatih saat memimpin tim Serie B, Arezzo, pada Juli 2006. Namun setelah serangkaian hasil mengecewakan, ia dipecat usai hanya menjabat selama kurang lebih tiga bulan. Pada Maret 2007, ia kembali dipanggil untuk membesut Arezzo. Sempat meraih lima kemenangan beruntun, tim tersebut harus menemui kenyataan terdegradasi ke Serie C1 setelah hanya tertinggal satu poin dari Spezia di posisi terakhir zona aman.
Pria kelahiran 1969 tersebut akhirnya kembali menimba ilmu sebagai pelatih tim Serie B, Bari, pada Desember 2007. Di sana, Conte berhasil menyelamatkan Bari dari jurang degradasi, dan membawa tim tersebut promosi ke Serie A setahun berselang.
Setelah tak sukses memimpin Atalanta pada musim 2009/2010, ia memilih untuk melatih Siena pada 2010/2011. Di awal musim, ia mendapat target untuk menghindari posisi degradasi, tapi justru berhasil membawa Siena promosi ke Serie A. Baru setelahnya ia dipingit oleh Juventus untuk menjadi suksesor Luigi Delneri pada Mei 2011.
Di bawah asuhan Conte, Juventus berhasil membangun kembali dominasinya di Serie A. Pada musim 2011/2012, Juventus berhasil menjuarai Serie A tanpa terkalahkan sekalipun. Semusim selanjutnya, mereka mempertahankan titel tersebut, dengan keunggulan 9 poin dari Napoli di posisi kedua, dan 15 poin dari AC Milan di tempat ketiga. Gelar ketiga secara beruntun di Serie A juga telah dipastikan pada pekan 36 musim 2013/2014 usai AS Roma menelan kekalahan 1-4 dari Catania.
“Saya melatih, dan kapanpun saat saya sedang tak melatih, saya memikirkan soal apa yang bisa saya perbuat agar bisa jadi lebih baik dalam hal melatih,” ujar Conte suatu hari. “Saya tahu bahwa saya harus meminggirkan keluarga saya dengan bekerja seperti itu. Penyesalan yang ada begitu mendalam, tapi saya selalu mencoba menyisihkan waktu dalam hidup saya untuk wanita, dan juga untuk membaca. Apa yang saya baca? Biografi para juara dan buku psikologi.”
2. Diego Simeone – Atletico Madrid

Bermain pada periode 1987-2006, Diego Simeone (44) dikenal sebagai gelandang bertahan yang keras, pun elegan di sisi lain. Ia telah melanglang buana ke delapan klub di tiga negara berbeda dan berhasil meraih banyak sukses sebagai pemain.
Selama karirnya tersebut, ia telah bermain sebanyak total 513 kali dan mencetak 84 gol, bukan jumlah yang buruk bagi pemain yang berposisi mengawal pertahanan di depan empat bek. Simeone juga andalan bagi negaranya. Ia bermain di tiga edisi Piala Dunia, menjuarai dua Copa America, serta bermain sebanyak 106 kali dengan sumbangan 11 gol.
Di Serie A, Simeone berhasil meraih Piala UEFA bersama Inter Milan pada 1997/1998. Selain itu, sukses juga ia raih saat membela panji Lazio. Di sana, ia turut berkontribusi saat membawa tim menjuarai Serie A dan Coppa Italia pada 1999/2000.
Simeone memainkan laga terakhirnya sebagai pesepak bola untuk tim Argentina, Racing, pada Februari 2006. Syahdan, ia langsung beralih ke pinggir lapangan untuk melatih tim yang sama selama tiga bulan. Baru setelahnya ia mencoba peruntungan sebagai pelatih Estudiantes sejak 18 Mei. Di tahun itu, Simeone berhasil membawa Estudiantes menjuarai Liga Apertura Argentina untuk pertama kalinya dalam 23 tahun terakhir.
Selaras dengan perjalanannya sebagai pemain, pria kelahiran 1970 tersebut masih gemar menjadi ‘kutu loncat’ dengan terus berpindah klub. Ia sempat membawa River Plate menjuarai Liga Clausura 2008, membesut San Lorenzo selama setahun setelahnya, dan sejak Januari 2011 ia memimpin tim Italia, Catania, dan berhasil menghindari jurang degradasi Serie A di akhir musim.
Ia pun kembali ke Racing pada Juni 2011, sebelum akhirnya direkrut Atletico Madrid pada Desember tahun yang sama. Sejak itu, namanya pun mulai harum. Atletico dibawanya meraih Europa League 2011/2012, Piala Super Eropa 2012 dan Copa del Rey 2012/2013. Pada musim 2012/2013 pun Atletico finis di peringkat 3 klasemen akhir liga – posisi terbaik mereka sejak 1996.
Musim ini boleh jadi merupakan klimaks performa Atletico di bawah asuhan Simeone. Sudah 37 pertandingan terlewati dan mereka masih berada di puncak klasemen sementara. Mereka unggul 3 poin atas Barcelona di posisi 2, dan 5 poin dari Real Madrid di posisi 3.
Statistik mereka tidak menghebohkan, tapi efisien. Hingga pekan ke-37 mereka telah melesakkan 76 gol, ketiga terbaik di liga, dan kemasukkan 25 gol, terbaik di liga. Hal ini seakan merepresentasikan gaya permainan Simeone dahulu: kuat saat bertahan, tidak buruk saat menyerang.
Atletico juga berhasil menembus babak final Liga Champion setelah mengalahkan Chelsea di semi final. Di final nanti mereka akan melakoni derbi, berhadapan dengan tim sekotanya dan rival lama: Real Madrid.
Hal ini rasanya bisa terjadi karena mental juara yang disuntik Simeone dalam tim sejak pertama kali ia mendarat di Vicente Calderon. “Saya selalu berpikir mereka (direksi) akan memecat saya besok. Jadi saya hanya fokus pada kemenangan hari ini, karena ini adalah hari terakhir saya bersama klub. Saya selalu menanamkan filosofi ini kepada seluruh pemain,” ujar Simeone.
3. Frank de Boer – Ajax Amsterdam

Frank de Boer (43) adalah bagian dari generasi emas Ajax Amsterdam pada era 1990-an. Saat itu, ia dan rekan-rekan sesama lulusan akademi Ajax lainnya berhasil membawa tim mendominasi liga dan kompetisi Eropa. Saat itu, Frank bahu membahu bersama kembarannya, Ronald de Boer, Edgar Davids, Patrick Kluivert, Clarence Seedorf dan Edwin van der Sar.
Bersama mereka, Frank setidaknya berhasil meraih lima gelar Eredivisie, dua KNVB Cup, satu Piala UEFA, satu Liga Champion, satu Piala Super Eropa dan satu Piala Intercontinental bersama Ajax. Hingga akhir karirnya di sana, Frank telah tampil sebanyak 418 kali dengan sumbangan 44 gol.
Frank menjajal La Liga saat bergabung dengan Barcelona pada 1998/1999 hingga 2002/2003. Di musim perdananya, Barcelona berhasil diantar menjadi juara liga. Sebelum pensiun, Frank juga sempat hijrah ke Galatasaray (Turki), Glasgow Rangers (Skotlandia), Al-Rayyan dan Al-Shamal (Qatar).
Pada 6 Desember 2010, Frank ditunjuk sebagai manajer sementara di Ajax, menggantikan Martin Jol. Pertandingan pertamanya adalah melawan AC Milan di ajang Liga Champion. Saat itu, Ajax berhasil dibawanya menang 2-0 di San Siro. Di akhir musim 2010/2011 pun Ajax sukses menjuarai Eredivisie sekaligus mengakhiri puasa gelar mereka dalam tujuh tahun terakhir.
Syahdan, Ajax memutuskan untuk mengangkat Frank menjadi manajer tetap. Tak salah, karena Ajax berhasil dibawa Frank menjadi juara liga selama empat musim berturut hingga kini. Frank dianggap sukses mengembalikan identitas Ajax dengan racikan ofensif 4-3-3 yang menuntut penekanan sejak garis depan. Ia juga berhasil mengasah kemampuan para pemain muda yang ada seperti Stefano Denswil, Joel Veltman dan Davy Klaassen.
Memang, Frank belum bisa membuat Ajax bicara banyak di Eropa. Musim ini pun Ajax gagal lolos fase grup Liga Champion dan mentok di babak 32 besar Liga Europa. Namun, ia dianggap sebagai salah satu pelatih potensial yang punya masa depan cerah.
4. Laurent Blanc – Paris Saint-Germain

Sebagai pemain, Laurent Blanc (48) dikenal sebagai karang tangguh lini belakang tim nasional Prancis yang berhasil mengantar negaranya tersebut menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. Kala itu, ia berhasil membentuk tim impian bersama para legenda semacam Zinedine Zidane, Emmanuel Petit, Marcel Desailly dan Fabien Barthez.
Selain itu, di level klub Blanc adalah perantau yang telah bermain di sembilan klub di empat negara berbeda dalam 19 tahun karirnya. Ia sukses meraih gelar Liga Prancis bersama Auxerre pada 1995/1996, Piala Winners bersama Barcelona pada 1996/1997 dan Liga Primer Inggris bersama Manchester United pada 2002/2003.
Sebagai seorang bek tengah, Blanc juga dikenal sebagai eksekutor penalti yang handal. Maka wajar, di akhir karirnya ia berhasil mencetak 130 gol untuk klub dan 16 gol untuk tim nasional.
Langkah pertamanya sebagai pelatih dimulai pada Juni 2007 ketika ia direkrut untuk menangani Bordeaux. Di musim perdananya tersebut, Bordeaux berhasil dibawa menjadi runner-up dan Blanc pun mendapat predikat pelatih terbaik. Barulah pada musim keduanya Bordeaux keluar jadi juara dengan menyapu bersih 11 laga terakhir di liga dengan kemenangan.
Karena prestasinya tersebut, Blanc diangkat sebagai manajer tim nasional Prancis pada Mei 2010. Di bawah tangannya, Prancis berhasil menjuarai sesi kualifikasi Grup D Piala Eropa 2012. Namun, sayangnya perjalanan Prancis di Piala Eropa hanya sampai perempat final usai menelan kekalahan atas Spanyol 0-2.
Pada Juni 2013, Blanc menerima tawaran untuk menjadi suksesor Carlo Ancelotti di Paris Saint-Germain. Sejauh ini, ia sukses membawa PSG menjuarai Coupe de la Ligue dan Liga Prancis 2013/2014. Di Liga Champion, mereka terhenti di perempat final melawan Chelsea hanya karena kalah jumlah gol tandang.
Setelah Qatar Sports Investments menguasai saham klub pada 2011 lalu, PSG berhasil mendatangkan para pemain tersohor dengan harga selangit, seperti Zlatan Ibrahimovic, Thiago Silva dan Edinson Cavani. Maka, para pelatih PSG pun diharapkan untuk membawa sukses dalam tim dengan menampilkan permainan nan atraktif di atas lapangan. Hal ini pula yang dianggap sesuai dengan filosofi Blanc.
“Para staf dan saya akan melakukan segalanya yang kami bisa untuk meraih tujuan yang telah ditetapkan serta menyajikan tontonan yang indah. Seperti yang kalian tahu, saya suka sepak bola yang bagus,” ujar Blanc saat peresmian dirinya sebagai pelatih PSG.
5. Josep Guardiola – Bayern Muenchen

Josep ‘Pep’ Guardiola (43) adalah produk asli akademi Barcelona. Sebagai pemain, ia pun banyak menghabiskan waktu dan menuai sukses di tim tersebut. Bermain selama satu dekade di Barcelona sebagai gelandang tengah, Pep tampil di 366 pertandingan dan mencetak 12 gol.
Selain itu, ia pun sukses meraih enam gelar La Liga, dua Copa del Rey, satu Piala Eropa (sebutan terdahulu Liga Champion), satu Piala Winners dan dua Piala Super Eropa. Setelahnya, ia sempat menjajal Brescia dan AS Roma di Italia, Al-Ahli di Qatar dan Sinaloa di Meksiko.
Setelah bertugas memimpin Barcelona B pada musim 2007/2008, ia naik pangkat sebagai pelatih tim utama di musim selanjutnya. Kemudian, sejarah berbicara dengan sendirinya. Ia berhasil mengukuhkan dominasi Barcelona di Spanyol dan Eropa selama kurun waktu empat tahun menjabat. Gaya main timnya yang kerap disebut sebagai tiki-taka karena akrab dengan umpan pendek cepat nan terukur begitu disegani dan sukses menjadi magnet juara.
Total, Pep berhasil merengkuh tiga trofi La Liga, dua Copa del Rey, tiga Piala Super Spanyol, dua Liga Champion, dua Piala Super Eropa dan dua Piala Dunia Antarklub. Syahdan, ia pun didapuk sebagai pelatih tersukses dalam sejarah Barcelona.
Pada musim 2012/2013 Pep memutuskan untuk rehat sejenak dari sepak bola. Ia baru kembali pada musim 2013/2014 setelah ditunjuk menjadi suksesor Jupp Heynckes di Bayern Muenchen. Tak main-main, ia pun mempersiapkan diri dengan matang. Salah satunya dengan belajar bahasa Jerman secara intensif sebelum mulai memimpin tim tersebut.
Di sana, Pep berhasil menerapkan tiki-taka dengan gaya lebih direct. Hal ini dimungkinkan dengan banyaknya gelandang pengatur serangan di tubuh Muenchen, dari Bastian Schweinsteiger, Toni Kroos, Mario Goetze, Thomas Muller, Franck Ribery hingga Arjen Robben.
Alhasil, Muenchen sukses menjadi juara bundesliga saat kompetisi masih menyisakan tujuh laga lagi. Ia juga berhasil mencatatkan rekor 28 kemenangan beruntun – terpanjang dalam sejarah klub. Intelejensianya dalam meramu taktik diakui dan disegani oleh berbagai pihak, salah satunya oleh Fabio Capello yang pernah melatihnya saat membela panji AS Roma.
“Dia adalah salah satu dari beberapa orang pandai yang saya hampiri di ruang ganti. Kepandaiannya terlihat dari caranya memikirkan banyak hal. Banyak hal tentang sepak bola, tentu saja, tapi selain itu juga soal sastra dan hal-hal budaya,” ujar Capello.
***