Penipuan Kamis Malam

Ilustrasi penipuan lewat telepon.
Ilustrasi penipuan lewat telepon. Zachary Keimig/Unsplash.

Niat saya cuma bersantai sejenak setelah kerjaan beres pada Kamis malam lalu, kira-kira pukul 8. Rasanya tak ada salahnya membakar satu-dua batang rokok sebelum pulang. Tak disangka, hujan deras datang tanpa aba-aba.

Terpaksa, saya batalkan niat pulang. Rumah saya di Kebayoran Lama dan kantor di Palmerah memang cuma berjarak empat lagu Silampukau. Namun tetap saja, malas bila harus menembus hujan sembari membawa tas berisi laptop, hard disk, dan beberapa buku catatan liputan. Bila barang-barang itu basah, panjang urusannya.

Saya putuskan untuk menyunting sebuah tulisan untuk web teaterkatak.org. Lalu saya main ke bagian produksi koran, bertukar obrolan dengan para proofreader The Jakarta Post. Kebetulan kawan saya, Clara, baru bergabung ke sana minggu ini. Teman sesama calon wartawan angkatan 2016, Adit, juga sedang kebagian shift malam saat itu.

Hingga lewat pukul 11, belum ada tanda-tanda hujan akan usai. Derunya masih intimidatif betul. Tepat pukul 11:24, saya kabari mama di rumah kalau saya masih terjebak hujan di kantor.

Tak lama, pekerjaan proofreading beres dan gulungan kertas plotter akan segera dikirim ke percetakan. Saya ajak Adit dan Clara untuk makan dulu di depan kantor. Clara usul kami makan nasi goreng favoritnya di sebelah Indomaret. Sekalian ia mengajak pacarnya, Oki, yang baru tiba untuk menjemput.

Singkat cerita, sampai piring-piring kami kosong di warung nasi goreng sebelah Indomaret itu, kira-kira pukul 12:20, hujan masih belum berhenti. Pasrah, saya iseng ambil ponsel dari saku, mengecek bila ada pesan masuk.

Saya kaget, dalam waktu sejam sejak terakhir melihat ponsel, ternyata sudah ada puluhan pesan masuk dan missed calls. Semua dari keluarga, entah mama, papa, adik saya Yasa, dan kakak saya Prajna. Isi pesannya pun heboh: ada yang menelepon ke rumah dan mengabari kalau saya baru saja menabrak orang hingga ia meninggal dan keluarganya menuntut ganti rugi Rp 25 juta.

Sontak saya telepon satu-satu orang rumah. Mulanya panggilan ke mama dan papa tidak diangkat. Baru saat ke Ko Prajna, panggilan saya tersambung. Saya jelaskan keadaan saya sebenarnya dan ia meminta saya mencoba lagi menelepon mama atau papa.

Tak lama, mama mengangkat telepon. Dengan suara gemetar dan terisak, ia berujar “Kamu di mana?”

“Viriya di kantor. Enggak ada apa-apa.”

Saya tenangkan mama dan meyakinkannya bahwa telepon ke rumah itu adalah bohong dan cuma bermaksud menipu. Ia membalas dengan parau, “Ya udah, kamu hati-hati.”

Ternyata, kehebohan di rumah berlangsung tak lama sejak saya mengabarkan bahwa saya masih terjebak hujan di kantor. Kira-kira pukul 11:30, telepon rumah berdering. Mama belum melihat pesan dari saya karena ponselnya sedang diisi daya di kamar.

Saat mama mengangkat telepon, suara pertama yang didengarnya adalah rintihan.

“Tolong, Ma. Tolong.”

Lalu suara beralih ke seorang pria yang mulai mencecar dan membentak mama saya tanpa henti. Katanya saya menabrak orang di daerah Pluit. Katanya orangnya meninggal. Katanya saya akan diamuk massa bila mama tak segera mengirimkan uang Rp 25 juta ke rekening BRI atas nama Dr. Ediansyah.

Saya tahu modus penipuan ini. Si penipu memang harus terus mencecar agar korban panik dan tak punya waktu berpikir jernih. Namun tetap saja, buat saya mereka bajingan yang sudah bikin mama saya menangis dan hampir copot jantungnya.

Di tengah kejadian, si penipu meminta nomor ponsel mama saya dan dengan panik mama saya menurut. Lalu panggilan berganti dari telepon rumah ke ponsel.

“Segera transfer!”

“Iya. Saya sedang siap-siap.”

“Ibu bukan mau kondangan, ibu mau ke ATM! Enggak usah siap-siap!”

Untungnya saat mama mengambil ponselnya di kamar, ia sempat melihat pesan masuk dari saya yang mengatakan saya sedang di kantor. Dari sana ia mulai curiga dan segera mematikan telepon.

Sesampainya saya di rumah, mama saya menyambut dengan wajah kusut. Dengan gemetar tangannya meraih pipi saya. Lalu ia memeluk dan mencium saya.

Sekali lagi saya cuma bisa bilang, mereka bajingan.

Bagikan

2 thoughts on “Penipuan Kamis Malam”

  1. pernah juga kek gitu. Saya dibilang lagi di kantor polisi karena kasus narkoba. Wong rokok saja saya gak pernah ngisep 😀 Ibu dan Bapak juga hampir saja transfer uang.
    Yang masih bikin saya penasaran, bagaimana si penipu tau nama saya, lalu menirukan suara saya, dan tau kalau saya sedang tidak rumah? Sungguh canggih teknologi mereka 😀

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top