Seni Teater Mahasiswa Bina Nusantara (ST MANIS) mementaskan Cipoa hasil adaptasi naskah Putu Wijaya pada 23-24 Mei 2014 di auditorium Kampus Anggrek Universitas Bina Nusantara. Penuh kebohongan dan tipu daya dalam pertunjukan tersebut.
Dikisahkan terdapat segerombolan pekerja yang bertugas mencari harta karun di sebuah tambang. Mereka bekerja siang dan malam untuk menemukan emas yang tersembunyi di sana. Namun, suatu malam sang juragan justru datang dan mengambil sendiri harta itu.
Tak disangka, mandor bernama Tivri mengetahui perbuatan sang juragan. Alhasil, Tivri diminta untuk berdusta pada para anak buahnya dan berkata bahwa harta belum ditemukan. Juragan beralasan bahwa kebohongan diperlukan untuk mencegah kericuhan.
“Dalam sejarah pembagian harta itu hanya ada tiga kesimpulan: perkelahian, pembunuhan dan pertumpahan darah,” katanya.
Namun, kebenaran terkuak kala para pekerja memergoki langsung sang juragan menjual emas besarnya pada seorang pengusaha asal Jepang. Mereka murka dan menghajar Tivri yang telah memberi informasi palsu sebelumnya.
Tak ada lagi semangat membubung karena para pekerja merasa begitu teperdaya. Namun, semua berubah kala mereka berhasil menemukan kembali emas besar di tambang tersebut.
Untuk mencegah monopoli harta dari sang juragan, mereka menghias emas yang didapat agar terlihat mirip batu. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Lagi-lagi kebohongan yang ada tak menghasilkan apa-apa.
Juragan segera menyuruh anak buahnya, Alung, untuk menjual “batu” itu pada sang pengusaha Jepang. Saat kebohongan terkuak, semua sudah terlambat. Emas telah dijual seharga batu.
“Kalau tidak jujur dalam berkata, jujur tidak akan pernah mujur,” kata Tivri di akhir cerita.
Secara umum, pementasan ini berlangsung cukup menghibur. Tokoh pengusaha Jepang berhasil jadi daya tarik tersendiri dan selalu berhasil memancing tawa ketika berdialog dengan gayanya yang komikal. Sayangnya, para pemain kerap terlihat terburu-buru dalam melontarkan dialognya hingga suspense urung tercipta di beberapa adegan krusial.
Selain itu, musisi yang mengiringi juga tak terlihat padu dengan pemain di atas panggung. Beberapa sound effect yang digunakan untuk menggarisbawahi adegan kerap terlambat masuk. Musik yang dimainkan juga sempat hilang timbul kala adegan Tivri sedang merenung bersama istrinya hingga nuansa sedih tak terbangun.
Naskah Cipoa sendiri dipilih oleh ST MANIS karena mengandung banyak hikmah yang bisa menjadi pembelajaran dalam keseharian. Kata “cipoa” bisa diartikan sebagai tipu daya.
“Menurut kami, naskah ini berbeda. Maksudnya, di balik segala macam hiburan dan kebodohannya, pesan yang ada juga dalam. Orang tidak lagi membicarakan mana yang benar dan salah karena mereka buta dengan harta,” ujar Priska, Ketua ST MANIS sekaligus pemeran tokoh istri Tivri dalam pementasan.
Lebih lanjut, ada beberapa perubahan yang dilakukan dalam proses adaptasi naskah Cipoa.
“Di awal baca naskah ini, kami bermaksud untuk membawakannya secara realis. Tapi dalam prosesnya ternyata kami merasa lebih menarik bila dibawakan secara kartunis. Sutradara kami, Adri Prasetyo, juga menambahkan satu karakter istri lagi bagi juragan walau di naskah aslinya hanya ada satu istri,” ujar Rinaldy Zulkarnain, pimpinan produksi pentas Cipoa sekaligus pemeran tokoh pengusaha Jepang.
ST MANIS sesungguhnya telah berdiri sejak pertengahan 1990-an. Setelah vakum selama beberapa waktu, mereka kembali beraktivitas pada 1998. Cipoa sendiri adalah produksi mereka yang ke-44.
***