Bayangkan Anda sedang mengemudikan mobil di jalan tol yang sepi. Santai saja, kecepatan tak lebih dari 70 km/jam. Mendadak, beberapa mobil di sekitar menginjak gas dalam-dalam dan melakoni balapan liar. Berbagai manuver cantik menghiasi jalanan. Hingga sebuah mobil kehilangan kendali dan kecelakaan beruntun terjadi. Situasi pun beralih jadi tegang dan mencekam.
Itulah gambaran yang bisa saya berikan soal pentas Pernikahan Darah oleh Teater Pandora pada 15-17 Januari 2016 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sutradara Yoga Mohamad mengadaptasi naskah Bodas de sangre karya seniman Spanyol, Federico García Lorca, ke dalam nuansa budaya Batak.
Kisah berkisar pada hubungan asmara yang terjalin di antara Antonio, Helena, dan Leonardo. Antonio hendak mempersunting kekasihnya, Helena. Tiga tahun sebelumnya, Helena sempat menjalin hubungan dengan Leonardo. Namun, Leonardo justru memilih untuk menikahi sepupu Helena. Mendengar kabar soal rencana pernikahan Antonio dan Helena, mendadak Leonardo geram dan ingin merebut kembali mantan kekasihnya itu.
Di sisi lain, Leonardo datang dari keluarga Felix yang dahulu disebut-sebut membunuh amang (ayah) dan abang Antonio. Mengetahui hal ini, inang (ibu) Antonio yang masih menyimpan dendam membara sontak naik pitam. Ia khawatir sesuatu akan terjadi di tengah acara pernikahan anaknya.
Sedari awal, sang inang terlihat enggan memberi restu. Ia cemas bila harus ditinggal sendirian setelah Antonio menikahi Helena. Ia bahkan sempat berandai, bila Antonio terlahir sebagai perempuan, tentu anaknya itu bisa senantiasa menemani di rumah sembari merenda dan menyulam. Lalu, inang menuturkan harapannya untuk mendapat enam cucu. Lagi-lagi, ia berharap anak pertama lahir sebagai perempuan.
Ini terasa janggal karena Teater Pandora memutuskan untuk mengangkat budaya Batak dalam Pernikahan Darah. Pada umumnya, keluarga Batak lebih berharap untuk memiliki anak laki-laki agar bisa meneruskan garis keturunan. Ini terkait dengan budaya patriarki dan sistem kekerabatan suku Batak.
Terlebih, pentas ini mengangkat tema pernikahan. Rasanya menarik bila nama para tokoh juga diadaptasi jadi nama suku Batak. Dari sana kita bisa melihat relasi antartokoh melalui marganya masing-masing. Ada aturan-aturan adat yang melarang pernikahan di antara beberapa marga tertentu. Namun, sutradara Yoga Mohamad memutuskan untuk mempertahankan nama bernuansa Spanyol untuk para tokoh dalam naskah.
Kemudian, latar belakang tragedi pembunuhan amang dan abang Antonio serta kisah asmara Leonardo dan Helena diceritakan dari mulut ke mulut. Kita bisa melihatnya dalam percakapan antara Antonio dan inang di awal, serta perbincangan inang dengan seorang tetangga. Keduanya terjadi di rumah Antonio. Latar baru berganti jadi rumah Helena saat Antonio dan inang datang bersilaturahmi ke sana. Kemudian, latar berubah lagi jadi rumah Leonardo. Saat itulah Leonardo geram mendengar kabar pernikahan Antonio dan Helena.

Sampai di sana, tempo permainan berjalan cukup lambat. Dialog panjang nan puitik kental menghiasi permainan. Ia kerap menghadirkan getir, tapi kadang juga terkesan monoton dan dibuat-buat.
Maharani Megananda yang berperan sebagai inang terlihat menonjol dan berulang kali berhasil mengaduk emosi penonton. Terutama di awal pentas saat ia kalut mencari dan mengutuk pisau akibat trauma setelah suami dan anak sulungnya dibunuh keluarga Felix. “Terkutuklah segala pisau, terkutuklah bangsat yang membuatnya!”
Namun ini tak mampu diimbangi oleh Lutfi Wicaksono yang berperan jadi Antonio. Setelah sang inang mereda emosinya, Antonio berusaha mencairkan suasana. “Perempuan tua, ke mana pun kau pergi akan kugendong kau!”
Kalimat itu terucap begitu kaku sehingga adegan menggendong sang inang mengelilingi panggung dengan penuh tawa dan canda juga jadi terlihat artifisial. Seakan ia berakting secara mekanis saja.
Yoga Mohamad sebagai Leonardo pun terlihat begitu dominan kala beradu peran dengan Ariane Meida sebagai istrinya ataupun Mentari Putri Novel sebagai Helena.
Belum lagi pergantian latar yang dilakukan para blackman di tengah panggung gelap tanpa iringan musik sama sekali di awal hingga pertengahan pertunjukan. Iringan musik baru muncul kala transisi dari rumah Leonardo kembali ke rumah Helena. Alhasil, jeda sunyi sesaat membuat permainan antar-adegan terasa tersendat, urung terjahit dengan halus.
Teater Pandora pun memutuskan untuk menggunakan set panggung mati dalam pentas ini. Maksudnya, set yang ada hampir tak berganti sepanjang lakon. Karena itu, penonton hanya bisa mengandalkan beberapa ciri khas untuk mengenali sebuah latar. Misal, sebuah peti di tengah panggung untuk rumah Antonio dan pintu dengan ayunan bayi di bagian belakang untuk rumah Leonardo. Cara ini efektif dan efisien, tapi panggung jadi terlihat sepi dengan kehadiran dua undakan saja, masing-masing di kiri dan kanan panggung.
Karena beberapa hal tersebut, mulanya saya merasa pentas ini begitu sepi. Namun, semua mendadak berubah di adegan pesta pernikahan.

Panggung jadi begitu riuh dengan kehadiran puluhan orang yang terus mengobrol atau menari tor-tor. Kain ulos tersampir di bahu para pemain yang bergerak dalam balutan koreografi nan epik. Nuansanya begitu meriah dan megah.
Di sini, kisah beranjak menuju klimaks dengan intens. Dari adegan Leonardo diam-diam membawa kabur Helena, kemarahan keluarga besar Antonio, hingga sang inang yang mendorong Antonio untuk segera mengejar dan membunuh Leonardo.
“Buat amang-mu dan abangmu tenang di atas sana,” kata sang inang setelah menyerahkan sebilah pisau pada Antonio.
Temponya benar-benar melonjak tanpa aba-aba. Tak pelak, saya mendapat kesan bahwa apa yang ditampilkan di awal hingga pertengahan pentas hanyalah usaha formal untuk membangun konteks demi kemegahan dan kericuhan di akhir.
Lalu, muncullah adegan percakapan sureal antara Rembulan dan Kematian sebagai pendinginan. Dibawakan dengan gaya komikal, mereka menarasikan lakon dari sudut pandang orang ketiga hingga Antonio dan Leonardo tewas di tengah hutan, meninggalkan Helena bersimbah darah sendirian.

Pentas ditutup dengan adegan jenazah Antonio dan Leonardo diarak beramai-ramai, ditemani Rembulan dan Kematian yang mengiringi sepanjang jalan. Inang pun hanya mampu meratap dan tenggelam dalam gelap. Balapan liar yang terjadi di sekitar telah berujung pada sebuah kecelakaan besar.