Pada 19 Mei 2014, Roy Hodgson memimpin sesi latihan perdana Steven Gerrard dan kawan-kawan di Vale do Lobo, Algarve, Portugal. Waktu itu kurang dari sebulan sebelum Piala Dunia dimulai. Cuaca hangat Portugal diharap dapat membantu pemain beradaptasi dengan kondisi di Brasil nanti. Persiapan sebaik mungkin patut dilakukan karena Inggris tergabung dalam grup neraka bersama Italia, Kosta Rika, dan Uruguay.
Tak hanya itu, bahkan Inggris membawa psikolog untuk membantu para pemain mengatasi tekanan tampil di turnamen akbar Piala Dunia. Masih terbayang kala Inggris ditaklukkan Italia di perempat final Piala Eropa 2012, kalah oleh Portugal di perempat final Piala Dunia 2006 dan Piala Eropa 2004, serta oleh Argentina di babak 16 besar Piala Dunia 1998.
Semua karena adu penalti. Mental pemain Inggris pun dipertanyakan. Sementara mereka hanya bisa mengutuk kinerja wasit dan beralasan kehilangan pemain kunci karena cedera atau larangan bermain.
Namun semua masih berjalan salah bagi Inggris. Wayne Rooney terus mencari-cari performa terbaik bagi tim nasional yang sepertinya tertinggal di Euro 2004. Gerrard melanjutkan performa buruknya di akhir musim 2013/2014 bersama Liverpool. Duet bek medioker Gary Cahill dan Phil Jagielka berhasil membuktikan mereka memang belum berkelas internasional. Perjalanan mereka singkat saja di Brasil. Kalah 1-2 oleh Italia dan Uruguay, serta imbang dengan skor kacamata melawan Kosta Rika.
Bahkan di tengah semua keterpurukan mereka masih menghibur diri tidak kalah di tiga laga beruntun. “Kami gembira tak kalah dalam tiga pertandingan di fase grup. Melalui turnamen ini kami melihat ada beberapa pemain muda yang oke,” kata Jack Wilshere seusai pertandingan pamungkas melawan Kosta Rika.
Segala kesalahan ini bahkan bermula sejak mereka melakoni pemusatan latihan di Portugal. Situs Holiday-Weather menyebutkan suhu rata-rata di Algarve selama Juni lalu di kisaran 21 derajat Celcius. Bandingkan dengan suhu di Arena Amazonia, Manaus, tempat pertandingan antara Inggris dan Italia yang melebihi 30 derajat Celcius.
Namun, Inggris gugur cepat di Piala Dunia sudah biasa. Masih untung Inggris tidak bertemu lawan tangguh yang berpotensi mempermalukan mereka lebih jauh. Jerman misalnya, membantai mereka 4-1 di Piala Dunia 2010. Daya tarik utama justru Kosta Rika, sang “neraka” sesungguhnya dari Grup D. Tanpa diduga, mereka berhasil memuncaki klasemen akhir setelah menekuk Uruguay 3-1, mengalahkan Italia 1-0, dan imbang dengan Inggris.
Kosta Rika bahkan menorehkan sejarah setelah lolos ke perempat final Piala Dunia untuk kali pertama setelah menyingkirkan Yunani melalui adu penalti. “Kami telah melatih adu penalti dan kami juga mempelajari kebiasaan pemain lawan. Itulah mengapa seluruh penendang kami berhasil mencetak gol,” kata Jorge Luis Pinto, pelatih Kosta Rika.
Di sisi lain, Italia tak bisa bicara banyak. Inkonsistensi Mario Balotelli di depan gawang lawan justru membuat orang merindukan kehadiran penyerang oportunis semacam Filippo Inzaghi yang minim kontroversi dan bisa mencetak gol berkat satu sodoran peluang saja.
Satu-satunya yang membekas dari kehadiran Italia di Brasil adalah gigitan Luis Suarez di bahu Giorgio Chiellini. Hal ini terjadi setelah Liverpool membela habis-habisan Suarez setelah insiden gigitan tangan Branislav Ivanovic pada April 2013. Selewat setahun, terbukti Suarez masih “lapar”. Sebagai sanksi, FIFA melarangnya berinteraksi dengan sepak bola selama empat bulan.
Tanpa penyerang tonggos itu di lapangan, Uruguay takluk pada Kolombia 0-2 di babak 16 besar. Pertandingan itu melambungkan nama James Rodriguez yang sukses mencetak dua gol. Sebagai gelandang serang, James tampil tajam sepanjang turnamen dengan raihan total lima gol hingga kini.
Secara keseluruhan, banjir gol memang kerap terjadi di Piala Dunia 2014. Gol Sokratis Papastathopoulos untuk Yunani pada menit 90 pertandingan lawan Kosta Rika adalah gol ke-145 yang tercipta di ajang ini. Jumlah gol itu menyamai total gol yang tercipta di Piala Dunia 2010. Bukan tidak mungkin rekor 171 gol di Piala Dunia 1998 terpecahkan karena masih banyak laga tersisa.
Sejak awal, berbagai skor besar telah menghiasi ajang empat tahunan ini. Jerman sukses mencukur Portugal 4-0 di laga pembuka Grup G. Belanda berhasil membantai juara bertahan Spanyol dengan skor 5-1. Setelah itu Spanyol bahkan kembali kalah dengan skor 0-2 melawan Chile dan resmi terlempar lebih awal dari Piala Dunia.
Banyak orang percaya inilah saat yang tepat bagi Spanyol untuk turun tahta. Enam tahun sudah Spanyol merajai sepak bola dunia dengan meraih dua trofi Piala Eropa dan satu trofi Piala Dunia. Tak hanya lawan, pendukungnya saja terkadang bosan menunggu tiki-taka mereka menembus pertahanan musuh.
“Hal tersebut kerap terjadi di situasi semacam ini. Kami semua bertambah tua dan ada beberapa pemain muda yang muncul tapi tak mendapat kesempatan untuk unjuk gigi,” kata David Silva, gelandang tim Matador.
Sesungguhnya tim Spanyol telah berusaha melakukan inovasi dengan memasukkan striker blasteran Brasil, Diego Costa. Namun hal ini justru gagal total. Menjadi starterdi dua pertandingan awal, Costa melempem. Dari lima tembakan yang dilepaskannya, tak ada satu pun yang mengarah ke gawang. Ia hanya produktif menghasilkan siulan ejekan di lapangan dari orang-orang Brasil yang tak suka atas “pengkhianatannya”.
Di pertandingan terakhir melawan Australia, Costa tak dimainkan dan Spanyol menang 3-0 lewat gol David Villa, Fernando Torres, dan Juan Mata. Padahal, ia sempat jadi rebutan setelah sukses mencetak 36 gol bagi Atletico Madrid musim lalu. Brasil jelas membutuhkan kehadiran Costa di lini depan karena hanya ada Bernard, Fred, Hulk, dan Jo sebagai penyerang murni di sana. Nama-nama itu jelas kalah pamor dibandingkan Romario atau Ronaldo yang dahulu membawa Brasil juara dunia pada 1994 dan 2002.
Masih ada Neymar, tapi dia adalah penyerang sayap yang kerap menggiring bola ke dalam sembari mencari celah untuk melepas tembakan. Ketergantungan pada dirinya justru bisa jadi bumerang bagi Brasil. Saat lawan menahan Neymar dengan kasar, lumbung kreativitas utama tim pun serperti tergembok.
“Brasil tak punya sumber daya tim yang cukup dan malah terus menggantungkan sukses pada sedikit pemain andalan mereka,” kata Cesar Luis Menotti, legenda hidup sepak bola Argentina. “Salah satunya Neymar. Tapi dia tak punya kekuatan atau kemampuan bermain di tengah. Dia hanya punya aset terbaik dengan permainannya di sayap kiri. Saya tak melihat bagaimana dia bisa mengatur tempo permainan, seperti Pele atau Zico. Dia bukan pemain macam itu.”
Untungnya sejauh ini Neymar masih bisa membalas kritik dengan performa ciamik. Empat gol ia cetak dalam tiga pertandingan di fase grup. Walau begitu, bencana mampir kala Neymar dipastikan cedera paha usai laga melawan Chile di babak 16 besar. Kala itu ia bermain penuh hingga akhir masa perpanjangan waktu dan bahkan mencetak gol saat adu penalti. Brasil lolos ke perempat final dan Neymar masuk ruang perawatan, kombinasi yang tak ideal bagi seluruh pendukung tim Samba.
Di sisi lain, Argentina justru mematahkan mitos bahwa Lionel Messi cuma bisa bermain bagus di Barcelona. Kini terjadi sebaliknya. Tanpa Messi, Argentina tak bisa menang di fase grup Piala Dunia. Ia sukses mencetak empat dari total enam gol Argentina di tiga laga. Tanpa golnya, total raihan nilai Argentina mentok di angka tiga. Bisa jadi justru mereka gagal lolos ke babak 16 besar karena hal itu.
“Lionel Messi semakin baik pada setiap pertandingan. Wajahnya tidak terlihat seperti itu, tapi dia datang ke Brasil dengan menghasilkan skor yang meyakinkan,” kata Diego Armando Maradona, legenda Tim Tango, dua pekan lalu.
Namun, barisan pertahanan yang rapuh bisa jadi momok mematikan bagi Argentina. Sebanyak apa pun lini depan Argentina mencetak gol, mereka selalu berpotensi kebobolan dengan jumlah lebih banyak.
Walau begitu, nasib Messi masih lebih baik dibandingkan Cristiano Ronaldo. Brasil 2014 adalah antiklimaks dari penampilan cemerlang Ronaldo bersama Real Madrid musim lalu. Ia mencetak 51 gol di semua ajang dan berhasil mengantar Madrid menjuarai Copa del Rey dan Liga Champions. Dari tiga laga di fase grup, Ronaldo hanya mampu mencetak satu gol dengan tiga kali perubahan model rambut. Hal ini pun jadi lelucon besar di dunia maya melihat perbandingannya dengan Messi dan Neymar yang sukses tampil sangar, bukan necis di lapangan.
Portugal kalah dari Jerman, imbang dengan Amerika Serikat, dan baru menang tipis saat melawan Ghana. Di tiga laga itu tak pernah terlihat senyum Ronaldo. Yang ada hanya wajah kecewa dan kesal berlebihan.
Situasinya memang serba salah. Jika Ronaldo banyak bermain di tengah, tak ada striker mumpuni yang mampu menyelesaikan peluang sebaik dirinya. Tengoklah stok striker Portugal seperti Hugo Almeida, Helder Postiga, dan Eder. Jumlah gol ketiganya bagi klub masing-masing pada musim lalu hanya 22 gol, tak sampai setengah dari rekening gol Ronaldo sendirian bagi Real Madrid.
Namun, bila Ronaldo maju ke depan, para gelandang juga tak mampu memberikan servis terbaik baginya sebagai penyerang utama. Di Real Madrid ada Xabi Alonso, Luka Modric, atau Angel Di Maria. Di tim nasional Portugal ada Joao Moutinho, Miguel Veloso, dan Nani yang sepanjang karier selama ini terus berusaha membuktikan bahwa mereka bukanlah pemain overrated. Alhasil, setelah kemenangan 2-1 atas Ghana yang sekaligus menasbihkan kegagalan Portugal lolos ke babak 16 besar, Ronaldo memuntahkan rasa frustrasinya pada media.
“Portugal memang tak pernah jadi favorit. Anda hanya perlu melihat fase kualifikasi untuk mengetahuinya,” katanya kepada Reuters. “Ini sudah sulit sejak awal. Kami harus rendah hati dan mengetahui kemampuan kami. Saat ini ada tim-tim nasional lain yang lebih baik daripada kami.”
Pernyataan ini memancing kecaman dari mantan pelatih Benfica dan Sporting Lisbon, Manuel Jose. “Portugal membawa pemain terbaik dunia seperti sebuah cincin berlian yang tak pernah kami miliki sebelumnya. Para pemain lain sudah diperlakukan seperti bawahan. Benar-benar seperti itu,” kata Jose.
Di Grup E, Prancis justru menemukan kembali kekompakan yang hilang setelah kepergian generasi emas Zinedine Zidane, Patrick Vieira, dan Thierry Henry. Mereka kini melangkah gagah dengan kehadiran pilar-pilar muda di tiap lini. Ada Raphael Varane di belakang, Paul Pogba di tengah, dan Karim Benzema di depan.
Absennya Franck Ribery dari Piala Dunia karena cedera punggung justru membawa berkah tersendiri. Tim jadi bermain lebih padu dan tidak melulu bertumpu pada Ribery seorang untuk membangun serangan dari sayap.
Dengan raihan akhir tujuh poin, Prancis lolos sebagai juara Grup E. Mereka pun berhasil melewati hadangan Nigeria di babak 16 besar. Sejauh ini Benzema telah mencetak tiga gol dan sedang menikmati waktu terbaik bersama tim. “Kami bermain sebagai tim, penuh kebersamaan dan tanpa rasa emosi,” kata Benzema usai kemenangan 5-2 atas Swiss. “Sangat senang rasanya memiliki tim seperti ini.”
Selain Prancis, Jerman dan Belanda juga sejauh ini tampil stabil. Mereka juara grup masing-masing dengan produktivitas gol tinggi. Di tim Belanda, ada Robin van Persie dan Arjen Robben yang sama-sama telah mencetak tiga gol. Di tim Jerman ada Thomas Mueller yang telah mengoleksi empat gol di fase grup saja.
Para peramu taktik di belakang permainan kedua tim tersebut memang gemar bereksperimen. Sesungguhnya Jerman hanya membawa satu penyerang murni, yakni Miroslav Klose. Sisanya adalah penyerang sayap seperti Lukas Podolski dan Andre Schuerrle. Juga gelandang serang semacam Mueller dan Mario Goetze yang kerap beralih peran menjadi striker bayangan dalam skema false nine Joachim Loew.
Louis van Gaal juga kerap mengutak-atik posisi pemain demi kebutuhan tim. Contoh paling mudah adalah kala Belanda menang 2-1 atas Meksiko di babak 16 besar. Kala itu striker gaek Dirk Kuyt sampai tiga kali berganti posisi di lapangan. Pertama menjadi bek kiri di awal laga. Setelah Giovani dos Santos mencetak gol di menit ke-48, Kuyt dimainkan sebagai bek kanan. Terakhir, setelah van Persie digantikan Klaas Jan Huntelaar, Kuyt baru maju ke depan sebagai penyerang sayap kanan.
“Dia (van Gaal) mungkin yang terbaik dalam memberikan taktik di dunia. Tak peduli dengan sistem apa yang kami mainkan, para pemain tahu secara pasti apa yang harus dilakukan,” kata Kuyt.
Kini Jerman dan Belanda tinggal membuktikan diri bisa tampil trengginas di laga besar hingga akhir kompetisi. Belanda tentu tak ingin sekadar jadi runner-up seperti di Piala Dunia 2010. Jerman pun pasti tak mau hanya mengulang raihan peringkat ketiga di Piala Dunia 2006 dan runner-up di Piala Eropa 2008. Klose pun sedang bernafsu mencetak gol untuk melampaui rekor 15 gol Ronaldo sepanjang sejarah ajang Piala Dunia.
Yang pasti, selama ini belum ada tim Eropa yang berhasil menjadi juara saat Piala Dunia berlangsung di wilayah Amerika Latin. Namun bila itu terjadi, Brasil yang harus gigit jari karena tak pernah bisa menjadi juara di rumah sendiri.
Piala Dunia 2014 memang penuh ironi.
***