Polemik Gunung Padang

Teras 1 situs Gunung Padang.
Teras 1 situs Gunung Padang. Viriya Singgih.

Menyambangi Gunung Padang bagai mengunjungi kediaman keluarga Flintstone setelah terjadi bencana besar. Bebatuan berserakan di mana-mana; tak meninggalkan jejak huni, tapi konstruksinya tersusun rapi. Karena itu ia menyandang predikat sebagai situs megalitik. Sesuai asal katanya, ‘mega’ berarti besar, sementara ‘lithos’ adalah batu.

Situs Gunung Padang terletak di Desa Karyamukti, Campaka, Cianjur, Jawa Barat. Pada 1998, pemerintah mencatat luas wilayahnya mencapai 3.094, 59 meter persegi dengan puncak tertinggi terletak 1.100 meter di atas permukaan laut. Kita dapat memasuki situs ini melalui tangga dari sebelah utara yang berjumlah total 378 anak tangga. Pilihan lainnya adalah menaiki tangga melingkar yang lebih landai melewati lereng barat dengan jumlah total 750 anak tangga.

Setelahnya, baru kita bisa menjelajahi seluruh wilayah utama situs Gunung Padang dari teras 1 hingga 5. Teras 1 berukuran paling besar; kira-kira dua kali luas lapangan futsal. Sementara itu teras 5 adalah yang tertinggi dengan luas hanya setengahnya. Struktur bangunan ini disebut sebagai punden berundak.

Gunung Padang sontak jadi topik hangat media massa setelah dilakukan penelitian oleh Tim Katastropik Purba pada Desember 2011 hingga Maret 2012. Tim itu dibentuk oleh Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief. Tujuannya, meneliti tempat terjadinya bencana besar di masa lalu serta mengantisipasi terulangnya hal yang sama di masa depan.

Dalam prosesnya, kala itu tim melakukan pengeboran di dua titik, yang pertama di wilayah teras 3 dan satunya di teras 5. Di titik bor pertama, hingga kedalaman kurang lebih tiga meter berhasil ditemukan pasir halus setebal kurang lebih satu meter. Berbeda dengan pasir endapan gunung api, temuan itu lebih mirip pasir endapan sungai yang telah diayak.

Sementara itu di titik bor kedua, dari permukaan atas hingga kedalaman tujuh meter hanya ditemukan tanah yang sifatnya homogen. Sehingga, diduga lapisan tanah setebal tujuh meter itu merupakan hasil timbunan manusia.

Salah satu titik penggalian di teras 5 Gunung Padang.
Salah satu titik penggalian di teras 5 Gunung Padang. Viriya Singgih.

Namun, kejutan utama tiba kala tim peneliti melakukan analisis penanggalan terhadap serpihan-serpihan karbon dari dua titik bor itu. Ini dilakukan dengan menggunakan alat Liquid Scintillation Counting di Badan Tenaga Nuklir Nasional. Hasilnya, pada titik bor pertama, tanah dari kedalaman 3,5 meter ternyata berusia 4.700 sebelum Masehi. Lalu, tanah dari titik bor kedua pada kedalaman 8-10 meter telah berusia 11.600 sebelum Masehi.

Bahkan, selanjutnya pengujian juga dilakukan di laboratorium Beta Analytic Miami, Amerika Serikat. Tanah dari kedalaman 5-12 meter di titik bor kedua, diperkirakan memiliki usia di kisaran 14.500-25.000 sebelum Masehi.

Publik Tanah Air sontak geger. Bila benar seluruh bangunan megalitik itu adalah hasil konstruksi manusia, bisa dikatakan peradaban telah ada sejak lebih dari 10 ribu sebelum Masehi di Indonesia.

Dalam bahasa Sunda, kata ‘padang’ bisa berarti siang, terang atau cahaya. Karena itulah masyarakat setempat percaya bahwa makna nama Gunung Padang adalah ibu dari segala peradaban. Benarkah?

***

Pada 1849, arkeolog dan geolog asal Inggris, William Kennett Loftus, terkejut luar biasa dengan hasil temuannya. Kala itu, ia dan tim peneliti berhasil mengakses kembali reruntuhan situs Uruk, sebuah wilayah dari peradaban Mesopotamia yang diperkirakan ada sejak masa 4.000 sebelum Masehi.

Uruk adalah sebutan dari bangsa Akkadia, sementara orang-orang Sumeria menyebutnya sebagai Unug. Di sisi lain, dalam bahasa Arab ia dipanggil Warka.

“Dari semua situs terpencil yang pernah saya temui, Warka melewati semuanya tanpa bandingan,” kata Loftus menggambarkan kegirangannya kala itu.

Pantas saja. Peradaban Mesopotamia yang ia temukan jauh lebih tua usianya dibanding Piramida Giza di Mesir sekalipun. Para peneliti memperkirakan piramida ini selesai dibangun pada masa 2.560 sebelum Masehi.

Reruntuhan Uruk di Irak.
Reruntuhan Uruk di Irak. Annemarie Schwarzenbach/Swiss National Library.

Loftus berhasil menorehkan sejarah dan meninggal dengan tenang pada 27 November 1858. Namun, entah apa reaksinya bila ia melihat langsung hasil penemuan di situs Gunung Padang. Bahkan Andi Arief sengaja membentuk Tim Terpadu Riset Mandiri pada awal 2012 untuk menindaklanjuti hasil penemuan tim sebelumnya di situs itu.

Pada Mei 2012, tim terpadu mulai turun ke lapangan menjalankan risetnya dan melakukan penggalian (ekskavasi). Mereka terdiri dari ilmuwan dan peneliti lintas disiplin ilmu, dari fisikawan, arkeolog, geolog, filolog hingga ahli petrologi.

Berbagai penemuan penting telah dihasilkan setelahnya. Pada Maret 2013, proses penggalian di lereng timur berhasil menghasilkan temuan berupa bongkahan logam yang dalam bahasa arkeologi disebut terak besi. Itu belum termasuk artefak temuan lainnya seperti keramik serta pecahan gerabah atau tembikar.

Namun, yang mencengangkan adalah penemuan struktur terasering di keempat sisi situs Gunung Padang untuk mencegah gempa. Selain itu, perut situs ini diyakini terdiri dari empat lapisan budaya. Lapisan pertama dimulai dari permukaan tanah hingga kedalaman dua meter. Batuan di sana berusia kurang lebih 500 sebelum Masehi. Sementara lapisan kedua ada pada kedalaman dua hingga lima meter, berasal dari masa 4.700 sebelum Masehi.

Lalu lapisan ketiga dan keempat belum diketahui secara pasti batasan kedalamannya. “Yang paling tua ada di lapisan budaya empat, paling dasar, berusia 10 ribu tahun,” kata Ali Akbar, yang juga berperan sebagai Ketua Bidang Arkeologi di tim terpadu.

“Dapat disimpulkan situs Gunung Padang merupakan multicomponent site, yaitu pernah dibuat manusia, kemudian karena suatu sebab ditinggalkan, pada masa berikutnya didatangi dan dibuat lagi bangunan menumpuk di atas bangunan sebelumnya, demikian seterusnya.”

Susunan batu Gunung Padang.
Susunan batu Gunung Padang. Viriya Singgih.

Pada Agustus 2014, Ali juga sempat membuat pernyataan mengejutkan lainnya. Perhitungan luas wilayah situs Gunung Padang yang pada 1998 ditetapkan oleh pemerintah, tepatnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hanya seluas 0,3 hektare, kini dianggap tak lagi tepat.

Menurutnya, setelah dilakukan penggalian dan penelitian mendalam di lapangan, luas wilayah situs ini sesungguhnya bisa mencapai 29 hektare. Bandingkan dengan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, yang ‘hanya’ seluas 1,5 hektare.

Ini juga didasari oleh penemuan Danny Hilman Natawidjaja, geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang juga tergabung dalam tim terpadu. Berdasarkan analisis georadar, geolistrik, pengeboran dan tomografi, ditemukan sebuah ruangan di bagian dalam situs Gunung Padang. Tomografi adalah pemindaian dengan menggunakan bantuan gelombang suara.

“Prinsipnya, tomografi menganalisis berdasarkan kecepatan rambat suara. Kalau di zona yang padat, suara akan bergerak cepat. Sementara kalau di daerah yang kosong atau tidak padat, suara bergerak lebih lambat,” kata Danny pada Oktober 2013.

Berdasarkan analisis tomografi, tim menemukan adanya zona dengan kecepatan rambat suara sangat lambat. Lebih lanjut, pada proses pengeboran di kedalaman 10 meter juga ditemui fenomena water loss. Maksudnya, air langsung mengalir dan meresap ke dalam saat tanah dibor. Volume air yang hilang mencapai 32 ribu liter. Karena itu, ia memperkirakan air mengalir ke ruangan bervolume 32 meter kubik.

Konstruksi batu buatan manusia pada lapisan budaya 2 di lereng timur Gunung Padang.
Konstruksi batu buatan manusia pada lapisan budaya 2 di lereng timur Gunung Padang. Viriya Singgih.

Jadi menurut hasil temuan tim terpadu, situs Gunung Padang adalah bangunan dengan 20 kali luas Candi Borobudur, dibangun di empat masa budaya berbeda, serta memiliki sejarah peradaban lebih tua daripada Mesopotamia. Yang terpenting dari semua itu, mereka tidak bercanda.

***

Sabtu, 27 September 2014. Baru pukul 9 pagi, tapi parkiran mobil telah penuh terisi. Ratusan remaja berseragam pramuka berjalan beriringan menaiki undakan. Terbagi dalam beberapa kelompok, mereka bergantian masuk ke wilayah situs Gunung Padang bersama juru pelihara sekaligus pemandu.

“Di akhir pekan, rata-rata pengunjung yang datang bisa sampai 1.500 orang,” kata Nanang, salah seorang juru pelihara situs.

Popularitas situs ini memang melonjak pesat dalam waktu tiga tahun terakhir. Pada pertengahan 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahkan membentuk tim nasional riset Gunung Padang sebagai tindak lanjut serius. Ahli dari berbagai bidang berkumpul bersama, dan otomatis anggota Tim Terpadu Riset Mandiri juga melebur ke sana.

Walau begitu, membludaknya jumlah pengunjung seakan jadi pisau bermata dua. Ini bisa membangkitkan sektor pariwisata sekaligus menaikkan hajat hidup masyarakat setempat. Namun di sisi lain, berbagai kerusakan dan pencemaran juga terjadi di situs Gunung Padang.

Ramainya pengunjung Gunung Padang saat akhir pekan.
Ramainya pengunjung Gunung Padang saat akhir pekan. Viriya Singgih.

Arkeolog Moendardjito yang termasuk dalam tim peneliti sempat berujar pada Januari 2013 bahwa rata-rata pengunjung yang datang per bulannya bisa mencapai 16 ribu orang. Para pengunjung kerap menginjak bangunan situs, dan bahkan memperlakukannya bagai keset pembersih kaki dari tanah.

“Batuan ditumpuk tanpa perekat yang dengan mudah bisa terlepas,” kata Moendardjito.

Selain itu, ada pula pengunjung iseng yang mencoret bebatuan di sana dengan cat semprot atau spidol. Bahkan, beberapa mencoba memecahkan batu yang ada sehingga bisa membawa pulang serpihannya.

Peneliti dari Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri, sempat mengungkapkan kecemasannya. “Kalau situs rusak, pengunjung berkurang, masyarakat juga yang rugi. Selain itu, dunia keilmuan juga kehilangan sumber ilmu pengetahuan yang sangat berharga,” kata Lutfi.

Padahal, tim nasional sedang melakukan riset lapangan intensif dalam beberapa waktu terakhir, dari pertengahan Agustus hingga akhir September 2014. Alhasil, kompleks situs Gunung Padang pun semakin sesak.

Dalam penelitian teraktualnya itu, berhasil ditemukan kembali beberapa artefak penting. Salah satunya adalah batu mirip senjata khas Jawa Barat, Kujang, yang memiliki tiga sisi.

“Benda ini telah diamati dan diperkirakan asli buatan manusia zaman dulu, di mana batunya dipangkas di semua permukaan dan digerinding atau digosok, sehingga menjadi halus termasuk permukaannya,” kata Ali Akbar.

Lalu, ditemukan pula koin dari hasil pengeboran di kedalaman 11 meter di wilayah teras 5. Usia lapisan tanah di kedalaman empat meter pada titik itu adalah 5.200 sebelum Masehi. Maka, diperkirakan koin itu berusia lebih tua. Ali Akbar memperkirakan, koin itu bukan uang, melainkan berfungsi sebagai jimat.

Situs megalitik memang biasanya digunakan nenek moyang untuk berbagai keperluan transendental, entah sebagai kuil ataupun sarana pemujaan. Sejauh ini, belum juga ditemukan jejak budaya yang menunjukkan situs Gunung Padang sebagai wilayah pemukiman atau pemakaman.

Situs megalitik Gunung Padang.
Situs megalitik Gunung Padang. Viriya Singgih.

Namun, Lutfi tak serta merta percaya begitu saja. Koin baru diciptakan di era 1.000-1.200 tahun lalu. Di sisi lain, menurutnya koin itu justru mirip dengan koin Netherland Indie yang terbit pada 1945. Untuk menjawab keraguan yang ada, tim nasional bermaksud mengirimkan koin temuannya ke laboratorium Beta Analytic Miami agar bisa melalui uji penanggalan karbon.

Selama ini, penelitian yang dilakukan oleh Ali Akbar dan kawan-kawan memang lekat dengan kontroversi. Misalnya, penemuan ruang bawah tanah di lapisan budaya empat. Awang Harun Satyana, geolog dari ESDM, berujar bahwa tim peneliti terlalu cepat mengambil kesimpulan.

“Mungkin memang ada ruang, tapi apakah lalu berarti buatan manusia?” tanya Awang. Menurutnya, mungkin saja ruang itu adalah goa yang memang lazim dijumpai di wilayah vulkanik seperti Gunung Padang.

Hal senada juga diucapkan arkeolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Daud Aris Tanudirjo. “Kalau struktur geologinya berupa batuan memang benar, tapi anggapan bahwa di dalamnya ada struktur bangunan saya rasa sulit diterima karena sangat susah menyusun batuan itu dari bawah,” katanya.

Menanggapi segala kritikan yang ada, Danny Hilman Natawidjaja justru lebih percaya dengan hasil temuannya sendiri di lapangan.

Danny Hilman Natawidjaja di Gunung Padang.
Danny Hilman Natawidjaja di Gunung Padang. Viriya Singgih.

“Kita sudah tiga tahun penelitian di sini. Intensif sekali. Data juga banyak sekali. Orang yang bilang kita terlalu cepat mengambil kesimpulan, justru merekalah yang seperti itu. Lihat dari foto saja mereka sudah bisa bilang seperti itu. Mereka pernah survei langsung ke bawah permukaan tidak?” ujar Danny.

Penemuan kerap membawa kita pada keraguan. Namun, kebenaran hanyalah kesepakatan temporer di suatu era masyarakat tertentu. Bila bisa dibuktikan secara objektif, hasil penelitian situs Gunung Padang tentu akan merombak kronologi sejarah bangsa Indonesia, dan bahkan dunia.

Dalam buku Situs Gunung Padang: Misteri dan Arkeologi karya Ali Akbar terbitan Desember 2013, tertulis pula soal hal ini. Disebutkan bahwa Ali sempat berinteraksi dengan Andi Arief sebelum memulai proses penelitian bersama tim terpadu. Kala itu Andi berujar, “Jika penelitian masa lalu hanya mengisi dan melengkapi hasil penelitian sebelumnya, untuk apa ada arkeologi?”

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 6 Oktober 2014.

Bagikan

1 thought on “Polemik Gunung Padang”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top