Hubungan saya dan kakak saya, Prajna, selama ini berlangsung alot. Kami berjarak lima tahun. Sedari kecil, kami tidak akur. Apa saja bisa memancing pertengkaran, dari hal kecil sampai besar.
Misalnya saat SMP, saya pernah ditipu orang di jalan sehingga kehilangan ponsel pribadi. Sesampainya di rumah, saya justru dimaki habis-habisan oleh Ko Prajna. Saya ingat betul, saya cuma bisa menangis menahan kesal saat itu.
Hal sama terjadi kala saya mengalami kecelakaan mobil akibat mengantuk di jalan tol Jakarta-Tangerang pada tahun pertama kuliah di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Di rumah, lagi-lagi saya mesti berhadapan dengan amukan Ko Prajna. Kami bertengkar hebat di depan kedua orangtua kala itu. Ini adalah salah satu kejadian yang memicu saya untuk kukuh ngekos di Tangerang beberapa bulan berselang. Saya merasa lebih nyaman tinggal di luar rumah.
Di rumah, saya memang cenderung pendiam. Masalah pribadi lebih sering saya diskusikan bersama kawan dekat dan pacar. Entah kenapa, saya justru lebih lepas saat berada di luar lingkaran keluarga.
Namun di luar itu semua, Ko Prajna banyak membentuk selera pergaulan saya. Saya mulai mendengarkan Linkin Park karena dulu ia selalu menyetelnya kencang-kencang di kamarnya yang bersebelahan dengan kamar saya. Saya juga ikut jatuh cinta pada Manchester United karena kerap melihat Ko Prajna asyik menonton berbagai VCD atau siaran langsung pertandingan “Setan Merah” di rumah.
Maka wajar, salah satu kenangan menyenangkan bersama Ko Prajna yang begitu membekas bagi saya adalah kala kami begadang menonton final Liga Champions 2008 antara Manchester United dan Chelsea. Pukul 4 dini hari, kami berteriak dan berjingkrak bagai kerasukan setelah melihat John Terry terpeleset dan tendangan penalti Nicolas Anelka berhasil ditepis oleh Edwin van der Sar. Saya yakin, kenangan tersebut adalah core memory yang setara dengan gol pertama Riley kala bermain hoki dengan kedua orangtuanya di film Inside Out.
Setelahnya, kami seakan asyik dengan hidup masing-masing. Sejak kuliah tahun kedua, saya semakin jarang pulang ke rumah dan larut dalam berbagai kegiatan, entah teater ataupun majalah kampus. Sementara Ko Prajna pun terus membangun karier sebagai pekerja kerah putih dan sempat beberapa kali pindah kantor. Kondisi itu terus berlanjut sampai saat ini.
Hingga kemudian Ko Prajna memutuskan untuk melepas masa lajangnya di usia ke-29. Ia resmi menikah dengan Lusi, pacarnya selama lebih dari enam tahun terakhir, pada 7 November 2015. Sedari awal, saya tidak banyak terlibat dalam proses persiapan acara, entah berbagai ritual adat atau resepsi. Saya hanya tahu bahwa saya akan berperan sebagai best man di hari H.
Ternyata, acara berlangsung panjang dan melelahkan. Sejak tanggal 7 dini hari, orang-orang rumah telah sibuk menjalankan upacara cio tau. Secara harfiah, dua kata itu berarti “sisir” dan “kepala”. Saat cio tau, mempelai wanita akan disisir rambutnya tiga kali oleh adik bungsunya. Ritual ini bermakna, segala urusan mesti diluruskan dari paling atas sampai yang terbawah. Dahulu, cio tau dilakukan sebagai penanda akil balig bagi orang Cina. Namun karena masalah kepraktisan, banyak yang melakukannya sekalian pada saat jelang pernikahan. Kebiasaan itu terus terbawa hingga kini.
Upacara cio tau usai pada pukul 4 pagi. Kemudian, Ko Prajna dan Lusi segera berangkat ke salon, bersiap untuk acara penjemputan mempelai wanita yang akan berlangsung pada pukul 8 di The Bellezza Suites. Pada pukul 10, dua mempelai dan seluruh keluarga sudah mesti tiba di Bio Hok Tek Tjeng Sin, Kebayoran Lama, untuk menjalani pemberkatan. Lalu, masih ada foto keluarga di Tarzan Photo, Roxy Mas, sebelum semua berangkat menuju tempat resepsi: Gedung Arsip Nasional.
Kami semua baru tiba di rumah kembali kira-kira hampir tengah malam. Itu berarti, segala urusan pernikahan ini telah memakan waktu seharian penuh alias 24 jam. Saya bergidik membayangkan keribetan yang sama bisa jadi akan menimpa saya pula suatu saat nanti.
Namun, saya bangga pada Ko Prajna. Melihatnya mampu menjalani hari yang padat ini dengan senyum terus mengembang tanpa sekalipun terpancing emosinya adalah sebuah kemewahan tiada tara.
Dan mendadak, kini saya merasa sepi melihat kamarnya yang kosong di rumah.

Biar bagaimanapun, pertengkaran demi pertengkaran kami dahulu nyatanya adalah sebuah proses pendewasaan. Saya dan Ko Prajna mungkin tak akan pernah bisa jadi dua saudara akur yang rajin menghabiskan waktu bersama. Namun kami selalu mendukung satu sama lain dalam diam.
Buat saya, itu sudah lebih dari cukup.
Terharu saya baca ini.