“Saya sudah capek bernapas.”
Kalimat itu terlontar dari mulut Raden Ahmad Kosasih kepada anaknya, Yudowati Ambiyana, tepat sehari sebelum ia dijemput ajal akibat serangan jantung pada Selasa dini hari (24/7/12). Kosasih wafat di usia 93 tahun.
Yudowati berujar, itulah kali pertama ia mendengar sang ayah mengeluh dan terkesan menyerah sepanjang hidupnya selama ini.
Komplikasi penyakit jantung dan infeksi empedu memang membuat kondisi kesehatan almarhum jatuh drastis dalam seminggu terakhir sebelum kepergiannya. Tabung oksigen dan infus telah menjadi karibnya dalam kurun waktu tersebut. Usia memang tidak bisa membohongi kondisi fisik Kosasih yang kian melemah dari waktu ke waktu. Namun secara mental dan pikiran, tiada yang melihat semangatnya pernah padam.
Karier Kosasih di dunia komik Indonesia dimulai 59 tahun lalu saat penerbit Melodie tertarik untuk merekrut dan menggunakan jasanya sebagai seorang komikus.
“Tahun 1953, penerbit Melodie sedang mencari komikus untuk menjadi karyawannya. Salah satu yang mendaftar saat itu adalah R.A. Kosasih, dan dia pun sukses diterima. Akhirnya terbitlah buku komik pertamanya pada 1 Januari 1954 tentang jagoan wanita bernama Sri Asih,” tutur Andi Wijaya dari penerbit Pluz+ yang dua tahun silam telah mencetak ulang komik Ramayana karya Kosasih.
“Keluarnya komik Sri Asih mendapat respon positif dari masyarakat. Hanya saja, kesan superhero saat itu dianggap banyak terpengaruh oleh budaya barat. Untuk menjawab cemoohan dan sindiran orang-orang tentang hal itu, penerbit Melodie dan Pak Kosasih berinisiatif untuk membuat komik baru yang mengadopsi dan mengadaptasi kisah wayang,” ujar Surjorimba Suroto founder situs KomikIndonesia.com.
Wayang memang bukan hal asing bagi Kosasih. Sejak muda, ia senang menonton wayang kulit dan wayang golek, serta banyak membaca buku tentangnya. Karena itu, tak heran bila ia dapat menggambar komik wayang dengan begitu fasih serta detail cerita dan latar yang mengagumkan.
“Pak Kosasih, dengan segala keterbatasan yang ada di zaman dahulu, selalu sungguh-sungguh dalam membuat komik. Ia selalu melakukan riset terlebih dahulu. Versi-versi kisah wayangnya pun merupakan adaptasi yang tidak sembarangan. Imajinasinya saat itu sungguh bebas, tapi tidak pernah kehilangan lokalitas,” kata pengamat dan peneliti komik, Hikmat Darmawan.
Komik-komik karya almarhum memang selalu menjaga cita rasa lokal. Menurut Hikmat, salah satunya dapat terlihat pada dialog kebudayaan yang selalu terjadi dalam kisah-kisah komik Kosasih.
“R.A. Kosasih sesungguhnya adalah orang yang menggunakan medium modern untuk memunculkan warisan nilai-nilai tradisional yang kita miliki selama ini. Hal itu dapat dilihat dari dialog-dialog kebudayaan yang terjadi di komiknya,” kata Hikmat.
Selain itu, Kosasih juga mampu beradaptasi dengan permintaan pasar dan perkembangan zaman. Di samping kisah perwayangan, almarhum juga pernah menggambar komik roman, silat, fabel, dan lainnya.
“Salah satu alasan kenapa banyak orang menyebut Pak Kosasih sebagai Bapak Komik Indonesia adalah karena kemampuannya mengikuti zaman, dan di setiap genre yang ia masuki, bisa dibilang karya-karyanya bagus,” kata Andi, yang juga merupakan kolektor komik dan founder KomikIndonesia.com.
Komikus angkatan tua lainnya, Ahmad Rahmad Sutalaksana, bahkan menganggap Kosasih sebagai seorang peletak dasar. “Beliau adalah peletak dasar komik modern di Indonesia. Sejak kehadirannya dan komik wayangnya di Indonesia, akhirnya banyak pula bermunculan komikus-komikus lain yang terinspirasi untuk mengikuti jejaknya,” ujar Ahmad, 65 tahun, yang terkenal dengan komik seri Terdampar di Tiongkok Kuno.
Walau bisa dikatakan telat memasuki dunia komik pada usianya yang ke-33, Kosasih dikenal luas sebagai komikus yang produktif. “Kalau mendengar cerita dari beliau, dahulu dia bisa menggambar hingga tiga halaman dalam satu hari. Sesuatu yang hingga hari ini pun komikus muda kita belum tentu bisa menyainginya. Mungkin hal itu didasari oleh kecintaannya akan menggambar yang begitu besar,” ucap Surjorimba.

“Kosasih memang punya hasrat besar untuk ngomik yang tak pernah dia pudarkan. Dia terus bikin komik hingga secara fisik sudah tidak mampu lagi melakukannya, yaitu saat tangannya sudah gemetar dan metabolismenya sudah kacau. Totalitas seperti itu yang patut dicontoh komikus mana pun di dunia,” ujar Hikmat lagi.
Dari sekian banyak karyanya, Kosasih gemar untuk menggunakan karakter wanita sebagai seorang jagoan atau tokoh utamanya. “Ada Sri Asih, Siti Gahara, Tjempaka, Rara Inten dan lainnya yang semua merupakan wanita. Di situ, dapat kita lihat juga bahwa dia ikut mendukung emansipasi wanita di Indonesia,” ucap Andi.
Imajinasi liar Kosasih dalam menggambar komik memang berhasil membuatnya dikenal luas oleh masyarakat. Walau begitu, sesungguhnya Kosasih adalah sosok yang pemalu dan tertutup. “Pak Kosasih adalah sosok yang pemalu. Makanya dia tidak pernah menempatkan diri sebagai sosok selebritis,” kata Hikmat.
Selain itu, Hikmat menambahkan, “Dia adalah orang yang sangat santun dan rendah hati. Dia tidak pernah menyombongkan kejayaannya di masa lalu, karena dia baru akan bercerita bila ditanya. Selain itu ingatannya akan sesuatu termasuk detail. Sebetulnya hingga umur 90-an, bisa dibilang ia belum pikun karena ingatannya begitu tajam.”
Memang, banyak nilai moral yang bisa diambil para komikus muda saat ini dari sosok Kosasih yang tetap rendah hati di balik segala kebesaran nama dan karyanya. Menurut Surjorimba, salah satu hal penting yang bisa dicontoh generasi muda saat ini adalah kecintaan dan dedikasi Kosasih untuk terus berkarya. Ia juga tulus dalam menyampaikan pesan kepada para penikmat komiknya.
Dedikasi Kosasih yang luar biasa berhasil membuat karyanya abadi dan tak lekang ditelan waktu. Hal itu bisa dilihat dari judul-judul komik almarhum yang terus dicetak ulang hingga saat ini.
“Dari dulu sampai sekarang, mungkin karya Pak Kosasih telah dicetak ulang dengan oplah 50.000-100.000 buku. Mahabharata ada di posisi pertama sebagai karyanya yang paling sering dicetak ulang, sementara itu Ramayana ada di posisi kedua,” ujar Andi.

Lalu, riset mendalam dan ketulusan dalam menyampaikan cerita membuat banyak adegan dari komik Kosasih tetap abadi dan membekas di hati pembaca. Surjorimba sendiri paling terkesan dengan adegan saat Resi Bisma jatuh terkena banyak panah di perang Baratayuda. Hal itu juga dipengaruhi kesukaannya akan tokoh Bisma yang menurutnya pantas dijadukan panutan karena prinsip yang dipegangnya dengan teguh.
Ironi muncul ketika kita mengetahui bahwa almarhum sendiri tidak lagi memiliki komik-komik hasil karyanya selama ini. “Komik-komik Bapak sudah enggak tau ke mana. Mungkin hilang saat pindah rumah dan juga banyak yang dipinjam orang-orang terus hilang begitu saja. Foto-foto pas Bapak muda juga sedang dipinjam untuk pembuatan otobiografi,” kata Yudowati.
Namun, seluruh pembaca dan penggemar komik Kosasih tentunya tak akan pernah melupakan sosok sederhana nan rendah hati almarhum yang telah menjadi identitasnya. Sosok yang telah menelurkan banyak cerita dan menginspirasi ribuan jiwa.
***