Pada akhir 2014, saya membulatkan tekad. Saya ingin keluar dari zona nyaman dan belajar kembali dari nol. Saya ingin lebih banyak membaca, menonton film, dan melakukan perjalanan. Tentu, sembari terus menekuni bidang penulisan dan teater. Untuk itu, pada 2015 saya mesti jadi pengangguran.
Ada beberapa hal jadi pertimbangan. Pertama, saya merasa stagnan di kantor GeoTimes. Kedua, saya ingin menjajal diri bekerja di kantor media bernama besar. Pilihan pertama jatuh pada The Jakarta Post. Mereka biasa membuka lowongan pada pertengahan tahun. Sementara itu, kontrak saya dengan GeoTimes berakhir pada Februari 2015. Maka, jeda beberapa bulan di antaranya wajib saya maksimalkan untuk pemenuhan diri.
Konsekuensinya, saya bakal kehilangan pemasukan tetap tiap bulannya. Saya bisa mencari uang dengan bekerja sebagai penulis lepas atau pelatih teater. Namun, jadi penulis lepas butuh koneksi luas. Membangun koneksi pun tidak instan. Ia butuh waktu dan kesabaran. Sementara itu, biasanya ongkos melatih teater di kampus-kampus turun setelah pentas usai. Padahal proses produksinya sendiri bisa makan waktu berbulan-bulan. Jadi pelatih ekskul di sekolahan lebih menjanjikan pemasukan rutin, tapi pada banyak kasus, nominalnya tak seberapa.
Maka, ada kemungkinan saya harus menggantungkan hidup kembali pada orang tua. Percayalah, saat Anda telah berhasil hidup mandiri dan kemudian pulang kembali meminta uang orang tua, rasanya perih sekali.
Tapi, kapan lagi?
Saya kira, sekarang adalah waktu paling tepat untuk bertindak egois. Ketika saya belum lama lulus kuliah, masih lajang dan tak punya banyak tanggungan. Saya membayangkan, bila telah berkeluarga dan terikat setumpuk cicilan nantinya, saya tak mungkin bertingkah nekat seperti ini lagi.
Tentu tak semua orang bisa seenaknya seperti saya. Banyak kawan yang langsung terjun jadi kuli korporat untuk membantu ekonomi keluarga pasca-kuliah. Kadang saya malu membandingkan diri saya dengan mereka.
Untuk itu, saya meminta maaf sebesar-besarnya pada orang tua dan meminta izin untuk menyusahkan mereka kembali. Karena di akhir 2014, saya merasa sangat buntu. Dan ketika jalan kita terhambat, terkadang kita butuh mundur selangkah untuk bisa maju dua langkah.

Penulisan
Lantas, saya mengundurkan diri dari GeoTimes pada Februari 2015. Tak lama, saya mendaftar ikut kelas kritik film Mari Menulis! yang diampu para dedengkot Cinema Poetica seperti Adrian Jonathan Pasaribu, Makbul Mubarak dan Windu Jusuf, Ia berlangsung pada 27-29 Maret di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Di sana saya belajar banyak mendedah sebuah film, dari konten, konsep hingga konteksnya. Saya dilatih untuk bersikap, dan tak terjebak cara media-media arus utama yang kerap hanya menulis ulang ringkasan cerita sebuah film. Model ini akhirnya saya terapkan pula untuk mengulas pertunjukan teater pada tulisan-tulisan saya yang terbit di teaterkatak.org.
Hasilnya, dua tulisan saya sempat masuk ke situs Cinema Poetica. Pertama, ulasan film pendek karya Lucky Kuswandi berjudul The Fox Exploits the Tiger’s Might yang sukses masuk Festival Film Cannes 2015. Kedua, tulisan soal sejarah panjang Kineforum dan perjuangannya sebagai ruang putar alternatif di Jakarta.
Perkenalan dengan Windu juga membuka kesempatan saya untuk mengirim tulisan ke IndoProgress. Di sana, ia mengurus rubrik Lembar Kebudayaan. Sepanjang 2015, dua tulisan saya sempat terbit di rubrik tersebut. Pertama, soal demokrasi dan sensor di Indonesia. Kedua, retrospeksi peringatan 50 tahun tragedi 1965.
Beberapa kali, saya pun sempat menulis lepas soal sepak bola untuk Kompas.com dan Pandit Football. Saya coba menulis esai-esai panjang yang syukurnya mendapat tanggapan relatif positif dari pembaca. Seperti tulisan soal kemunduran AC Milan beberapa tahun belakangan, kecaman terhadap kebijakan transfer Florentino Perez, dan akhir era Mourinho di Chelsea.
Saya merasa kian tajam dalam penulisan panjang. Tentu ini tak lepas dari pelajaran saat mengikuti kursus narasi Pantau pada 10 September 2014 hingga 4 Februari 2015. Di sana, saya dan kawan-kawan banyak berdiskusi soal teknik penulisan. Ada dua mentor: Mas Andreas Harsono dan Mas Budi Setiyono. Yang paling berharga dari kelas tersebut adalah saya seakan menemukan kembali kesenangan untuk membaca dan menulis, terlepas dari rutinitas yang menjemukan dalam keseharian.

Pada Juli 2015, saya memberanikan diri mengikuti seleksi Hibah Buku Nonfiksi yang diadakan Pindai.org. Tak disangka, saya keluar jadi pemenang. Kumpulan tulisan hasil reportase saya selama tiga tahun terakhir pun diterbitkan sebagai buku pada November dengan judul Menjejal Jakarta: Pusat dan Pinggiran dalam Sehimpun Reportase. Acara peluncuran diadakan di toko buku Post, Pasar Santa, pada 6 Desember. Bedah buku juga berlangsung di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dua hari berselang.
Ada 24 tulisan saya yang masuk di buku itu. Semuanya adalah hasil karya saat saya sedang melakoni trial and error sebagai wartawan. Bisa dikatakan, kala saya sedang mencari bentuk dalam hal peliputan dan penulisan.
Beberapa kritik pun mampir. Kebanyakan mempertanyakan kedalaman beberapa tulisan yang sesungguhnya bisa digali lebih jauh lagi. Editor saya dari Pindai.org, Mas Fahri Salam, mengatakan bahwa ini adalah imbas dari iklim media arus utama saat ini yang lebih mengutamakan kecepatan dibanding kedalaman. Saya pribadi menerima seluruh kritik itu dan berusaha menjadikannya batu loncatan ke depan.

Perkenalan dengan Mas Fahri kemudian membawa saya jadi kontributor Pindai.org. Pada 14 Desember, tulisan saya soal perjalanan panjang seniman Putu Wijaya masuk ke sana. Karena liputan itu pula saya bisa berkenalan dengan Pak Putu dan keluarga besar Teater Mandiri. Saya belajar banyak dari mereka.
Sebagai penulis lepas, saya juga sempat diajak jalan-jalan gratis ke beberapa daerah. Pada 2-5 Oktober, saya mengikuti acara Jelajah Negeri Tembakau III di Lombok. Djarum jadi sponsor acara ini. Mereka mengajak 15 blogger dari berbagai kota, termasuk Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya untuk menengok kebun tembakau jenis Virginia FC di Desa Wajageseng, Lombok Tengah. Masing-masing diminta untuk menuliskan pengalamannya di Lombok di blog pribadi.
Pada 12-13 Oktober, saya lanjut ke Pandeglang menengok aktivitas para petani bibit semangka. Saya pergi bersama duo seleb Twitter: Arman Dhani dan Mas Kokok Dirgantoro. Perjalanannya menyenangkan. Banyak kisah sukses petani setempat yang terangkat taraf hidupnya berkat semangka. Bahkan, ada preman tobat yang kini sudah jadi jutawan.
Singkat kata, saya cukup puas dengan perjalanan saya di bidang penulisan sepanjang 2015. Saya bertemu sejumlah mentor yang sudi mengkritik sekaligus membukakan pintu. Pengalaman yang justru membuat saya merasa kecil dan tak tahu apa-apa.
Teater
Saya berkenalan dengan dunia teater sejak saya bergabung dengan Teater KataK UMN pada 2010. Setelahnya, saya terus tenggelam semakin dalam. Dari mulanya ikut-ikutan, hingga tak bisa kalau tak ikutan. Dari tempat tongkrongan, berakhir jadi rumah kedua yang selalu saya rindukan.
Butuh sekiranya tiga tahun bagi saya sebelum mendapatkan peran berdialog di atas panggung, tepatnya pada pentas Perkawinan, Maret 2013. Sebelumnya, paling sering ya jadi rakyat atau figuran lain yang meramaikan suasana. Namun, candu panggung selalu membuat saya pulang ke Teater KataK.
Setelah keluar dari GeoTimes, saya pun kembali bermain dalam pentas Kebun Ceri, Mei 2015. Buat saya, ini adalah pentas terbaik selama berada di Teater KataK. Sebagai pengangguran, saya jadi punya lebih banyak waktu untuk membedah naskah, mendalami karakter, dan terlibat dalam seluk-beluk produksi. Saat itu, saya merasa telah memberikan segala yang saya bisa dalam pementasan ini.

Usai Kebun Ceri, saya mulai melatih teater di beberapa sekolah dan kampus lewat kenalan pelatih Teater KataK, Venantius Vladimir Ivan. Saya sempat mendampingi anak-anak SD High Scope di Kembangan, SMAK 1 di Tanjung Duren, SMA Mutiara Bangsa 3 di Jelambar, serta jadi asisten sutradara di Sentra, teater kampus Untar.
Di tengah kesibukan melatih, dimulai pula produksi Hamlet. Ini adalah pentas pertama yang diadakan oleh Teater KataK Jakarta; usaha kolektif untuk membentuk kelompok teater independen yang lepas dari embel-embel kampus UMN. Pemainnya adalah alumni UMN, plus kawan-kawan dari almamater lain, entah Binus, Untar ataupun UI.
Kak Ivan sebagai sutradara memutuskan untuk membawakan adaptasi Hamlet karya William Shakespeare pada September 2015. Pertimbangannya, naskah ini telah cukup dikenal hingga diharapkan mampu mendatangkan penonton. Kali ini, saya dipercaya memerankan sosok Hamlet sekaligus memegang divisi promosi dan media partner.
Saya merasa cukup berhasil menjalankan promosi untuk pentas ini lewat berbagai media sosial Teater KataK. Tiket untuk dua hari pementasan pun ludes terjual. Namun, saya cukup kecewa dengan penampilan saya sebagai Hamlet.

Beberapa kritik keras menghampiri usai pentas. Salah satunya dari Imam Aziz yang menuliskan di Jakartabeat bahwa Hamlet versi Teater KataK adalah dosa terhadap seni pertunjukan dan sastra. Ini karena cara kami membawakannya secara farce, atau komedi slapstick, tanpa memedulikan kaidah drama dan estetika naskah Shakespeare.
Sejak awal, Kak Ivan sebagai sutradara telah menegaskan, targetnya adalah menjerat para penonton awam agar bisa jatuh cinta pada dunia teater. Dan memang, respon penonton dari kalangan ini justru begitu positif. Banyak pujian dan bahkan janji-janji manis untuk menonton pertunjukan Teater KataK selanjutnya.
Saya sendiri percaya, tiap kelompok berhak mengadakan pementasan dengan cara dan gayanya masing-masing. Itu pilihan, dan mustahil untuk menyenangkan semua pihak. Namun tetap saja, saya tertampar begitu keras mendapati kritik yang menerpa setelah pentas Hamlet. Sekali lagi, saya merasa kecil dan tak tahu apa-apa.
Ini mendorong saya untuk mencari tahu lebih jauh. Saya ingin membaca lebih banyak, belajar soal keaktoran lebih dalam, dan menelusuri kebenaran absolut soal cara bermain di atas panggung yang dimuliakan para ahli teater itu.
Pengalaman saya terlibat dalam pentas Kebun Ceri dan Hamlet benar-benar berharga, dan saya tak ingin berhenti sampai di sini saja.
The Jakarta Post
Saya melamar ke The Jakarta Post pada akhir Juli 2015. Selewat tiga bulan, tak ada tanggapan. Saya pasrah menghadapi kenyataan saya tak diterima. Lalu saat saya mulai mencari opsi lain, tiba-tiba muncul kabar gembira. Pada akhir Oktober, saya diminta mengikuti tes tahap lanjut di The Jakarta Post.
Saya tiga kali menjalani wawancara, lalu masing-masing sekali tes bidang dan tes psikologi. Yang terberat adalah wawancara terakhir dengan Meidyatama Suryodiningrat, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post.
Ia tak banyak bertanya soal isu sosial dan politik, tapi deras mencecar saya soal kehidupan pribadi. Entah soal pilihan keluar dari GeoTimes, kehidupan tak menentu sebagai penulis lepas, serta kenaifan saya lainnya. Saya merasa itu adalah ujian mental, dan saya berusaha menjawab setenang mungkin.
Kemudian, saya dipanggil untuk melakukan penandatanganan kontrak pada akhir November. Saya akan mulai menjalani pendidikan di The Jakarta Post pada 4 Januari 2016.
Banyak hal mengejutkan dalam perjalanan saya sepanjang 2015. Dari pengangguran hingga diterima di The Jakarta Post, dari menulis lepas hingga menerbitkan buku. Semoga 2016 bisa berjalan lebih baik lagi, dan kenaifan ini tak akan hilang begitu saja.
Selamat tahun baru!