Saya suka aroma persaingan. Kerap meresahkan, tentu, tapi setiap gesekan yang timbul karenanya justru menajamkan satu sama lain.
Salah seorang teman yang paling kompetitif dan kerap membuat saya resah berada di zona nyaman adalah Silvanus Alvin. Sejak awal hingga lulus kuliah, saya hampir selalu sekelas dengannya. Kami berdua tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan entah kenapa, hingga saat ini kami selalu berusaha mengasah satu sama lain dengan punggung saling membelakangi.
Mulanya, Alvin tak tertarik untuk mengambil konsentrasi jurnalistik. Sedari awal ia memang tak pernah gemar menulis dan impiannya pun bukan untuk menjadi seorang jurnalis. Namun karena mayoritas lingkup pergaulannya ada di sana, akhirnya ia pun terbawa.
Saya ingat betul, di awal masa kuliah Alvin sempat membuat sebuah blog berjudul “Alvin dan Diari Cupuku.” Teman-teman pun sontak tertawa ketika tahu ada dua subjek dalam penamaan blog tersebut: Alvin dan Aku. Di lain hari, ia juga sempat frustrasi kala tulisannya menjadi contoh terburuk di dua mata kuliah sekaligus, yaitu Bahasa Jurnalistik dan Creative Writing. Sementara saya selama ini merasa aman-aman saja dalam proses kuliah yang ada, tidak terpuruk pun bukan yang terutama.
Namun, mereka yang mengenal cukup lama akan tahu bahwa Alvin punya harga diri terlalu tinggi untuk diremehkan atau sekadar mengaku kalah sebelum berkompetisi. Perlahan-lahan, Alvin mulai banyak membaca dan menulis. Dari koran hingga novel, entah hard news atau feature. Prosesnya pun terlihat, perlahan tapi tak lamban.
Syahdan, ada semacam persaingan laten yang muncul di antara kami berdua, terutama soal karya. Kami tak pernah benar-benar berkonfrontasi langsung, tapi secara tak sadar berkelindan dalam semangat untuk menjadi lebih baik dari yang lainnya. Hal itu terasa saat pengerjaan tugas kuliah, penuntasan liputan di satu atap redaksi majalah kampus, atau ketika menjalani kerja magang di pelabuhan media masing-masing.
Terus seperti itu, dan kami berproses dari tumpul hingga tajam bersama.
Nyatanya, persaingan di segala aspek kehidupan selalu mendorong kita untuk keluar dari zona nyaman dan melompat melewati batasan. Bahkan, terkadang persaingan yang destruktif sekalipun bisa membawa kita ke arah yang sama, walau dengan jalan yang penuh cela.
Kita bisa melihatnya pada sosok Roy Keane dan Patrick Vieira. Keane adalah eks-kapten tim Manchester United (MU) sementara Vieira berada di seberang sebagai eks-kapten tim Arsenal. Seluruh penggemar sepak bola tahu, pertemuan kedua pemain tersebut di atas lapangan bagai membakar rokok di tengah pom bensin. Ledakan dari berbagai skala, berpotensi terjadi di sana.
MU dan Arsenal adalah rival berat sejak akhir 1990-an hingga pertengahan 2000. Belum lagi gaya bermain Keane dan Vieira yang sama-sama keras dan tanpa kompromi. Keduanya pun bersumbu pendek, seakan satu hentakan saja bisa memulai perang di antara mereka. Adu mulut, saling sikut, tackle keras dan aksi dorong panas sudah jadi lumrah dan bumbu tak terelakkan di tiap perjumpaan.
Lantas, usai Vieira hijrah dari Arsenal ke Juventus pada Juli 2005 dan Keane berpisah jalan dengan MU empat bulan kemudian, penggemar urung bisa melihat atmosfer yang sama lagi di antara dua tim tersebut. Banyak yang merindukan rivalitas membara antara Keane dan Vieira.
Menariknya, Vieira sendiri mengakui bahwa rivalitasnya dengan Keane telah melecutnya untuk jadi lebih baik dari waktu ke waktu. Ia mengungkapkan hal tersebut saat keduanya diwawancara dalam sebuah video dokumenter berjudul “Keane + Vieira, Best of Enemies”.
“If one of us take the advantage of the other one, we may have more chance to win the game. I knew that before the game,” ujar Vieira kepada Keane saat itu.
Lalu ketika sang pewawancara bertanya, “Did he intimidate you?” Vieira membalas, “No, he excited me.”
Keduanya juga sepakat bahwa MU dan Arsenal saat ini telah jauh melembek dibanding dulu ketika mereka masih di situ. “They are almost too nice to each other, too much respect for each other, I think,” ujar Keane menyayangkan.
Terkadang, pertengkaran di antara Keane dan Vieira memang bisa menyulut kericuhan lebih besar di antara para pemain lainnya yang membela panji-panji MU dan Arsenal. Namun, di lain sisi hal tersebut mendorong masing-masing untuk melewati batas dirinya, terus berproses mencapai apa yang dulu hanya dirasa utopia.
Keane sendiri merupakan kapten yang membawa MU menjadi treble winner pada musim 1998/1999, dan Vieira juga berhasil memimpin “The Invincible Arsenal” menjadi juara Liga Inggris tanpa terkalahkan pada musim 2003/2004 lalu. Secara tak langsung, mereka terus bahu-membahu untuk membantu yang lain menjejakkan kaki di tempat lebih tinggi.
Lalu, apa kabar Alvin hari ini? Sekarang ia sibuk bekerja dari hari ke hari sebagai wartawan sebuah media online ternama dan terbiasa menulis belasan berita per harinya. Libur pun hanya seminggu sekali. Intensitas dan etos kerjanya tinggi.
Sementara saya di sini masih mengamati jejaknya dan terus terpacu untuk meraih lebih dan lebih lagi. Rasanya, ini patut disyukuri.