Rusdy Bahalwan, Perginya Seorang Guru Sepak Bola Tanah Air

Ilustrasi.

Indonesia baru saja kehilangan salah satu tokoh terbesarnya dalam dunia sepak bola. Rusdy Bahalwan, pria yang selalu menjunjung tinggi sportivitas dan mendedikasikan hidup sepenuhnya pada sepak bola, telah berpulang ke hadapan-Nya pada Minggu (7/8/2011), pukul 22.30 WIB. Kepergian Bahalwan membawa duka bagi para kenalannya, serta suka bagi setiap kenangannya.

Tahun 1998, Indonesia sedang menghadapi dilema besar. Saat itu, tim nasional sedang bersiap untuk menghadapi laga pamungkas di babak kualifikasi Grup A Piala Tiger di Vietnam melawan sang juara bertahan, Thailand. Bukan status Thailand sebagai pemenang edisi sebelumnya yang membuat tim “Merah Putih” gentar. Mereka hanya tak cukup berani untuk lolos sebagai juara grup dan bertemu dengan tuan rumah kompetisi tersebut di babak semi final.

Laju Indonesia di dua laga awal sebelumnya sebenarnya cukup gemilang. Mereka berhasil mengalahkan Filipina dengan tiga gol tanpa balas serta menghantam Myanmar dengan skor telak 6-2. Widodo Putro dan Bima Sakti menjadi protagonis utama timnya dengan raihan masing-masing dua gol dalam dua pertandingan tersebut.

Saat itu, Indonesia dan Thailand menghadapi situasi serba salah. Siapa pun yang memenangkan pertandingan, akan keluar sebagai juara grup dan berhadapan dengan Vietnam di babak selanjutnya. Sementara itu kekalahan, akan mengantar mereka untuk bertemu Singapura, lawan yang dirasa lebih mudah dihadapi daripada sang tuan rumah tersebut. Selain itu, sang juara grup juga diharuskan untuk memindahkan tempat pemusatan latihan mereka dari Ho Chi Minh City ke Hanoi, sesuatu yang dianggap merepotkan bagi kedua belah tim.

Tak disangka, hal yang benar-benar ditakutkan pun terjadi. Indonesia dan Thailand tampil ogah-ogahan dan harus mengakhiri babak pertama pertandingan dengan skor imbang 0-0. Di babak kedua, situasi sempat membaik ketika kedua tim tersebut saling berbalas mencetak gol, yang mana dapat terjadi berkat barisan pertahanan masing-masing kubu yang tampil ‘setengah hati’.

Saat Miro Baldo Bento dan Aji Santoso sukses mencetak gol pada menit 52 dan 84, nyaris tak ada raut kegembiraan di wajah para pemain Indonesia. Lalu ketika Kritsada Piandit dan Therdsak Chaiman melesakkan gol bagi Thailand, juga terlihat jelas bahwa para pemain bertahan tim “Merah Putih” tidak berusaha keras untuk menghentikan usaha mereka. Kiper Indonesia saat itu, Hendro Kartiko, bahkan berani melakukan over-lapping dengan maju ke depan kotak penalti lawan untuk menendang si kulit bundar.

Skor imbang 2-2 membawa pertandingan berlanjut ke babak extra-time. Saat itu lah tragedi memalukan terjadi. Mursyid Effendi, bek Indonesia yang saat itu berusia 26 tahun, dengan sengaja melesakkan bola ke gawangnya sendiri. Beberapa pemain Thailand yang mencoba berlari menghentikan hal itu pun hanya bisa termenung melihat gol bunuh diri yang disengaja tersebut. Para pemain Indonesia lainnya segera memberi aplaus dan menyelamati Effendi seakan dia telah berhasil menjalankan ‘tugas rahasia’ yang luar biasa. FIFA pun kebakaran jenggot melihat hal itu.

Setelah pertandingan yang memalukan tersebut, Effendi segera mendapat hukuman tak boleh berlaga di seluruh pertandingan internasional FIFA seumur hidupnya. Indonesia dan Thailand juga harus membayar denda sebesar 40.000 dollar Amerika. Yang lebih memalukan lagi, setelah berhasil menjalankan ‘misi’ untuk bertemu lawan yang dianggap remeh, Singapura, di babak semi final, Indonesia harus kalah dengan skor 1-2.

Di tempat lain, Thailand juga menelan pil pahit setelah digebuk Vietnam dengan skor 0-3. Takdir kembali mempertemukan Thailand dan Indonesia di ajang perebutan tempat ketiga turnamen tersebut. Untung saja, saat itu Indonesia berhasil keluar sebagai pemenang setelah berhasil unggul dalam babak adu penalti.

Pulang ke rumah, timnas dicerca. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, sang pelatih yang menangani Hendro Kartiko dan kawan-kawan pun akhirnya melepas jabatannya tersebut. Pria itu adalah, Rusdy Bahalwan.

Ironi di balik kontroversi

Tak ada yang tahu cerita sebenarnya di balik kejadian memalukan tersebut. Ada kabar yang beredar bahwa timnas melakukan hal tersebut atas permintaan dari para petinggi PSSI saat itu. Akan tetapi, Bahalwan sendiri tak pernah berniat atau berusaha mengungkapkan hal ini kepada rekan-rekan atau publik yang penasaran.

“Saya sempat tanya ke Pak Rusdy mengenai kejadian itu,” kata Soebodro, rekan Bahalwan di Persebaya Surabaya. Namun Bahalwan sendiri hanya menjawab, “Sulit Bod aku jawabnya.”

“Dia nampaknya tahu saya akan bertanya begitu. Soalnya dia tahu kalau ada yang kurang benar, saya pasti protes,” kata Soebodro kembali.

Kejadian yang menghantam nama baik Indonesia di kancah sepak bola internasional tersebut jelas menjadi ironi karena sangat bertolak belakang dengan citra yang dibentuk Bahalwan selama ini. Para pemain dan rekan yang pernah mengenal pria kelahiran tahun 1947 itu mengenalnya sebagai sosok bersahaja yang menjunjung tinggi sportivitas dalam olahraga. Ia sendiri menentang segala perbuatan kotor yang dapat merusak dan menghambat perkembangan sepak bola di Indonesia.

“Seorang pemain yang sengaja melepas bola agar timnya kalah, itu berarti telah berbuat dosa. Pelatih yang sengaja menginstruksikan pemainnya mencederai pemain bintang lawan, juga telah berbuat dosa. Begitu juga manajer yang mengatur skor akhir pertandingan, serta wasit yang karena sesuatu hal lantas memihak pada salah satu tim, termasuk perbuatan dosa. Karena itu, semua yang telah saya sebutkan di atas harus kita tinggalkan mana kala sepak bola kita mau maju, dan tidak terancam bubar,” tegas Bahalwan suatu hari.

Oleh karena itu, rasanya Bahalwan bukanlah seseorang yang akan dengan mudah meminta para pemainnya untuk memainkan ‘sepak bola gajah’ dan sengaja mengalah begitu saja. Bila memang harus bertemu Vietnam di babak semi final, bukan alasan baginya dan timnas untuk gentar dan kalah sebelum bertanding.

Bahalwan sendiri pernah berujar, “Kalau kita ingin maju, berusahalah semaksimal mungkin mengikuti instruksi pelatih. Jangan pernah berpikir untuk kalah dalam pertandingan, walaupun lawan yang dihadapi mempunyai kemampuan lebih baik.”

Bahalwan juga memiliki dasar pengetahuan agama yang kuat dari orang tuanya. Hal itu membuat suami dari Ramadhani ini senantiasa memberikan suntikan rohani kepada para pemainnya secara rutin. “Sengaja saya selipkan pesan-pesan moral (saat melatih) agar persepakbolaan kita makin maju, serta jauh dari erosi yang merusak,” ucap mantan aktivis Indonesian Moslem Student Association (IMSA) Jatim ini.

Setiap pagi, ia juga selalu mengajak para pemainnya yang beragama Islam untuk shalat berjamaah yang berlanjut dengan kultum alias kuliah tujuh menit. Hal ini sejalan dengan kunci sukses Bahalwan dalam membina para pemainnya yaitu menjauhi tangan-tangan kotor, mentalnya baik, dan istikamah.

Penurunan fungsi syaraf

Selain membawa timnas meraih peringkat ketiga Piala Tiger 1998, Bahalwan juga berhasil mengangkat Persebaya menjuarai Liga Indonesia di musim 1996/1997 dan Piala Utama 1990. Ia juga sempat membawa tim sepak bola Jawa Timur untuk meraih emas di Pekan Olahraga Nasional XIV 1996. Sebagai pemain, torehannya pun cukup memuaskan dengan menjadi kapten dan ikon Persebaya yang mengantar timnya menjuarai Piala Presiden Perserikatan Divisi Utama 1978.

Karier dan prestasi gemilang Bahalwan sebagai pemain dan juga pelatih membuat banyak orang percaya bahwa dia adalah sosok ideal yang dapat membawa persepakbolaan Indonesia ke arah yang lebih baik. Satu kisah kontroversialnya di Piala Tiger 1998, bak setitik debu kotor di tengah padang pasir prestasi. Sayangnya, harapan itu kandas oleh penyakit yang dideritanya sejak beberapa tahun terakhir.

Penurunan fungsi saraf yang ia derita sejak sekitar tujuh tahun silam membuatnya tak bisa berbicara dan harus duduk di kursi roda. Untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekelilingnya, ia harus menggunakan kode atau gestur tubuh yang mengisyaratkan maksud sebenarnya. Hal ini tentu memancing simpati dari beberapa orang yang sempat mengenalnya dengan cukup dekat.

“Kebetulan saya pernah menjadi anak didik beliau (Bahalwan), sehingga saya tahu betul bagaimana karakternya. Beliau orangnya tegas, religius dan memegang teguh kejujuran,” kata Jaya Hartono, mantan pelatih Persib Bandung.

Sayang, Bahalwan tak kuasa menahan sakit yang telah lama ia derita itu. Ia harus meninggal di usianya yang ke-64. Ramadhani pun tak kunjung bisa menahan tangisnya selama menemani jenazah sang suami di rumah duka Jalan Rungkut Mejoyo Selatan Gang I Nomor 38, Surabaya, Jawa Timur.

Sampai saat ini, pelayat pun terus berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir bagi legenda Persebaya tersebut. Bahalwan sukses memberi warisan berupa kenangan tak terlupakan akan sesosok pria bersahaja yang menjunjung tinggi sportivitas dan tak pernah lupa akan Tuhan.

“…saya juga bermunajat kepada Yang Mahakuasa agar atmosfer sepak bola di tanah air yang akhir-akhir ini begitu mencemaskan serta meresahkan masyarakat itu, berubah menjadi semakin baik. Kita sama-sama tahu, beberapa kasus perbuatan oknum yang tidak bertanggung jawab telah mencemari lingkup sepak bola kita. Lewat tulisan ini, bertepatan dengan bulan suci Ramadan yang penuh rahmat, berkah dan ampunan, saya coba mengimbau penonton, pemain dan mereka yang sehari-hari terlibat dengan kegiatan sepak bola agar segera sadar dari kekeliruan serta kesalahan yang telah dilakukannya,” tulis Bahalwan di suatu surat kabar terbitan Surabaya pada 1997 lalu, seperti dikutip dalam blog aguswahyudi.blogdetik.com.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top