Sehari Bersama Vandana Shiva

Vandana Shiva di Kediri, Jawa Timur.
Vandana Shiva (kanan) di Kediri, Jawa Timur. Viriya Singgih.

Beberapa tahun lalu Vandana Shiva terlibat debat soal masa depan pangan. Kala itu seorang ilmuwan berkata padanya, “Dr. Shiva, terima saja fakta bahwa di masa depan, tak akan ada lagi makanan dan tak akan ada lagi petani. Kita semua akan memakan pil setiap harinya.”

“Makan saja sendiri pil Anda, kami akan tetap menjaga makanan kami,” balas Vandana.

Vandana memang keras bila bicara tentang kedaulatan pangan, khususnya benih dan petani. Ia telah berkeliling dunia untuk mempromosikan hal ini. Indonesia pun salah satu persinggahannya. Pada 16-23 Agustus 2014 ia menyambangi Depok, Kediri, dan Bali untuk berdiskusi dengan masyarakat setempat, dari petani hingga para pakar.

Dalam sesi diskusi di Desa Kwadungan, Kediri, Vandana dengan tegas berkata bahwa dominasi korporasi akan benih merupakan bentuk kolonialisme baru yang menjajah kehidupan petani selama ini.

“Jika dulu penjajahan dilakukan dengan mencari rempah-rempah, sekarang mereka mencari benih. Dengan menguasai benih, akan menguasai pangan. Dengan menguasai pangan, akan menguasai masyarakat,” katanya.

Saat ini 90 persen perdagangan pangan dunia dikuasai lima perusahaan transnasional: Cargill, Bunge, Archer Daniels Midland, Marubeni, dan The Noble Group. Sedangkan 99,9 persen pengelolaan benih transgenik dikuasai enam korporasi. Monsanto jadi yang paling dominan dengan memegang 90 persen di antaranya.

Produk rekayasa genetika – kerap disebut Genetically Modified Organism – mulai dikembangkan pada periode 1996-2010. GMO diciptakan dengan menyisipkan gen asing pada tanaman, misalnya bakteri Bacillus thuringensis (Bt) pada benih jagung atau kedelai. Salah satu efeknya, tanaman itu bisa tahan dari serangan hama dan meningkatkan hasil produksi petani.

Benarkah semudah itu?

Menurut Vandana, selama ini petanilah yang menemukan berbagai varietas pangan untuk ditanam. Kemudian perusahaan besar mengambil dan mematenkannya sehingga petani tak lagi bisa membudidayakan sendiri. Mereka pun menjualnya kembali pada petani dengan harga berkali lipat. Karena itu, hidup petani jadi tergantung pada benih yang dijual korporasi.

“Sekarang semakin banyak petani yang tersingkir dari lahannya dan hanya bisa menjadi buruh. Itu terjadi karena para petani selama ini ‘dihukum’. Mereka tak mendapat pembagian keuntungan yang adil atas apa yang mereka produksi. Mereka terlibat utang besar karena harus membeli benih dari perusahaan, kemudian menjual lahannya dan menjadi budak. Jadi, kedaulatan benih adalah soal martabat dan keadilan,” tuturnya.

Vandana tahu betul soal ini karena sebuah tragedi di kampung halamannya. Pada 1995, Monsanto bekerja sama dengan perusahaan lokal Mahyco memperkenalkan benih transgenik yang telah disisipkan bakteri Bt di India. Sejak itu Monsanto menancapkan kukunya di sektor pertanian India.

Benih, yang tadinya merupakan sumber daya umum para petani, berubah jadi properti mahal nan terbatas. Benih transgenik keluaran Monsanto bersifat steril sehingga tak bisa dikembangkan lagi. Tiap tahun petani harus membeli benih baru pada perusahaan karena korporasi mematenkan berbagai varietas benih.

Banyak kebun kapas terpaksa diubah jadi lahan monokultur karena menggunakan benih transgenik. Kebun tersebut jadi lebih rentan terhadap hama, penyakit, dan risiko gagal panen. Hal yang ditakutkan pun terjadi. Banyak kebun kapas yang gagal panen sesuai harapan. Para petani terlibat utang besar dan sebagian memilih bunuh diri.

Ilustrasi petani di India.
Ilustrasi petani di India. Shree Vallabh/Pixabay.

Menurut Vandana, setidaknya 300 ribu petani lokal bunuh diri sejak masuknya Monsanto ke India. Karena itu, ia mengecam keras monopoli Monsanto atas benih dan menyebut mereka telah melakukan genosida atau pembunuhan massal.

Vandana lalu menggagas gerakan Navdanya di India. Hingga kini Navdanya telah membangun setidaknya 111 bank benih di berbagai penjuru India sehingga petani lokal tak lagi menggantungkan hidup dengan membeli benih dari perusahaan. Mereka pun mendidik petani tentang konsep kedaulatan benih dan pangan serta sistem pertanian berkelanjutan untuk generasi selanjutnya.

“Butuh waktu sekitar empat tahun bagi kami untuk menemukan varietas asli kapas di daerah-daerah terpencil dan membangun bank benih berisi jenis kapas asli itu,” kata Vandana. “Kami juga memanen dan menenun sendiri kapas organik ini dan mewarnainya dengan pewarna alami. Kami menyebut gerakan ini sebagai kemerdekaan serat, sementara kapas transgenik adalah bentuk perbudakan serat.”

Setiap tahun Navdanya juga melakukan survei jumlah produksi kapas transgenik dibandingkan dengan kapas organik. Terbukti kapas organik dapat menghasilkan tiga hingga lima kali lebih banyak daripada kapas transgenik.

Vandana menjabarkan konsep kedaulatan benih dalam diskusi di Kediri. Namun, Sutrimo mengernyitkan dahi. Sejak awal ia memilih duduk di barisan depan dan rajin mencatat apa penjelasan Vandana. Sutrimo Ketua Gabungan Tani Maju, lembaga swadaya masyarakat bidang pertanian di wilayah Kediri.

“Masalahnya benih dari perusahaan di sini bisa produksi sampai 11 kuintal. Kalau pakai benih lokal cuma bisa 7 kuintal. Benihnya juga sering kedaluwarsa, nggak bisa ditanam lagi kalau disimpan kelamaan,” gumam Sutrimo.

Seorang kawan di sampingnya pun mengangguk setuju. Sutrimo pun yang pertama tunjuk tangan saat sesi tanya jawab. Ia menanyakan masalah tersebut.

“Benih yang baik tidak punya tanggal kedaluwarsa, asal disimpan dengan baik. Navdanya punya benih yang telah berusia 40 tahun dan masih bisa tumbuh. Bila benih punya tanggal kedaluwarsa, pasti ada yang salah di situ,” jawab Vandana.

“Ada dua kemungkinan: itu benih buatan pabrik yang telah dicampur bahan-bahan kimia atau benih itu sudah dimanipulasi jadi transgenik sehingga tidak bisa tumbuh dengan baik.”

Pengembangan benih lokal di kalangan petani jadi semakin penting dewasa ini. Butuh kerja keras untuk meminggirkan dominasi korporasi dan memerdekakan benih pangan.

Kuncoro, petani yang mengikuti diskusi sejak awal, mengerti soal ini. Warga Desa Toyoresmi, Kecamatan Ngasem, Kediri, ini menjadi petani sejak awal 1980-an. Pada 1985 ia tertarik belajar untuk mengembangkan benih.

“Saya mencoba sendiri dengan melihat cara PT Bisi menanam di sekitar lahan saya. Ternyata jagung lokal bisa diutak-atik gennya. Jagung itu kan ada yang warnanya merah dan kuning keemasan. Nah, bagaimana caranya agar yang merah bisa berubah jadi kuning keemasan? Ternyata caranya dengan pembungkusan bunga atau pemangkasan buah yang sesuai,” katanya.

Selama 8 tahun Kuncoro mencari metode yang tepat. Pada pertengahan 1990-an, jagung hibridanya mulai membuahkan hasil. Pada 2000 ia mengajarkannya pada para petani lokal lain. Alhasil, benih jagung Kuncoro digemari karena bisa menghemat biaya produksi dan tak perlu lagi membeli benih pabrikan.

“PT Bisi juga membuat benih hibrida. Mereka mengakui benih itu miliknya dan kami nggak boleh mengembangkannya sendiri. Pada tahun 2001-2006 ada 13 petani ditangkap polisi. Pada 2010 saya ditangkap. Kami semua dikenai pasal budi daya tanaman tanpa izin,” katanya.

Kuncoro dipenjara 7 bulan dan petani lain dihukum kurungan 1 hingga 3 bulan. Beberapa lembaga swadaya masyarakat petani melayangkan gugatan pada Mahkamah Konstitusi, September 2012. Mereka menyoal UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang sistem budi daya tanaman yang dianggap mempersempit ruang gerak petani lokal.

“Waktu itu kami bilang, kalau begini terus semua petani Indonesia yang coba menangkar benih pasti akan dipenjarakan. Untungnya pada 2013 Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan kami,” kata Kuncoro.

Kuncoro, petani Kediri yang pernah ditangkap polisi karena mengembangkan benih sendiri.
Kuncoro, petani Kediri yang pernah ditangkap polisi karena mengembangkan benih sendiri. Viriya Singgih.

Vandana mengapresiasi perjuangan para petani Kediri. Menurutnya, seluruh petani memang harus bergandengan tangan dan berjuang bersama untuk meraih kemerdekaan sendiri.

Ada tiga langkah sederhana untuk memastikan kegiatan bertani tetap terjaga. Pertama, lahan pertanian harus tetap berada di genggaman petani. Benih pun harus dikuasai petani agar mereka tidak menjadi semakin miskin. Kemudian, petani harus mendapat jatah pembagian keuntungan yang adil atas hasil produksi mereka. “Jatah yang adil itu datang dari perdagangan yang adil,” kata Vandana.

Dengan menjaga keberagaman, diharapkan petani terhindar dari krisis pangan. Makanan sehat, kata Vandana, datang dari kebun sendiri, bukan dari industri yang menyediakan makanan siap saji seperti junk food. Semakin kaya tumbuhan yang dipunya, semakin banyak nutrisi yang bisa dikonsumsi anak-cucu. “Keanekaragaman hayati adalah resep utama untuk menyelesaikan masalah malnutrisi dan kelaparan,” tegasnya.

Vandana juga menekankan pentingnya peran perempuan dalam menjaga keberagaman lingkungan. Menurutnya, selama ini perempuan tak mendapat porsi yang cukup untuk ambil peran karena budaya patriarki yang masih kental menyelimuti di berbagai belahan dunia. Ia mengambil contoh sederhana dengan melihat aksi pebisnis Amerika Serikat, Bill Gates, yang menjadi salah satu penyumbang dana terbesar dalam pengembangan GMO di Monsanto dan perusahaan pangan Cargill.

“Saya akan menjelaskan masalah ekofeminisme dalam satu kalimat saja. Tuan Gates bilang hanya GMO yang bisa menyediakan vitamin A dan zat besi dalam pisang yang dihasilkannya. Itulah bentuk patriarki kapitalis sesungguhnya,” kata Vandana.

“Para perusahaan itu hanya ingin melakukan apa yang sudah kalian semua lakukan selama ini. Di India, mereka ingin mengembangkan pisang berzat besi tinggi, tapi mereka sudah memilikinya terlebih dulu. Di Uganda, mereka ingin membuat pisang kuning, padahal pisang adalah makanan pokok di Uganda, seperti nasi untuk kalian di Indonesia.”

Dalam konsep marxisme kultural, Karl Marx dan Frederick Engels menganggap basis ekonomi masyarakat terdiri atas hubungan produksi ketika budaya dan ideologi terbentuk untuk membantu mengamankan dominasi kelas sosial yang berkuasa. Kini, Vandana menganggap korporasi telah bertindak terlalu jauh sebagai kelas yang berkuasa untuk menindas kelas pekerja seperti buruh.

“Sekarang ada lima perusahaan global yang menguasai makanan, air, dan produksi. Bahkan Marx pun akan terkejut melihat hal ini. Globalisasi yang dilakukan korporasi ini adalah bentuk tatanan baru,” ujarnya.

Karena itu, Vandana berharap globalisasi tidak sampai mengikis kebudayaan dan kearifan lokal di Indonesia ataupun berbagai negara lain di seluruh dunia.

“Kita tak akan membiarkan kreativitas petani dihalangi oleh kreativitas semu para perusahaan yang ingin mencuri keanekaragaman hayati dan mengklaimnya. Para perusahaan itu hanya menyuntikkan gen ke dalam pisang lalu memberantas kemerdekaan kita,” katanya.

Vandana mengingatkan kita kembali akan sejarah penemuan pisang. Ribuan tahun lalu, Alexander Yang Agung datang ke India dan melihat pisang pertama kali di sana. Kala itu disebutkan bahwa pertapa memakan banyak pisang dalam keseharian. Alexander pun kembali ke kampung halaman dan menceritakan penemuannya akan pisang.

“Itulah mengapa nama ilmiah untuk pisang dahulu adalah musa sapientum yang berarti makanan bagi orang bijak. Mari kita tetap mempertahankan maknanya seperti itu, bukan mengubahnya jadi makanan bagi orang-orang tak bertanggung jawab,” kata Vandana.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 25 Agustus 2014.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top