Berapa macam bayangan yang bisa terbentuk dari tangan kita?
Dalam buku berjudul Hand Shadows to Be Thrown Upon the Wall (1859), Henry Bursill asal Inggris menerangkan soal belasan bentuk, dari wajah orang hingga binatang. Semua hanya bermodal tangan, cahaya dan permukaan kosong sebagai latar.
Dengan banyaknya karakter yang ada, wajar saja bila sebuah kisah bisa terjalin dari permainan bayangan tangan. Seni pertunjukan jenis ini telah populer di Eropa sejak akhir abad ke-19. Kala itu seniman asal Prancis, Félicien Trewey, jadi tokoh perintisnya. Keahlian Trewey pun diwariskan lintas generasi pada para murid-muridnya.
Inilah yang coba dibawakan oleh kelompok Budrugana-Gagra asal Georgia. Selama dua hari, tepatnya pada 18-19 Oktober 2014, mereka memainkan dua kisah berbeda di Teater Salihara, Jakarta.
Cerita pertama berjudul The Four Seasons of the Year. Pentas ini berkisah soal seekor anak beruang dalam mengarungi empat musim berbeda, dari musim panas hingga musim hujan. Sederhana, tapi cukup mengena. Rasanya seperti menyaksikan kartun hitam-putih dengan iringan musik klasik selama kurang lebih satu jam.
Sembilan pemain yang ada berkolaborasi dengan padu dalam permainan bayangan tangan. Ada yang jadi beruang, bebek dan burung dodo. Bahkan pohon dan permukaan air bisa tercipta pula dengan begitu halus.
“Di sini, anak-anak dapat mengenali karakter utamanya, dan orang-orang dewasa akan mengenang kembali masa kecilnya, masa-masa ketika mereka berbaur dengan dunia sekitar,” seperti tertulis dalam pamflet acara.
Pentas ini bisa disaksikan penonton dari berbagai golongan usia. Namun, mayoritas pengunjung yang datang adalah orangtua beserta anaknya. Anak-anak itu konstan tertawa melihat tingkah polah si anak beruang kala bertengkar dengan burung dodo di sekitar pepohonan. Apalagi kala beruang itu berdansa riang dengan bebek di sebuah sungai hingga hampir tenggelam.
Penonton juga bertepuk riuh kala Budrugana-Gagra membawa sedikit kejutan. Di akhir pementasan, mereka membawakan kisah si anak beruang dan kawan-kawannya dengan iringan gamelan. Nuansanya jadi mirip pertunjukan wayang kulit tradisional khas Jawa.
Wajar bila Budrugana-Gagra begitu lihai memainkan The Four Seasons of the Year. Naskah ini pertama kali mereka bawakan pada 1991 dalam festival internasional Les Semaines de la Marionnette di Paris, Prancis. Gela Klandelaki, sang pendiri, jadi sutradara pentas ini.
Kisah lebih baru dimainkan pada hari kedua dengan judul Isn’t This a Lovely Day. Cerita berkisar soal kehidupan manusia dari awal kelahiran, masa kanak-kanak, romansa, perpisahan, hingga kematian. Pentas ini berdurasi hampir dua jam. Mulanya mereka terinspirasi dari kisah rakyat asal Afrika dan pertama kali membawakannya pada 2010 di Tbilisi, Georgia.
Dalam prosesnya, beberapa tangan bergerak syahdu, mengalir lembut membentuk berbagai sosok imajiner. Ada sedih, tawa, suka dan lara di sana. Kumpulan tangan itu membentuk bayang, membawa drama yang kerap hadir dalam keseharian. Tak lupa, ada pesan soal jiwa yang tetap abadi, walau raga telah lama mati.
Ini mungkin terbentuk dari latar belakang sang pendiri sendiri. Gela Klandelaki juga dikenal sebagai seorang sutradara film dan teater. Karena itu ia mengerti betul cara mengaduk emosi penonton dengan alur cerita sederhana.
Sejak berdiri pada 1982, Budrugana-Gagra telah memproduksi sekitar 300 pertunjukan. Mereka kerap tampil dalam berbagai festival internasional, dari Prancis, Jerman, Amerika Serikat hingga Jepang. Mereka juga rutin mengadakan pentas amal bagi anak-anak pengungsi dan terlantar. Dari permainan bayangan, mereka membantu tangan-tangan lain yang membutuhkan uluran.
Karena itulah Floriane Gaber dan Michael Delon dari L’Avant Scène Théâtre, Prancis, sempat berdecak kagum, “Pertunjukan mereka benar-benar dimainkan dengan tangan kosong!”
***