Selamat Jalan, Cak

Rusdi Mathari (12 Oktober 1967-2 Maret 2018).
Rusdi Mathari (12 Oktober 1967-2 Maret 2018). Andrey Gromico.

Mengenang Cak Rusdi Mathari berarti mengingat kembali kisah-kisahnya yang legendaris. Ia memang pencerita ulung, baik secara lisan maupun tulisan. Karena itu, saya dan kawan-kawan kerap anteng menyimak berbagai anekdot yang ia lontarkan di tiap pertemuan.

Saya paling suka mendengarkan kisah soal pengalamannya kala jadi wartawan ataupun redaktur di berbagai media. Salah satunya saat seorang wartawati mencoba membohonginya usai bolos liputan.

Jadi, suatu hari seorang panitia acara menelepon Cak Rusdi untuk mengonfirmasi kedatangan sang wartawati yang sebelumnya memang sudah ditugaskan meliput ke sana. Acara sudah dimulai, tapi wartawati itu belum jua tampak di lapangan. Alhasil, Cak Rusdi berangkat sendiri meliput acara tersebut.

Sore harinya, wartawati itu datang ke kantor. Cak Rusdi pun bertanya, “Kamu dari mana?” Lantas, si wartawati menjawab santai, “Liputan.”

Cak Rusdi langsung mendekati wartawati itu, dan berteriak di depan wajahnya, “BOHONG!”

Konon, sang wartawati langsung berhenti menstruasi saking stresnya dimarahi Cak Rusdi saat itu.

Kisah lain yang begitu membekas buat saya adalah ketika Cak Rusdi mendapat kesempatan di awal karier jurnalistiknya untuk mewawancarai secara eksklusif wartawan legendaris Mochtar Lubis. Di tengah perbincangan, Mochtar sempat memberikan pesan singkat pada Cak Rusdi.

“Rusdi, kalau suatu hari nanti ada yang kasih kamu amplop, lempar balik amplop itu ke mukanya. Kalau ada yang kasih kamu mobil, rusak mobil itu. Kalau ada yang kasih kamu rumah, bakar rumah itu. Mengerti kamu?”

“Gila juga Mochtar Lubis itu,” ujar Cak Rusdi sambil terkekeh.

Pesan itu begitu diingat Cak Rusdi, dan bahkan sempat ia praktikkan kala bekerja di media ekonomi InfoBank pada periode 1994-2000.

Suatu hari, ia kesulitan masuk ke sebuah acara karena alasan yang kurang jelas. Sempat dongkol, toh ujungnya ia diperbolehkan masuk dan melakukan liputan. Di akhir acara, seorang panitia mendekati dan menyodorkan amplop padanya. Cak Rusdi ambil amplop itu, lalu ia lempar balik ke muka si panitia acara.

Cak Rusdi memang memegang teguh prinsip-prinsip dasar jurnalisme, dan akan selalu jadi yang paling keras menegur saat kita mencoba atau telanjur melanggarnya. Di sisi lain, ia juga tak segan memberi apresiasi bila kita layak mendapatkannya.

Saya bekerja langsung di bawah arahan Cak Rusdi di GeoTimes dari akhir 2013 hingga bulan-bulan awal 2014. Pernah suatu waktu saya dimarahinya karena reportase saya soal kehidupan LGBT dianggap kering tak berisi.

Dengan tegas ia berujar, “Kalau saya marah, berarti saya masih sayang sama kamu. Cara saya ngomong memang begini, ya enggak bisa diubah. Tapi kalau saya sudah diam, itu berarti saya sudah enggak peduli.”

Setelah saya bekerja di The Jakarta Post sejak 2016 pun, ia beberapa kali menyemangati ketika saya mengeluh mengenai keputusan kantor menempatkan saya di desk ekonomi.

“Tenang saja Viriya. Kalau kamu sudah bisa menulis ekonomi, besok-besok kamu bakal bisa menulis apa saja,” begitu katanya.

Pesan inilah yang selalu saya pegang selama hampir dua tahun terakhir meliput ekonomi, sesuatu yang sesungguhnya tak pernah saya sukai.

Tak hanya bawel di mulut, Cak Rusdi juga selalu memberi contoh dengan tulisan-tulisannya yang apik. Saat menulis apa pun, entah politik, ekonomi, sejarah atau bahkan agama, risetnya selalu mendalam, penyajiannya juga elok dan efisien.

Karena itu, saya merasa Cak Rusdi sudah paripurna sebagai wartawan. Buat saya, ia akan selalu jadi pengingat dasar yang bikin saya berpikir seribu kali sebelum mengambil amplop atau menulis sesuatu dengan asal-asalan.

Terima kasih, Cak. Selamat jalan.

Rusdi Mathari (12 Oktober 1967-2 Maret 2018).
Rusdi Mathari (12 Oktober 1967-2 Maret 2018). Fandy Hutari.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top