Sengketa Tanah Berujung Peristiwa Berdarah

Kawasan Hutan Register 45 yang dikelola PT Silva Inhutani.
Kawasan Hutan Register 45 yang dikelola PT Silva Inhutani. Viriya Singgih.

Masalah tanah lahirkan banyak duka bagi warga. Tidak hanya kehilangan tanah, mereka juga kehilangan seorang sahabat: Made Aste. Telah lama masyarakat menunggu, tapi pemerintah masih terpekur.

Sabtu, 6 November 2010, warga asli Dusun Pelita Jaya sedang menjalani harinya seperti biasa. Sudah lebih dari tiga bulan mereka tinggal dan membangun kembali pemukiman di tanah kelahirannya. Rumah-rumah telah terbangun dengan rapi, singkong dan padi pun telah ditanam oleh warga sendiri. Walau telah digusur berulang kali, warga tetap berkeras hati bahwa di sana adalah tanah tempat mereka berhak menempati.

Tak dinyana saat matahari sudah mulai bersembunyi, sekitar pukul enam sore hari, warga dikejutkan dengan kedatangan serombongan tim terpadu yang berusaha mengusir mereka tanpa banyak bicara. Tembakan peringatan pun dilepaskan ke udara. Warga lari kocar kacir berusaha berlindung. Di tengah suasana panas, Rohadelia tertangkap oleh aparat yang tak segan berlaku keras.

Melihat temannya tertangkap, Nyoman Sumerte akhirnya maju berusaha membantu.

“Jangan maju, nanti saya tembak!” Aparat berseru.

Sesaat kemudian, peluru sukses menembus kaki kanan pria keturunan Bali itu. Tak berdaya melawan, Nyoman pun pasrah dipukuli.

Tak tega menyaksikan Nyoman dihajar habis-habisan, giliran Made Aste yang maju berusaha membebaskan sang kawan. Belum sempat ia menolong, timah panas melesat menembus perut kirinya. Made terkapar sekarat. Syahdan, ajal pun datang menjemputnya meninggalkan dunia.

***

Awal terbentuknya Dusun Pelita Jaya dimulai pada 1977. Saat itu, beberapa rombongan perantau datang dari berbagai daerah, salah satunya Pulau Jawa, yang memutuskan untuk memulai penghidupan baru dan mendirikan pemukiman di dalam kawasan hutan Register 45, Dusun Umbul Parari, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung. Register 45 sendiri adalah nama pemberian pemerintah di zaman penjajahan Belanda untuk hutan produksi seluas 33.100 hektar yang terletak di sekitar daerah Sungai Buaya.

“Kenapa diberi nama Parari? Sebab dulu itu lingkungan sini dianggap sebagai tempat pelarian orang yang bersalah,” ujar Muhammad Fathi, salah satu perantau yang datang dari Pulau Jawa untuk bermukim di Dusun Umbul Parari sejak 1977.

Praktis, selama kurang lebih 10 tahun lamanya, semakin banyak warga lokal dan luar pulau yang datang dan menetap di Umbul Parari, di antarnya dari Pulau Bali dan Sulawesi. Rumah-rumah dan sarana umum telah terbangun dengan merata, ladang jua digarap dengan baik untuk memenuhi kebutuhan hidup warga. Pemerintah pun akhirnya mendirikan sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN) sebagai satu-satunya sarana pendidikan formal yang ada di sana. Lalu atas keputusan bersama antar perwakilan kabupaten, kecamatan, dan warga dusun setempat, akhirnya Umbul Parari berganti nama menjadi Pelita Jaya.

Setelah tinggal lama di Pelita Jaya, warga pun diakui secara resmi keberadaannya oleh pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan diberikannya Surat Keterangan Tanah (SKT) pada masing-masing Kepala Keluarga (KK) setempat. Lalu pada 1986, lurah setempat meminta warga Pelita Jaya untuk melapor dan menyerahkan kembali SKT masing-masing. Alasannya, agar SKT bisa diganti menjadi sertifikat tanah secara resmi. Namun, hal itu tak pernah benar-benar terealisasi.

Fotokopi KTP warga Pelita Jaya sebelum digusur pada 1986.
Fotokopi KTP warga Pelita Jaya sebelum digusur pada 1986. Viriya Singgih.

Di tahun yang sama, warga terpaksa mengungsi karena kedatangan ratusan gajah liar yang menyerbu dan memorakporandakan ladang mereka.

“Sempat datang tentara yang menyuruh warga untuk pergi dari sini, tapi kami tidak memedulikan. Setelah empat sampai lima kali memberi peringatan, mereka mengancam akan membawa gajah untuk mengusir kami. Benar saja, datang beneran gajah-gajah itu,” ujar Fathi.

“Cuma (saya rasa) gajah-gajah itu sebenarnya tidak datang karena disuruh oleh pemerintah. Mereka datang karena memang lapar dan ingin mencari makan sehingga akhirnya padi kami yang sudah siap panen habis dimakannya. Cuma waktunya saja yang bertepatan dengan setelah tentara memberi peringatan,” tambahnya.

Akibat kejadian itu, warga pun lari mengungsi ke dusun-dusun di sekitarnya. Setelah menetap selama beberapa saat, mereka kembali ke Pelita Jaya. Tak disangka, di sana mereka mendapati seluruh bangunan yang ada telah hancur diratakan dengan tanah. Puing-puing yang tersisa pun banyak dibuang di pinggir sungai. Jelas ini adalah perbuatan manusia. Kali ini bukan gajah yang jadi sumber masalah.

Akhirnya, warga terpaksa pergi dari lahan hidupnya sehari-hari. Ada yang kembali ke Pulau Jawa, mengikuti program transmigrasi lokal, atau menumpang hidup pada warga di dusun sebelah sambil mencari kerja secara serabutan.

Pada 1991, Kabupaten Lampung Utara secara resmi mengalami pemekaran wilayah dengan didirikannya Kabupaten Lampung Barat berdasarkan UU RI Nomor 6 Tahun 1991. Hal itu menyebabkan wilayah Lampung Utara berkurang enam kecamatan, yaitu Sumber Jaya, Balik Bukit, Belalau, Pesisir Tengah, Pesisir Selatan, dan Pesisir Utara.

Setelah itu, pemekaran kedua terjadi pada 1997 dengan terbentuknya Kabupaten Tulang Bawang berdasarkan UU RI Nomor 2 Tahun 1997. Wilayah Lampung Utara kembali mengalami pengurangan sebanyak empat kecamatan, yaitu Menggala, Mesuji, Tulang bawang Tengah, dan Tulang Bawang Udik.

Tulang Bawang yang melepaskan diri dari Lampung Utara dan berdiri sendiri menjadi sebuah kabupaten akhirnya juga mengalami pemekaran. Dengan disahkannya UU RI Nomor 49 Tahun 2008, tentang pembentukan Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung, maka sebagian bekas kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang menjadi bagian dari Kabupaten Mesuji, yaitu Mesuji, Mesuji Timur, Panca Jaya, Rawa Jitu Utara, Simpang Pematang, Tanjung Raya, dan Way Serdang.

Akhir kata, Dusun Umbul Parari yang awalnya berlokasi di Kabupaten Lampung Utara, saat ini telah berganti nama menjadi Dusun Pelita Jaya yang berada di bawah Desa Talang Batu, Kabupaten Mesuji, Kecamatan Mesuji Timur, Provinsi Lampung.

Peta kawasan hutan Register 45 sebelum dan sesudah pemekaran.
Peta kawasan hutan Register 45 sebelum (kotak pink) dan sesudah pemekaran (kotak hijau). Viriya Singgih.

Setelah sekian tahun lamanya, warga Pelita Jaya yang telah tersebar dan menetap di berbagai daerah mencoba kembali mengumpulkan kekuatannya. Pada 2006, mereka memutuskan untuk mendirikan tenda-tenda dan bermukim kembali di tanah kelahirannya itu untuk menuntut kejelasan hak dari perusahaan dan pemerintah. Tidak butuh waktu lama sebelum pihak perusahaan segera mengusir mereka dari sana.

Penembakan Made

Pada 2010 bahkan warga Pelita Jaya harus digusur pihak perusahaan hingga dua kali karena mencoba membangun pemukiman kembali di tanahnya yang lama. Pertama pada pertengahan tahun, sementara yang kedua pada 6 November 2010. Pada kesempatan kedua itulah terjadi penembakan yang merenggut nyawa Made Aste.

Tim terpadu yang datang untuk menggusur warga terdiri dari gabungan Brimob, Satpol PP, polisi, TNI, dan Pam Swakarsa. Perusahaan beralasan bahwa penembakan terjadi karena usaha aparat untuk mempertahankan diri dari penyerangan yang dilakukan warga terlebih dulu sambil membawa senjata tajam berupa clurit.

“Mereka berkumpul dan tiba-tiba datang menyerang kita. Seorang wanita bernama Rohadelia-lah yang begitu bersemangat memprovokasi warga untuk menyerang tim terpadu. Setelah kami menangkapnya, seorang pria berusaha menyerang aparat dengan clurit. Terpaksa aparat menembak kakinya. Melihat temannya jatuh, seorang pria ikut menyerang juga dengan clurit. Akhirnya, aparat menembak pula orang itu,” jelas Estate Manager sekaligus bagian Humas PT SI Ahmad Safari.

Bandi, seorang warga asli Dusun Pelita Jaya memiliki kisah berbeda. Dia mengatakan, “Warga memang datang membawa clurit karena baru pulang dari ladang, termasuk saya. Namun, kami tidak menyerang aparat dengan itu. Kami hanya membawa atau meletakannya di pinggang.”

Reporter Render sempat mencoba menemui Rohadelia, yang dipermasalahkan oleh Safari, di tenda pemukiman sementara warga Pelita Jaya di dalam kawasan hutan Register 45. Di sana, dia tidak berani bicara atau bahkan keluar dari tendanya karena trauma. Kejadian penangkapan dan penembakan yang dilakukan warga di depan matanya langsung ternyata membekas begitu rupa dalam ingatannya.

Render juga berhasil mendapatkan foto yang mengabadikan sosok Nyoman Sumerte yang terluka karena ditembak kaki kanannya, serta almarhum Made Aste yang terkapar sekarat di atas tanah setelah timah panas menembus perut kirinya. Foto ini ditunjukan oleh warga Pelita Jaya yang mendapatkannya dari bagian dokumentasi tim terpadu saat sedang melakukan penggusuran.

“Wartawan yang foto itu kenalan kita. Dia diam-diam mengirimkan foto kejadian lewat bluetooth kepada warga sesaat setelah kejadian,” ujar Sumaini, salah seorang warga yang ikut menyaksikan proses penggusuran.

Foto almarhum Made Aste dan Nyoman Sumerte sesaat setelah ditembak oleh tim terpadu yang menggusur warga Dusun Pelita Jaya (6/11/10).
Foto almarhum Made Aste (bawah) dan Nyoman Sumerte (kiri atas) sesaat setelah ditembak oleh tim terpadu yang menggusur warga Dusun Pelita Jaya (6/11/10). Viriya Singgih.

Silva Inhutani ingkar janji

PT Silva Inhutani (SI) sesungguhnya baru memiliki hak penuh mengelola kawasan Register 45 seluas 33.100 hektar sejak 1991. Namun, laporan Komnas HAM menunjukan bahwa PT SI telah mulai menggusur warga dan pemukimannya sejak 1986. Penggusuran itu pun tidak dibenahi dengan pemberian ganti rugi kepada warga.

“Saat ini kami hidup tanpa kejelasan dari pemerintah. Kami mohon pada pemerintah untuk memperjuangkan status dan nasib warga Pelita Jaya agar bisa menjadi warga negara Indonesia yang seutuhnya sehingga kami bisa hidup dengan layak dan lepas dari tangan oknum yang tidak bertanggung jawab,” harap Ngatno, salah seorang warga Dusun Pelita Jaya.

Sementara itu saat diverifikasi langsung oleh reporter Render, perwakilan dari PT SI justru berpikiran sebaliknya. Perusahaan menganggap warga tidak berhak lagi datang dan menempati tanah yang masih termasuk dalam kawasan hutan Register 45.

Safari juga mengatakan bahwa warga telah merusak daerah Register 45 dengan menebang ribuan hektar pohon akasia yang telah berusia sekitar tiga tahun. Hal itulah yang membuat perusahaan gerah dan menganggap warga Pelita Jaya sebagai pembawa masalah.

Johny Nelson Simanjuntak, anggota Komnas HAM bagian Subkomisi Pemantauan melihat bahwa hal itu terjadi karena situasi serba salah yang dihadapi warga.

“Tahun 1986 itu kan warga digusur. Sebagai petani, karena mereka butuh tanah untuk digarap dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Akhirnya, mereka bermain ‘petak umpet’ dengan pihak perusahaan dan mulai menanami lahan kosong yang ada dengan bibit-bibit palawija. Bahkan, terkadang mereka bekerja sama dengan Pam Swakarsa (penyalur jasa keamanan yang disewa perusahaan) untuk melakukan hal itu,” jelas Johny.

Padahal bila kita tilik lebih jauh, telah menjadi kewajiban bagi PT SI untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang bekerja di dalam atau sekitar area kerjanya. PT SI juga wajib memberikan ijin kepada masyarakat hukum adat / masyarakat tradisional dan anggota-anggotanya untuk berada di dalam area kerja untuk memungut, mengambil, mengumpulkan, dan mengangkut hasil hutan ikutan yang berguna untuk menunjang kehidupan sehari-hari mereka.

Walau begitu, janji itu tidak pernah benar-benar terlaksana hingga kini. Salah satunya karena nasib warga Dusun Pelita Jaya yang tidak mendapat status kependudukan yang jelas dan bahkan dilarang mencari nafkah di tanah kelahirannya sendiri.

Keadilan hukum dan solusi terbaik bagi semua pihak bisa diambil bila perusahaan mau mengulurkan tangannya dan pemerintah mau berlaku transparan dalam proses penyelesaiannya. Sayangnya, untuk saat ini PT SI sulit untuk melakukan kompromi karena tetap bersikukuh dengan pendiriannya.

“Kalau sekarang sudah tidak ada proses tawar-menawar lagi, karena mereka (warga Pelita Jaya) itu betul-betul perambah yang memasuki kawasan (Register 45) tanpa izin,” tegas Safari.

***

Catatan
1. Liputan ini dilakukan sebagai pemenuhan tugas akhir mata kuliah In-Depth Reporting pada semester lima jurusan Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Tulisan lengkap dikumpulkan dalam bentuk majalah bernama Render pada awal 2012.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top