Sentilan Telak Anak-anak

Anak-anak Teater Tanah Air ajak publik jaga lingkungan.
Anak-anak Teater Tanah Air ajak publik jaga lingkungan. Wowo Wahono.

Selalu ada yang khas dari lakon Teater Tanah Air. Di setiap pementasannya, isu lingkungan selalu jadi bahasan utama. Teater anak ini membungkusnya dengan keriangan penuh warna. Kenaifan anak-anak dalam bercerita kerap sukses menyentil kita lewat berbagai cara.

Yang teraktual adalah kala mereka membawakan naskah Freedom karya Putu Wijaya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 23-24 Agustus 2014. Di bawah arahan Jose Rizal Manua, anak-anak itu berkisah soal perjuangan hutan dalam melawan arus pembangunan dan modernisasi.

Alkisah, para pohon di hutan sedang kebingungan. Rencananya, mereka semua akan ditebang saat purnama datang. Pusat perbelanjaan terbesar di dunia akan berdiri kokoh menggantikan hutan beserta seluruh isinya.

“Kalau ditebang, kami tinggal di mana?”

“Di dapur jadi kayu bakar.”

Mereka pun saling bersahutan kelimpungan. Di tengah perdebatan, datang seorang penebang kayu berbadan besar dengan tawa menggelegar.

“Kamu hutan jelek. Kamu pohon buruk. Suka ribut, mengotori kota dengan daun kering. Ini malam kamu yang terakhir,” ucapnya.

Lantas, sang penebang pun istirahat di tengah hutan. Ia tidur sembari menunggu saatnya purnama tiba. Saat itulah dua penunggu hutan masuk menampakkan diri. Mereka mengenakan topeng dan berdandan selayaknya dukun sakti.

Para penonton kerap terpancing tawanya melihat polah kedua dukun cilik itu. Mereka membawa radio besar lalu bernyanyi dan berjoget bersama. Salah satunya pun sempat asal mengucap mantra untuk memanggil angin puting beliung. Saat angin besar datang menerjang, mereka justru ketakutan dan bersembunyi di balik pepohonan.

Tak lama, datanglah seorang remaja laki-laki dengan baju warna-warni. Namanya Taksu. Ia begitu antusias memanggil kawan-kawannya untuk ikut bermain di dalam hutan. Namun, hanya suara penolakan yang jadi jawaban.

“Aku lagi main game online! Ngapain sih ngajakin terus?”

“Aku lagi jaga adik, bapak dan ibu lagi kondangan!”

“Enggak mau! Lagi tidur, soalnya besok libur!”

Taksu pun terlihat kecewa karena teman-teman sudah lupa asyiknya bermain di alam terbuka. Karena teriakannya, sang penebang sontak terbangun dari lelap. Ia segera menghardik remaja itu. Tidurnya jadi terganggu, padahal nanti malam ia mau kerja keras menebang kayu.

Setelah si penebang gemuk selesai marah-marah, datanglah pimpinan proyek penebangan hutan; seorang perempuan berkemeja hijau dan berikat kepala merah. Perdebatan terjadi semakin sengit. Namun semua sontak terdiam ketika dua bayang besar datang menampakkan diri. Dua penunggu hutan ternyata juga tak tahan mendengar celotehan para perusak hutan.

Perempuan dan si gemuk langsung ambil langkah seribu. Taksu dan para pohon bisa sedikit bernapas lega. Mereka segera berembuk cari cara menyelamatkan hutan dari terjangan pembangunan.

“Panggil saja si purnama sekarang, jadi saat si gendut bangun bulannya sudah pergi.”

“Bagaimana caranya memanggil bulan purnama?”

“Itu ada tali. Tarik saja bulannya.”

Secara sureal, mereka bahu-membahu menarik bulan dengan tali agar tiba lebih cepat. Awalnya, Taksu bahkan mengajak para penonton agar naik ke atas panggung dan ikut menarik bulan itu. Namun tak ada yang sungguh tergerak untuk membantu. Ironis, karena kita memang kerap mencerca pencemaran alam atau perusakan lingkungan, tapi enggan benar-benar turun tangan.

Saat sedang bersama menarik bulan, tak sengaja Taksu terjatuh menimpa Dewi, sepupunya sendiri. Alhasil, pertengkaran pun terjadi. Kedua orangtua mereka juga ikut datang “meramaikan” suasana.

Keributan tak berlangsung lama karena datang kabar bahwa hujan lebat turun membawa banjir yang menenggelamkan rumah Taksu. Taksu dan ayahnya segera pergi menyelamatkan barang-barang sebelum semua telanjur tenggelam.

Tak disangka, setelahnya kebakaran juga menimpa rumah Dewi. Anomali alam dewasa ini berakhir pada bencana yang tak kunjung henti.

Untunglah tak ada korban jiwa. Semua bekerja sama membantu Taksu dan Dewi hingga barang-barang mereka pun selamat. Kejadian ini membuat ayah Taksu dan ibu Dewi berbaikan. Mereka pun kembali pada fokus utama untuk mencegah perusakan hutan. Kita memang kerap ribut sendiri hingga lupa alasan awal memulai perjuangan.

Lalu, si penebang gemuk muncul lagi. Ia kaget melihat purnama telah membubung tinggi. Ia terburu mengambil kapak dan ingin menebang seluruh pohon yang ada. Dua dukun cilik kembali muncul dan menakuti si gemuk hingga ia lari tunggang langgang.

Semua pun bersorak sorai. Singkat cerita, dua dukun cilik itu membuka topeng dan menunjukkan identitasnya. Taksu terkejut karena mereka berdua adalah teman mainnya selama ini.

“Kami terpaksa agar pohon-pohon tidak ditebang,” kata mereka beralasan.

Hutan selamat dan anak-anak bisa bebas bermain kembali di sana. Itu bisa terjadi karena semua bekerja sama, tak berdiam diri walau tahu bencana akan terjadi. Pembangunan memang tak bisa dibiarkan ketika telah merenggut masa depan alam dan generasi penerus bangsa.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 1 September 2014.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top