Sentilan Telak untuk Polisi

Tahanan terakhir meninggalkan penjara.
Tahanan terakhir meninggalkan penjara. Viriya Singgih.

Kepala Polisi kelimpungan. Tahanan terakhir dalam penjara, sang revolusioner sejati yang pernah melempar granat ke wajah seorang jenderal, tiba-tiba berubah pikiran. Ia mengaku telah bertobat, dan bermaksud meneken surat perjanjian patuh dan taat pada pemerintahan yang sedang berjalan.

Namun bila itu terjadi, penjara akan kosong melompong. Purna sudah pekerjaan para polisi. Hakim dan jaksa akan menganggur, sementara pemerintah bisa mengklaim sukses membangun negara ideal tanpa cela, yang selama ini hanya ada dalam angan utopia. Tak ada pilihan lain, Kepala Polisi mengerahkan segala cara untuk mencari tahanan baru agar penjara tetap terisi, dan institusi tidak dibubarkan.

Kisah absurd ini dimainkan oleh Teater Universitas Indonesia (UI) dalam pentas Polisi, 12-13 Februari 2015, di Gedung IX Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya UI, Depok. Mereka mengadaptasi naskah The Police karya seniman asal Polandia, Sławomir Mrożek, dalam rangka acara satu dekade berdirinya teater tersebut. Alfian Siagian jadi sutradaranya.

Adegan dibuka dengan perdebatan. Kepala Polisi tak percaya begitu saja dengan segala dalih sang tahanan. Karena itu, ia bermaksud menguji dengan menanyakan pendapat tahanan itu tentang kinerja pemerintah saat ini.

“Kemajuan total telah diraih negara kita. Hanya dengan baca koran saja kita sudah mengerti. Apa ada sesuatu yang tidak memuaskan? Lihat saja gaji Bapak sendiri,” ujar sang tahanan.

Lalu Kepala Polisi mencoba memaki dua pemimpin negara saat ini: Raja Muda dan Baginda Wali. Ia berujar, Baginda Wali adalah seorang yang beloon dan bejat, sementara Raja Muda hanyalah orang kerdil. Tak disangka, sang tahanan naik pitam hingga ingin menghajar Kepala Polisi dengan sebuah bangku kayu.

Tak ada jalan lain. Tahanan terlihat begitu tulus mencintai negara ini. Ia pun dibiarkan meneken surat perjanjian dan dilepaskan. “Kamu betul-betul mengecewakan aku. Aku pikir kamu bisa bertahan lebih lama lagi,” kata Kepala Polisi.

Kepala Polisi berpikir keras mencari solusi. Lalu ia datang ke rumah seorang sersan bawahannya yang setia. Selama ini, sang sersan begitu patuh. Ia pun menurut kala ditugaskan masuk ke Dinas Provokasi. Tugasnya mudah saja, turun ke jalan dengan pakaian sipil, lalu meneriakkan slogan-slogan antipemerintah. Bila ada warga yang terpancing dan ikut melakukan hal serupa, ia akan segera menangkapnya.

Namun di negeri yang serba damai, tugas ini jadi sungguh sulit. Rakyat memang terprovokasi, bukan untuk ikut mencaci, tapi untuk menghajar sang sersan karena merasa pemimpin mereka dilecehkan. Apalagi, sersan benci pekerjaan itu karena ia mesti menanggalkan seragam dinasnya. Kesetiaannya pada institusi polisi, tak terkalahkan.

Maka, sersan sontak terkejut ketika Kepala Polisi datang ke rumahnya menawarkan ide untuk bisa meringkus tahanan baru. “Yang harus dilakukan saat ini adalah menangkap seseorang yang melakukan gerakan antipemerintah. Orang ini tak bisa ditemukan dalam peristiwa biasa. Kita harus menciptakan orang ini, dan pilihanku telah jatuh kepadamu,” kata Kepala Polisi.

Kepala Polisi membujuk sersan agar mau jadi tahanan baru.
Kepala Polisi membujuk sersan agar mau jadi tahanan baru. Viriya Singgih.

Kepala Polisi mengeluarkan bujuk rayunya. Ia berujar, sersan adalah seorang juru selamat. Hanya polisi super dengan kesetiaan tinggi yang pantas untuk menerima mandat ini. Alhasil, sersan mengangguk setuju.

Lembaga kepolisian berhasil diselamatkan. Sersan mendekam dalam tahanan, dan dianggap tokoh revolusioner berbahaya. Sang jenderal pun datang menemuinya. Tak disangka, tahanan pertama dalam cerita ini ikut mendampingi sang jenderal. Kini, ia bertugas sebagai staf khusus bidang revolusi dan kegiatan antipemerintah.

Tahanan pertama datang kembali bersama sang jenderal.
Tahanan pertama datang kembali bersama sang jenderal. Dokumentasi Teater Universitas Indonesia.

Perdebatan segera terjadi di antara para polisi. Staf khusus mencoba meyakinkan sang jenderal, bahwa sersan memang tokoh revolusioner sejati. Kepala Polisi bersikeras, staf khusus itu tak bisa dipercaya. Jenderal pun kesal dengan kelakuan dua bawahannya dan bermaksud menangkap mereka. Di akhir cerita, sang jenderal berkata, “Sepertinya polisi banyak pekerjaan sekarang.”

Pentas ini seakan menyentil konstelasi lembaga kepolisian saat ini. Konflik berkepanjangan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi terasa semakin konyol. Polisi dianggap melakukan aksi balas dendam atas penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka sesaat setelah ia jadi calon tunggal Kepala Polri. Alhasil, seluruh komisioner KPK dilaporkan ke polisi.

Seperti tak ada kerjaan lain yang lebih penting.

Baca juga Beda Rasa Polisi UI.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 23 Februari 2015.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top