Ingat Andriy Shevchenko? Pemain dengan puluhan rekor luar biasa yang bisa membuatnya menjadi legenda bahkan sebelum ia pensiun. Predikat itu lah yang ia sandang saat pindah dari AC Milan ke Chelsea dan memecahkan rekor transfer Inggris saat itu. Sekarang Anda ingat Fernando Torres, lalu sebutkan satu kata yang terlintas di kepala saat memikirkan keduanya. Saya yakin, kata itu adalah “gagal”.
Sheva adalah peringkat dua top scorer AC Milan sepanjang masa setelah Gunnar Nordahl. Total 173 gol yang dicetaknya dari 296 pertandingan telah membawa AC Milan menjuarai Serie A, Coppa Italia, Piala Super Italia, Liga Champions Eropa, serta Piala Super Eropa. Gol bisa Sheva cetak dengan berbagai cara, dari kaki kanan, kaki kiri, sundulan, penalti, juga tendangan bebas. Kehadirannya merupakan ancaman bagi seluruh kiper di dunia. Harga 30,8 juta poundsterling yang menjadi rekor transfer di Inggris saat itu terasa begitu pantas untuk memboyongnya dari San Siro ke Stamford Bridge.
Dua tahun terlewati dan kesimpulannya adalah, Chelsea telah membeli mimpi yang tak terwujud. Ya, keinginan untuk melihat Sheva sebagai top scorer Liga Inggris atau bahkan Liga Champions Eropa terasa sangat fiksi, persis seperti mimpi. Cuma 22 gol ia sumbangkan dari 76 pertandingan bersama The Blues. Setelah itu, ia mencoba mengembalikan peruntungannya dengan kembali ke AC Milan dengan status pinjaman, tapi performanya tidak pernah kembali ke puncak. Ia benar-benar kehilangan magisnya.
Setelah kegagalan transfer Sheva, Roman Abramovich, bos besar Chelsea, terkesan berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Setiap musimnya hanya ada satu atau dua pemain berharga lumayan mahal yang berani ia datangkan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal itu dapat kita lihat pada diri Florent Malouda (13,5 juta pounds – 2007/08), Nicolas Anelka (15 juta pounds – musim dingin 2007/08), Jose Bosingwa (15,8 juta pounds – 2008/09), dan Ramires (17 juta pounds – 2010/11). Uang setara harga transfer Sheva atau lebih, hanya akan dikeluarkan untuk seseorang yang dirasa tepat dan pasti dapat membawa kejayaan bagi klub. Orang yang dirasa pantas dihargai setinggi langit tersebut ternyata adalah Torres.
Torres yang telah membangun reputasi sebagai salah satu striker terbaik Eropa di Liverpool, diboyong dengan harga 45 juta pounds. Harga itu cukup untuk kembali memecahkan rekor transfer di dataran Inggris yang sebelumnya dipegang oleh Robinho. Mencetak 82 gol dari 214 penampilan liga bersama Atletico, serta 65 gol dari 102 laga bersama Liverpool, Torres dikenal sebagai pemain depan dengan kemampuan lengkap dan kecepatan lari tinggi. Gaya bermain tersebut dianggap lebih cocok di Inggris dibanding Spanyol. Celah yang banyak tercipta akibat permainan agresif klub-klub Liga Inggris dapat dengan mudah dieksploitasi Torres dengan kecepatannya untuk menjadi sebuah peluang terciptanya gol.
Torres juga merupakan andalan timnas Spanyol yang telah mempersembahkan trofi Piala Eropa dan Piala Dunia bagi negaranya. Gol yang ia cetak dan menjadi penentu kemenangan Spanyol di final Piala Eropa 2008 benar-benar merepresentasikan caranya bermain sepak bola. Setelah mengambil posisi dan mencari waktu yang tepat, ia berlari menyambut umpan terobosan Xavi. Dengan kecepatan tinggi, ia mengejar bola yang berada dalam posisi 50-50 di antara dirinya dan kiper Jerman, Jens Lehmann. Seperti yang telah dunia saksikan, kaki Torres lebih cepat sepersekian detik dari tangan Lehmann dan gol pun tercipta.
Ketika akhirnya ia pindah ke Chelsea, tidak ada yang menyangsikan kehebatan mantan kapten Atletico Madrid ini. Banyak orang menganggapnya dapat membawa permainan Chelsea ke tingkat lebih tinggi dan terus bersinar untuk tahun-tahun ke depan. Torres pun menganggap Chelsea sebagai tempat yang tepat untuk mengembangkan kariernya dan meraih kejayaan berupa trofi-trofi bergengsi. Sesuatu yang tidak pernah bisa ia dapatkan di Liverpool.
Sayang, fakta benar-benar berbicara sebaliknya. Sampai tulisan ini dimuat, telah 13 pertandingan atau 725 menit dilewati Torres tanpa gol dan assist bagi Chelsea. Sejak bermain untuk Chelsea, peforma Torres secara individu dan tim pun turun drastis. Hal itu dapat dilihat pada pertandingan leg kedua perempat final Liga Champions Eropa Chelsea melawan MU di Old Trafford. Saat itu kiper MU, Edwin van der Sar berlari sejauh 5.176 meter sepanjang pertandingan. Sementara itu Torres hanya berlari sejauh 5.112 meter. Selain itu, dalam lima pertandingan terakhir sebelum kedatangan Torres, Chelsea dapat mencetak 18 gol. Tapi sejak kedatangannya, Chelsea hanya dapat mencetak 16 gol dari 14 pertandingan terakhir. Chelsea seperti bermain dengan 10 orang saja setiap kali memainkannya. Kontribusinya, begitu minim.
Salah satu penyebab hilangnya taji Torres di depan gawang lawan adalah perbedaan karakter dan cara bermain Chelsea dengan mantan klubnya, Liverpool. Liverpool era Torres sering bermain dengan umpan langsung ke depan. Dengan begitu, Torres dapat memaksimalkan kecepatannya dan menaklukan pemain belakang atau kiper lawan untuk mencetak gol. Selain itu pada masa kepelatihan Rafael Benitez, Torres selalu mendapat info tentang kelemahan masing-masing pemain yang akan dihadapinya, sehingga dapat dengan mudah menaklukannya. Hal itu terbukti berhasil dengan total 33 gol yang ia cetak di musim pertamanya bersama The Reds. Produktivitasnya menurun di musim kedua akibat cedera yang datang silih berganti.
Permainan Chelsea jelas berbeda dengan Liverpool. Para pemain The Blues lebih sering memainkan bola dari kaki ke kaki. Permainan punggawa-punggawa Chelsea semodel Malouda, Lampard, Essien, dan Benayoun memungkinkan hal itu terjadi. Mereka adalah gelandang-gelandang elegan yang bisa menjaga dan mengolah bola untuk terus mengalir dengan baik. Torres pun harus bisa lebih terlibat dalam permainan dan lebih jarang mendapat peluang bersih untuk mencetak gol karena ia bukan satu-satunya targetman di depan gawang lawan. Drogba jelas lebih cocok bermain dalam skema ini. Fisik tangguh untuk menahan bola, serta tingkat penyelesaian peluang yang tinggi membuatnya dapat bermain lebih efektif.
Sekarang, Torres seperti memetik buah karma yang ia tanam sendiri. Dua kali sudah ia meninggalkan klub dengan suporter yang sangat mencintai dan mengharapkannya. Dua kali sudah ia mengecewakan para pelatih dan pengurus klub yang telah mempercayainya sepenuh hati. Di Chelsea, ia malah mengecewakan pihak klub yang mempercayai dan membanderolnya begitu tinggi. Fans yang biasanya begitu mencintainya pun malah mencacinya tanpa ampun. Hal itu sungguh bisa dimengerti karena mungkin saja dalam beberapa tahun ke depan, orang-orang akan membicarakan Torres sebagai pembelian terburuk abad ini. Sesuatu yang akan membuat Roman kembali trauma mengeluarkan dompet dari sakunya.
Well, kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Dennis Bergkamp butuh tujuh pertandingan untuk mencetak gol pertamanya bagi Arsenal, sementara itu Thierry Henry malah butuh sembilan pertandingan. Setelah itu, yang kita tahu adalah mereka berdua sukses menjadi legenda bagi para Thee Gooners. Selain mereka pun ada Diego Forlan yang butuh 27 pertandingan untuk mencetak gol pertamanya bagi Manchester United. Karena hal itu lah label ‘Diego For-Nothing’ sempat melekat di dirinya. Tapi setelah pindah dari MU, ia malah sukses di Villarreal. Sekarang semua tergantung pada Torres sendiri. Jalan mana kah yang akan ia pilih, jalan Sheva atau jalan Henry?
***