“Engga boleh keenakan.”
Itulah kata-kata khas Rafael Miku Beding yang selalu ia ucapkan dengan senyum iseng layaknya anak kecil baru saja mengutil permen dari warung. Bila sudah keluar kalimat sakti itu, saya dan teman-teman biasanya cuma bisa gemas menahan kesal dan geleng-geleng kepala.
Misalnya kala kami sedang mendengarkan musik bersama-sama di dalam mobil. Saat saya dan anak-anak lain sedang asyik-asyiknya karaoke, tiba-tiba Raff mematikan radio jelang lagu masuk ke bagian reffrain. Lalu kami akan memaki dan mengeluh berjemaah.
“Taiklah Raff!”
“Woy, Anjing!”
“Apaan sih, Raff?!”
Lalu dengan santai dia akan membalas, “Engga boleh keenakan.”
Contoh lainnya adalah saat dia begadang mengerjakan tugas kampus di Lawson. Bila sudah masuk jam-jam darurat dini hari tapi tugas belum selesai dan kantuk tak tertahankan lagi, ia akan menjejerkan dua bangku, menjulurkan kedua kaki dan memejamkan mata sesaat. Ketika saya tanya, kenapa tidak pakai tiga bangku saja agar kaki bisa lebih leluasa, ia akan menjawab, “Engga boleh keenakan.”
Di lain waktu, saya pernah datang ke rumahnya saat subuh untuk mengerjakan tugas mendesain poster seminar. Namun saya kaget betul kala melihat pintu depan rumahnya sedikit terbuka dan kunci sepeda motor masih tercantel rapi di lubangnya. Lalu saya berjalan perlahan masuk ke kamar Raff dan menemukan dia sedang tidur pulas dengan posisi menungging. Sontak saya tertawa keras. Mungkin dia capai sekali dan ingin segera istirahat setibanya di rumah. Namun agar tidak kebablasan hingga pagi, ia mencoba tidur dengan posisi se-tidak-nyaman mungkin.

Saya kenal Raff sejak pertengahan 2009, tepatnya di semester 1 masa perkuliahan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara. Dari awal gayanya agak nyentrik. Ia senang menggunakan kaus hitam dan rantai besi di celana seperti penggemar Metallica kemarin sore. Satu lagi, ia senang betul dipanggil Bank Raff.
“Pakai huruf ‘k’ ya di ‘Bank’-nya. Biar kaya bank beneran, gue bisa menyimpan banyak uang di masa depan,” kata Raff absurd.
Ayahnya asal Flores, NTT, sementara ibunya keturunan suku Jawa. Karena itu saat baru lahir dulu, ia diberi nama yang menggabungkan unsur Flores dan Jawa sekaligus. Saya lupa apa tepatnya. Kalau tidak salah, ada kata “Raden” dan “Beding” di sana. Namun, Raff kecil sakit-sakitan menyandang nama itu. Kata “orang pintar”, tidak baik menggabungkan dua unsur kesukuan jadi satu di namanya. Akhirnya ia diberi nama Flores saja: Rafael Miku Beding.
Sejak itu ia sehat luar biasa. Terlampau sehat malah. Badannya besar, suaranya keras, tidak bisa diam, dan kalau makan banyak betul. Menurut Raff, makanan yang enak adalah makanan yang banyak. Saya dan teman-teman yakin, level Raff kekenyangan itu sama dengan level orang biasa muntah-muntah. Kalau level raff muntah-muntah, lebih baik kita jangan mencobanya.
Sekilas tampangnya seperti preman Tanah Abang, tapi hatinya bisa semanis Hello Kitty. Bila ada teman membutuhkan, ia pasti akan membantu sebisa mungkin. Dulu di semester 2, dia pernah membantu saya jadi model untuk tugas esai foto kehidupan seorang gay. Di semester 3, dia juga yang menemani kala saya dan beberapa kawan harus melakukan observasi kehidupan waria di Taman Lawang untuk mata kuliah “Sistem Sosial Budaya Indonesia”.


Namun, Raff punya fobia yang aneh. Ia takut sekali dengan keju, alpukat, dan karet. Anda tidak salah membaca. Pria gempal asal Flores ini takut karet. Pernah suatu kali kami sedang berkumpul bersama di kos Rhesa untuk bermain Pro Evolution Soccer. Saat tiba giliran Raff main, saya dan teman-teman iseng bermaksud menjepretnya dengan karet dari belakang. Tiba-tiba Raff sadar dan terkejut. Mendadak mukanya ditekuk, lalu ia berkata sembari melengos keluar kos, “Ah, mainnya gitu sih.”
Raff ngambek.
Saya cuma bisa ketawa geli sembari terheran-heran melihat sikapnya itu. Padahal, Raff juga orangnya tak kalah iseng. Dulu dia pernah menginap di kos saya di daerah Kelapa Dua, Tangerang. Paginya, saya mandi dan bersiap berangkat ke kampus. Keluar dari kamar mandi, tiba-tiba dia sudah mesem-mesem sambil memegang ponselnya sendiri.
“Bagus ya, Wir?”
Saat saya perhatikan benar-benar, ternyata dia sudah menukar casing ponsel saya dengan punyanya.
“Itu kan punya gue.”
Lalu perlahan dia mendekat, dan menepukkan tangannya di bahu saya sembari berujar, “Udeeeeeh.”
Maksud kata itu kira-kira begini, “Sudahlah, Kawan. Sudahlah.”
Yang paling mengesalkan adalah, dia mengucapkannya dengan nada penuh simpati dan seakan meminta saya merelakan begitu saja.
“Terus hape gue engga pakai casing gitu?”
“Itu kan ada casing gue yang lama.”
Saat saya lihat ke meja, Raff sudah menaruh casing ponselnya di atas meja, dekat ponsel saya. Casing-nya sudah buluk dan longgar.
“Yuk, jalan ke kampus. Udah mau telat, Wir.”
“Eh, tapi…”
“Udeeeeeh.”
Memang Raff setaik itu.
Tidak hanya casing ponsel saya, dia juga pernah melakukan teknik serupa untuk gelangnya Gebi, gantungan kunci Gusti, dan flash disk Flo. Karena itu kita makin geregetan untuk mengisengi Raff balik saat ada kesempatan.
Di luar itu, Raff dikenal sebagai mahasiswa yang cukup aktif di kampus. Ia sempat bergabung dengan Teater KataK, Keluarga Besar Mahasiswa, dan majalah kampus Ultimagz. Ia juga pernah “ditumbalkan” jadi ketua panitia pameran jurnalistik Commpress pada 2012.


Jadi ceritanya, dulu saya punya ide untuk membuat pameran sebagai ajang unjuk gigi anak-anak jurusan jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Sebelumnya, anak-anak DKV yang sering mengadakan pameran foto dan instalasi. Bagi anak jurnalistik, saat itu belum ada wadah yang tepat untuk aktualisasi maupun berkompetisi.
Lalu saya ceritakan usul saya pada Krisna dan Jody. Mereka berdua setuju dan ikut antusias dengan ide ini. Kami pun sepakat untuk mengumpulkan beberapa anak sebagai panitia, salah satunya Raff. Saat rapat perdana, hal pertama yang perlu kami putuskan adalah pembagian peran dalam struktur panitia pameran yang akhirnya diberi nama Commpress ini.
“Oke, pertama kita mesti cari dulu ketua panitianya,” kata saya. “Gue usul Raff aja. Yang setuju mari angkat tangan.”
Semua peserta rapat sontak mengangkat tangan sembari mesem-mesem. Raff cengo.
“Loh kok gitu sih?! Mending pakai voting aja gimana?”
“Oke kalau Raff maunya begitu. Saya usul calon ketua kedua adalah Babang. Sekarang mari angkat tangan, siapa yang pilih Raff?”
Semua peserta rapat kembali mengangkat tangan sembari mesem-mesem. Raff makin cengo.
Saat Raff mau protes kembali, saya mendekat dan menepukkan tangan di bahunya sembari berujar, “Udeeeeeh.”
Kini selewat beberapa tahun, saya dan teman-teman masih bisa tertawa kencang sekali bila kejadian “penumbalan” itu diceritakan ulang. Raff kena batunya.
Berteman dengan Raff memang menghasilkan banyak cerita. Karena itu, saya pasti akan merindukan masa bodoh-bodohan bersama dia dan kawan-kawan. Apalagi setelah Raff memutuskan untuk pulang kampung ke NTT pada Jumat, 20 Maret 2015. Dia ingin membuat dan mengembangkan media lokal di sana.
“Sampai berapa lama kira-kira di sana Raff?” tanya saya beberapa hari jelang keberangkatan Raff.
“Paling cepat setengah tahun deh. Doain aja.”
“Gimana kalau rencana lo gagal Raff? Lo mau ngapain nanti?”
“Engga ada Plan B, Wir. Cuma ada Plan A. Harus berhasil.”
Itulah Raff, bila sudah bertekad, tak ada yang bisa menghentikannya. Sesungguhnya, dia punya segala pilihan untuk bertahan di Jakarta, entah bergabung dengan media mainstream atau mengembangkan usaha sendiri. Namun, dia lebih memilih pulang kampung dengan segala keterbatasan di sana, dan memulai usaha dari bawah.
Dari sana, saya tiba-tiba teringat kata-kata yang dulu begitu sering diucapkannya.
“Engga boleh keenakan.”

Selamat jalan. Sehat-sehat di sana, Kawan.