Dua anak kecil berlatih tari di seberang pura. Mereka hanyut dalam alunan nada. Setiap gerakan mengalir seirama. Tak lama, keluar pria berbaju putih. Ikat kepala khas Bali, udeng, bertengger megah di atas kepalanya. Gayanya angkuh. Ia terkesan tak senang dengan kehadiran anak-anak kecil itu.
“Sudah bayar iuran belum? Kalau belum jangan latihan di sini. Kita kan bayar pajak untuk tanah ini,” kata pria bernama Marwoto itu.
Alhasil, anak-anak itu terpaksa menyingkir. Miris rasanya kala anak-anak justru dilarang tumbuh besar di tanah kelahirannya sendiri. Pembangunan masif memang kerap mengikis akar budaya tradisional kita. Salah satunya terjadi di Bali.
Inilah yang ingin disampaikan dari pentas Roman Made in Bali karya kelompok Indonesia Kita di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pentas berlangsung selama dua hari, tepatnya pada 12-13 September 2014. Para seniman lintas generasi berkumpul di sana, dari Butet Kartaredjasa sebagai produser, Agus Noor sebagai penulis naskah, serta Putu Fajar Arcana sebagai tim kreatif.
“Industri pariwisata pada satu babak karena alasan devisa bisa membekukan. Di situ industri justru bekerja sebagai mesin yang menghentikan ‘produksi’. Intinya, Bali tidak boleh berkembang, karena tradisi yang seksi itulah yang menghidupi,” kata Putu dalam pengantarnya.
Padahal, Bali bukanlah makanan siap saji. Ia adalah kehidupan yang terus berkembang secara mandiri. Para seniman lokal generasi muda seperti gitaris I Wayan Balawan, aktris Ayu Laksmi dan penyanyi sopran Heny Janawati seolah ada untuk menerobos kebekuan itu. Mereka besar dalam pengaruh kultur pop Barat, tapi berhasil mengawinkannya dengan akar kearifan lokal Bali saat berkarya.
Karena itu, mereka bertiga ikut serta dalam pementasan ini. Balawan bahkan jadi pemeran utama bernama Made. Ceritanya sederhana, tapi cukup mengena.
Made adalah anak kandung dari Marwoto, guru spiritual Bali yang disegani oleh masyarakat setempat. Kedatangan Roman, turis asal Kanada, mengancam hubungannya dengan Shita. Komedian Cak Lontong berperan sebagai Roman. Di dalam cerita, Roman jatuh cinta pada Shita dan berusaha melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
“Saya punya rencana, kalau kamu mau sama aku, aku datangkan teman-teman investor dari luar negeri. Kamu mau aku bangunkan apa?” ujar Roman. “Kita bikin Bali jadi pulau metropolitan.”
Roman dan Made kemudian bersaing ketat. Dalam sebuah adegan, mereka beradu kemampuan dalam bermusik untuk mencari siapa yang terunggul. Saat itu, Roman membawakan lagu-lagu andalan dari Barat seperti “No Woman, No Cry” karya Bob Marley dan “Smoke on the Water” karya Deep Purple. Di sisi lain, Made membalas dengan mengangkat lagu-lagu etnik tradisional dari Bali.
Kehadiran Cak Lontong dalam pentas ini jadi daya tarik tersendiri. Setiap tingkahnya hampir selalu sukses memancing tawa para penonton. Selain itu, penonton juga kerap terhibur mendengar lengkingan tinggi Heny, suara merdu Ayu, ataupun petikan gitar Balawan. Belum lagi suguhan berbagai tarian khas Bali seperti kecak dan barong yang dibawakan oleh Komunitas Badan Gila dan Sanggar Paripurna.
Secara estetis, panggung pun jadi lebih berwarna dengan permainan wayang listrik oleh I Made Sidia. Misalnya saja ketika Roman dilukat atau dibersihkan jiwanya oleh Marwoto dan Made atau kala Shita bermonolog mengisahkan kegundahan hatinya yang terjebak di antara dua pilihan. Latar beragam warna dengan siluet wayang jadi pemanis yang tak kalah megahnya.
Tokoh Shita diperankan oleh aktris muda Ayushita. Sayang, karakter yang dibawakannya kurang kuat sehingga adegan monolog pun terasa tanggung. Suaranya seperti omelan tetangga yang tak jelas lafalnya.
“Dicintai satu laki-laki merupakan suatu anugerah. Tapi ketika kita dicintai dua laki-laki sekaligus itu musibah,” kata Shita. “Keduanya terasa begitu dekat, tapi begitu sulit untuk disentuh.”
Lalu, Shita perlahan bisa memantapkan pilihan. Ia datang menegur Roman yang sedang berbincang dengan Marwoto. “Kamu bilang ke sini ingin memikat saya, tapi diam-diam justru ingin mengambil semua yang saya miliki. Kamu seharusnya tidak mencoba menjauhkan saya dari lingkungan yang membesarkan saya,” kata Shita.
Selama ini, modernisme memang terus menggerus eksotisme Bali. Salah satu yang terus memantik kontroversi dalam beberapa tahun terakhir adalah program reklamasi Teluk Benoa di Bali. Untuk itu, seluruh rakyat harus bersatu; mengingat kembali akar budaya sendiri dan memperjuangkan apa yang selama ini mereka miliki.
“Jangan kapok jadi Indonesia. Satu lagi, tolak reklamasi,” kata Butet saat menutup pementasan.
***