Setahun Jadi Wartawan Ekonomi

Liputan rapat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan Pertamina pada Juni 2017.
Liputan rapat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan Pertamina pada Juni 2017.

Hari ini, 1 Oktober 2017, tepat setahun sudah saya bekerja sebagai wartawan ekonomi, sesuatu yang dahulu selalu saya anggap sebagai mimpi buruk dan hindari secara pasti.

Bahkan dalam mimpi terliar sekalipun, sebelumnya saya tak pernah membayangkan bakal berkutat dengan segala hal yang berbau ekonomi dan bisnis. Tapi jalannya justru seakan sengaja berbelok ke sana, betapapun saya telah merajuk dan memohon-mohon minta pengampunan.

Seperti telah saya ceritakan sebelumnya, saya resmi bekerja sebagai calon wartawan The Jakarta Post sejak 2016. Pada masa dua bulan pertama, saya dan delapan orang kawan seangkatan mesti mengikuti beragam kelas persiapan di kantor, entah soal dasar-dasar jurnalistik maupun penulisan bahasa Inggris.

Setelahnya, saya dan kawan-kawan mulai turun ke lapangan pada Maret untuk mengikuti on-the-job training di berbagai desk, entah nasional, metropolitan ataupun bisnis. Tiap tiga bulan sekali, kami akan di-rolling ke desk yang berbeda sampai genap setahun menyandang status sebagai calon wartawan. Setelahnya, kami akan dievaluasi oleh para mentor dan editor. Bila dirasa memuaskan, barulah kami diangkat sebagai wartawan tetap dan naik gaji.

Pada putaran pertama, saya ditugaskan membantu tim redaksi online The Jakarta Post. Selama tiga bulan di sana, saya banyak berkutat menulis soal politik, hukum dan hak asasi manusia (HAM). Saya hampir tak pernah menulis soal ekonomi dan bisnis. Ibaratnya, dari 100 berita yang saya hasilkan, mungkin hanya lima yang terkait dengan sektor yang saya hindari betul tersebut.

Lah seperti kena tulah, saya justru kemudian ditempatkan di desk bisnis pada putaran kedua. Sontak, saya langsung stres.

Selama tiga bulan meliput bisnis dari Juli hingga September, saya tak pernah punya beat pasti. Satu hari menulis soal Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, besoknya datang ke konferensi pers Bank Indonesia, di hari lain meliput paparan kinerja perusahaan terbuka yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.

Sungguh, pada masa-masa itu, tiap kali datang ke tempat liputan saya berubah jadi orang yang sangat kalem. Saat para wartawan lain berlomba melontarkan pertanyaan kepada narasumber saat melakukan door-stop interview, saya hanya bisa mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mengacungkan alat perekam.

Setelahnya, barulah saya dengar ulang rekamannya, coba untuk memahami persoalan serta mencari arti berbagai istilah asing yang diucapkan si narasumber. Kalau masih tidak paham, baru saya tanya wartawan lain yang lebih senior, memohon bantuan penjelasan dengan raut wajah putus asa.

Prinsip saya, kalau mesti mati di sini, lebih baik mati terhormat. Jadi usaha dulu saja, coba kasih yang terbaik walau setiap hari rasanya begitu memusingkan.

Tak disangka, kinerja saya dianggap memuaskan. Pada akhir September, saya dipanggil ke ruangan Pak Endy Bayuni, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post. Di sana, ia memberi tahu bahwa saya tidak perlu mengikuti putaran ketiga dalam on-the-job training karena mulai awal Oktober 2016 saya akan diangkat sebagai wartawan tetap… di desk bisnis.

Anehnya, saya justru merasa sedikit lega.

Memang, menulis ekonomi dan bisnis itu susah. Tapi, semua yang saya tulis terasa konkret karena ada data penunjangnya, entah soal kinerja produksi minyak dan gas bumi, pendapatan dan keuntungan sebuah perusahaan, atau kemajuan pembangunan sebuah proyek infrastruktur.

Beda halnya dengan menulis politik yang dinamis. Seorang pejabat atau politisi bisa begitu mudahnya – dan begitu memuakkannya – berganti sikap dan melontarkan pendapat berbeda dari waktu ke waktu.

Kalau kata senior dan mentor saya, Cak Rusdi Mathari, wartawan politik itu kebanyakan cuma menerapkan “jurnalisme ludah”. Si A ngomong apa, lalu diadu sama omongan si B, kemudian ditambahi komentar pengamat C. Makanya, kalau tidak hati-hati, wartawan bisa bablas dibodoh-bodohi politisi.

Cak Rusdi pula yang bilang pada saya, “Siapa pun bisa menulis politik, tapi tidak semua orang bisa menulis ekonomi. Setelah kamu lihai menulis ekonomi, kamu bakal bisa menulis apa saja.”

Kata-kata itu yang terus saya pegang, dan akhirnya membuat saya perlahan jadi suka menulis ekonomi dan bisnis.

Selain itu, saya merasa masuk ke desk bisnis The Jakarta Post di saat yang tepat, kala para editor muda nan pintar telah mengambil alih dan “membumikan” desk tersebut. Ada Kak Esther Samboh yang ramah dan brilian, serta sukses jadi kepala desk bahkan sebelum berusia 30. Ada Kak Tassia Sipahutar yang galak tapi sangat fair dan selalu bersedia untuk menerangkan hal sesepele apa pun. Ada Mas Hasyim Widhiarto yang selalu berusaha melucu dengan kompilasi pantun dan singkatan mautnya, serta kerap mengajarkan gaya menulis yang lebih humanis.

Bersama mereka, menulis ekonomi dan bisnis terasa jadi menyenangkan, hingga ketakutan saya dahulu akan desk ini jadi terasa tidak masuk akal. Sayang, ketiganya kini telah pergi dari The Jakarta Post dengan alasan yang berbeda-beda.

Singkat cerita, setelah diangkat, saya mulai mendapat beat tetap setelah ditugaskan untuk menjadi wartawan bursa. Tugas utama saya adalah memantau aksi korporasi perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar LQ 45, atau 45 emiten dengan pergerakan saham paling likuid.

Setelah sekiranya sebulan di bursa, saya sudah diminta pindah lagi jadi wartawan energi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Alasannya, Kak Ifa yang selama ini bertugas di sana mulai mendapat tugas tambahan sebagai wartawan istana. Alhasil, di kala ia kewalahan karena sibuk mengikuti Presiden Jokowi, saya yang mesti menambal.

Sampai saat ini, saya awet di beat energi. Kerjaan saya sehari-hari adalah menulis soal minyak dan gas, mineral dan batu bara serta kelistrikan. Ini bukan hal mudah, salah satunya karena sektor ini penuh dengan istilah teknis nan njelimet.

Awalnya saya cuma bisa bengong-bengong saja mendengar penjelasan soal kemajuan pembangunan kilang, rencana dibukanya tender untuk pembangkit batu bara mulut tambang, pengalihan subsidi listrik dan sebagainya. Tapi akhirnya toh bisa karena biasa.

Malah, saya jadi begitu khatam saat diminta menulis isu-isu tertentu, salah satunya soal kasus PT Freeport Indonesia. Begitu seringnya saya menulis soal perusahaan tambang itu hingga data dan latar belakang terkait yang kerap dibutuhkan dalam artikel jadi terasa sudah ada di luar kepala.

Mulai tahun depan, porsi saya menulis energi mungkin akan berkurang karena ada tugas tambahan lain – yang bakal bikin saya punya akses untuk meliput kekuasaan dari dekat. Namun, bulan-bulan yang saya lewati di beat ini telah begitu banyak memberi pengalaman dan pelajaran. Dan yang terpenting, di sini saya selalu merasa bodoh setiap hari.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top