Shakespeare: Inspirasi Lintas Generasi

Makam William Shakespeare.
Makam William Shakespeare. David Merrett/Flickr.

William Shakespeare punya ketakutan besar akan kehidupan pasca-kematian. Bukan menyoal jiwanya, tapi raganya yang terkubur di Gereja Holy Trinity, Stratford-upon-Avon, Inggris. Ia bahkan sampai menyiapkan kata-kata penjaga di batu nisannya, agar di masa depan tulang belulangnya tetap utuh tak tersentuh.

Good frend for Iesvs sake forbeare,
to digg the dvst encloased heare.
Bleste be ye man yt spares thes stones,
and cvrst be he yt moves my bones.

“Terberkatilah ia yang menaruh batu-batu ini, dan terkutuklah ia yang memindahkan tulang-tulangku,” begitu kira-kira arti dari dua kalimat terakhir di batu nisan tersebut.

Penggalian mayat memang umum terjadi pada era kehidupan Shakespeare – ia meninggal pada 23 April 1616 – entah untuk kepentingan penelitian atau memberi ruang untuk kuburan-kuburan baru di masa mendatang. Karena itu, Shakespeare merasa perlu untuk memberi peringatan agar hal yang sama tak menimpa jasadnya.

Philip Schwyzer, dosen senior di Universitas Exeter, juga menegaskan hal ini. “Shakespeare punya obsesi tak biasa dengan pemakaman dan kekhawatiran akan penggalian mayat. Prasasti keras di batu nisan setidaknya ikut bertanggung jawab atas kenyataan bahwa tak ada proyek yang berhasil untuk membuka kuburan itu,” katanya.

Reuters sempat menuliskan pada 2007 bahwa kecemasan Shakespeare akan perlakuan buruk atau penggalian mayat pada sebuah pemakaman ditemukan dalam 16 dari total 37 karya dramanya. Perhatiannya akan hal ini bahkan lebih besar daripada ketakutannya akan kematian itu sendiri.

Shakespeare memang kerap mengangkat potret masalah sosial untuk diangkat dalam tulisan. Misalnya saja Hamlet, salah satu karya tragedi terbaiknya yang ditulis kira-kira pada 1599-1601. Di sana diceritakan perihal sosok Raja Hamlet asal Denmark yang meninggal secara misterius dan terus menghantui istana kerajaan karena tak rela melihat istrinya, Gertrude, menikah lagi dengan saudaranya sendiri, Claudius.

Lantas, ia meminta sang anak yang (juga) bernama Hamlet untuk membalaskan dendam karena Claudius telah membunuhnya. Akhirnya, Hamlet berusaha menghalalkan segala cara untuk mewujudkan pembalasan tersebut.

Salah satunya adalah ketika Hamlet mengundang beberapa aktor untuk mementaskan cerita yang ia tulis sendiri. Cerita yang dibawakan pun berkisah tentang seseorang yang berniat membunuh raja dengan menuangkan racun di telinganya. Merasa bersalah, Claudius pergi begitu saja sebelum pementasan tersebut usai.

Di sini, Shakespeare seakan menunjukkan peran sebuah pementasan teater atau drama sebagai media kritik sosial, sarana penggoyah kemapanan. Timothy S. Mayor pernah menuliskan hal senada di The Harvard Crimson.

“Secara inheren, teater adalah sebuah media sosial: ia dapat menunjukkan cerminan masyarakat yang telah diedit dan diritualkan dengan mengangkat dan mempertontonkannya,” ujar Timothy.

Namun, kritik yang ada kadang berujung pada kekacauan yang lebih besar. Bahkan di akhir kisah Hamlet, hampir seluruh peran utama yang ada di sini pun meregang nyawa, termasuk Hamlet, Gertrude dan Claudius.

Tragedi Shakespeare lainnya yang tak kalah legendaris adalah Romeo and Juliet. Kisah tersebut ditulis di awal kariernya pada 1590-an dan bercerita soal kisah cinta sepasang kekasih yang terhambat restu masing-masing keluarga.

Romeo and Juliet sesungguhnya terinspirasi oleh sajak karya Arthur Brooke pada 1562. Namun, di sini Shakespeare berusaha mengembangkan karakter-karakter pendukung dan memperluas alur cerita yang ada.

Shakespeare mendapat banyak pujian atas kemampuannya menggabungkan unsur komedi dan tragedi, serta perubahan karakter masing-masing tokoh dalam kisah ini. Misalnya saja peningkatan kemahiran Romeo dalam membuat soneta yang berlangsung secara bertahap.

Ia pun berhasil membangun struktur drama yang halus dari eksposisi hingga konklusi. Hal ini selaras dengan piramida Gustav Freytag, penulis asal Jerman, yang membagi struktur penceritaan ke dalam lima bagian: exposition, rising action, climax, falling action dan denouement.

Ketegangan berhasil diselipkan dari awal hingga akhir cerita. Di awal saat pertempuran di jalan antara keluarga Montague dan Capulet, lalu mencapai klimaksnya kala Romeo dan Juliet sama-sama tewas karena miskomunikasi. Di akhir kisah, kedua keluarga besar tersebut baru memutuskan untuk berbaikan dan mengakhiri perseteruan panjangnya.

Freytag sendiri lahir pada 1816, atau tepat dua abad setelah Shakespeare meninggal dunia. Maka, bisa dikatakan bahwa karya drama Shakespeare telah hadir mendahului zamannya.

Di lain sisi, kisah Romeo and Juliet telah berulang kali dipentaskan di berbagai negara dan bahkan menginspirasi para kekasih lintas generasi. Hal ini kerap disebut sebagai Romeo and Juliet effect.

Dalam sebuah artikel di Huffington Post pada 2012, Romeo and Juliet effect disebut sebagai dorongan kuat untuk bereaksi melawan pembatasan – yang kerap dilakukan oleh orangtua kepada anak-anaknya dalam menjalin hubungan asmara. Jadi, pembatasan yang dilakukan orangtua ditakutkan justru akan memperbesar keinginan anak untuk memberontak.

Kini, 450 tahun sudah terlewati sejak kelahiran Shakespeare – walau tak ada data historis yang pasti, ia diyakini lahir pada 23 April 1564, di tanggal yang sama saat ia wafat. Karya-karyanya menembus zaman dan kerap dijadikan patokan bagi produksi karya sastra dewasa ini. Berbagai naskahnya ditelaah dan didalami tanpa lekang oleh waktu.

Dengan segala warisan dan efek yang tercipta karena buah pikirnya, sudah sepatutnya kita memberi rasa hormat lebih pada Shakespeare. Setidaknya, dengan berjanji untuk tidak mengutak-atik makamnya.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di media online GeoTimes.co.id.
2. Atribusi foto: “Shakespeare’s Grave” by David Merrett is licensed under CC BY 2.0.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top