Sigit Hardadi itu keras kepala. Sudah berulang kali diusir, masih juga ia kembali. Dibentak, tak mempan. Dilempar sepatu pun ia peduli setan. Paling-paling ia menyingkir sejenak, lalu datang lagi tak lama berselang. Selalu seperti itu. Selama sebulan penuh, Sigit bersikeras menonton proses latihan Teater Mandiri. Hingga kemudian Putu Wijaya, pendiri dan sutradara teater tersebut, tak tahan.
“Kamu benar mau ikut pementasan?” tanya Putu.
“Iya, Mas.”
“Oke. Dipertahankan, ya. Jangan pernah tidak datang. Jangan pernah terlambat.”
“Iya, Mas.”
Begitulah. Dari sana, Sigit berhasil terlibat dalam pementasan Teater Mandiri pada 1979. Padahal, kala itu ia masih berstatus mahasiswa baru di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (D3) – kini bernama Institut Kesenian Jakarta (S1).
Sigit tahu, ada aturan tak tertulis di kampus yang melarangnya terlibat dalam produksi film maupun teater selama masa tiga semester awal perkuliahan. Walau begitu, ia nekat saja. Putu, pendiri Teater Mandiri sekaligus dosen Sigit di LPKJ saat itu, ikut menyadari hal ini. Namun, lama-lama ia luluh juga melihat kegigihan Sigit.
Tak hanya teater, sejak awal kuliah Sigit langsung menjajal diri terjun ke dunia film. Ia memulai karier dari nol. Berakting pun cuma kebagian peran figuran. Toh ia senang-senang saja, asal bisa dapat ilmu dan pengalaman. Selain itu, ia punya kesempatan memperluas jaringan dan mencari uang sampingan.
“Banyak senior yang maki-maki saya di kampus. ‘Ngapain lo sekolah teater, mau jadi aktor, tapi main film cuma jadi figuran. Ngapain sekolah? Ikut agensi saja sana!’ Saat itu, saya diam saja mendengarkan,” ujar Sigit. “Tapi kan saya perlu makan, perlu biaya kuliah, dan lainnya. Makanya begitu masuk kuliah, saya langsung cari kerja.”
Sigit memang datang dari keluarga tak berada. Mulanya ia ingin jadi tentara. Namun saat SMP ia sempat terjatuh dari pohon hingga tangannya terluka parah. Keluarga sontak pesimis ia bisa diterima di sekolah militer karena cacat fisiknya itu. Saat SMA, barulah Sigit tertarik pada dunia seni. Ia mulai rajin menggambar dan bikin puisi. Dari sana, ia putuskan masuk ke LPKJ dengan mengambil jurusan seni rupa.
“Cuma ketika saya tanya-tanya, jurusan seni rupa itu hitungannya termasuk mahal, entah untuk beli kanvas dan sebagainya,” kata Sigit. “Akhirnya saya putuskan ambil jurusan teater yang memang enggak perlu modal banyak, modal badan saja.”
Secara tak sengaja, dimulailah petualangan Sigit dalam dunia seni peran teater. Jalannya tak pernah mudah. Selewat tiga semester saja ia sempat mempertimbangkan untuk menyerah.
“Waktu itu, yang saya pahami ya drama itu seperti yang ada di televisi – karena saya belum pernah menyaksikan pertunjukan panggung. Makanya saya bingung, selama tiga semester kok saya disuruh teriak-teriak saja enggak ada habisnya. (Latihan vokal) a-i-u-e-o dan latihan olah tubuh setiap hari,” kata Sigit. “Lama-lama capek juga. Saya pikir, nanti mau jadi apa kalau begini? Enggak jelas.”
Tak hanya Sigit yang merasakan hal itu. Satu per satu teman-temannya pun tumbang. Bila di semester 1 ada 36 mahasiswa di angkatannya, pada semester akhir tersisa empat orang saja. Alhasil, mereka kelimpungan kala mesti menjalani tugas akhir membuat sebuah pementasan teater. Terpaksa, Sigit dan kawan-kawan meminta bantuan adik kelas dan para seniornya untuk ikut bermain di sana.
Sigit lulus pada 1984. Setelahnya ia sempat menjadi asisten dosen, dan diangkat jadi dosen tetap di IKJ. Namun karena penghasilan yang dirasa tak cukup menghidupi kebutuhan keluarga, Sigit mengundurkan diri. “Kadang-kadang kita mau mengajar, tapi enggak punya duit. Akhirnya setiap bulan saya tanda tangan terima gaji, tapi jumlahnya selalu minus karena saya keseringan kas bon,” ujar Sigit sembari tertawa dan geleng-geleng kepala.

Kemudian, Sigit fokus mengembangkan karier sebagai aktor film. Ia didapuk jadi pemeran utama dalam film Malioboro (1989). Kemudian, berturut-turut ia juga bermain dalam film Takkan Lari Jodoh Dikejar (1990), Nanti Kapan-kapan Sayang (1990), dan Sekretaris (1991). Setelahnya, perfilman Indonesia jeblok karena krisis moneter. Kemunculan berbagai stasiun televisi swasta juga membuat banyak pegiat teater dan film pindah haluan. Begitu juga dengan Sigit. Ia sempat muncul di sinetron Tali Kasih (2000) dan Pernikahan Dini (2001-2002), sebelum kembali ke dunia layar lebar dalam film Psikopat dan Gie (2005).
Walau begitu, Sigit tak sepenuhnya meninggalkan dunia teater. Pada 1987, ia ikut membantu sang istri, Elizabeth Lutters, mendirikan Teater Pavita yang banyak berisi anak-anak. Sanggar teater itu sempat dibuka di Surabaya, lalu Tangerang, dan kini Bogor.
Sigit juga kerap dipanggil untuk ikut bermain dengan Teater Lembaga yang jadi wadah bagi para mahasiswa dan alumni IKJ unjuk gigi. Di bawah pimpinan mendiang Wahyu Sihombing, setiap orang harus melewati tahap audisi nan ketat sebelum bisa ikut andil dalam pertunjukan. Berbagai karya dramawan besar dunia pernah mereka mainkan, entah Henrik Ibsen, Arthur Miller, Samuel Beckett, Bertolt Brecht, maupun William Shakespeare.
“Sekarang, begitu Wahyu Sihombing sudah enggak ada, para pemain sudah enggak diaudisi lagi. Pemain yang dirasa cocok langsung dipanggil saja. Alasannya, aktor di tiap angkatan di IKJ dirasa sudah terlalu banyak,” kata Sigit. “Terakhir saya main sama mereka kalau tidak salah itu 2006. Enggak enak juga, takut muncul kecemburuan dari yang muda.”
Namun, salah satu pementasan yang paling berkesan justru Sigit rasakan kala bermain dengan Teater Gong bersama Mathias Muchus, Frans Joseph Ginting dan Siti Artati. Kala itu mereka memainkan naskah absurd berjudul Endgame karya Samuel Beckett. Sigit berperan sebagai Nagg, suami dari Nell, dan ayah dari Hamm.
“Naskah itu berdurasi tiga jam, sementara selama satu jam penuh saya harus berada di dalam tong. Itu saat latihan, saya ketiduran terus,” ujar Sigit. “Saat pentas juga pengapnya bukan main. Apalagi saya pakai kostum latex. Itu siksaan luar biasa.”
Kuncinya satu: disiplin. Menurut Sigit, harus ada rasa tanggung jawab dalam diri seorang aktor kala telah mendapatkan kepercayaan mengemban sebuah peran. Hal ini bisa tertanam dalam diri Sigit karena latar belakangnya yang berasal dari dunia teater.
“Sekarang, banyak pemain muda yang secara kedisiplinan agak memprihatinkan. Misalnya saat shooting sinetron, dipanggil datang jam 9, tapi dia datang jam 10. Begitu sampai lokasi pun dia tidur. Saat dibangunin malah ngamuk. Jadi, kesannya shooting itu enggak dibayar,” kata Sigit.
Menurutnya, ini bisa terjadi juga karena minimnya jumlah sekolah akting dan sanggar teater di Indonesia. Alhasil, jumlah aktor yang berkualitas pun terbatas dan tak bisa memenuhi tuntutan industri, entah film ataupun televisi. Karena itu banyak yang terjun ke dunia seni peran secara autodidak. “Banyak dari mereka yang ingin terkenal saja, tapi enggak sabar, enggak menghargai proses. Maunya instan,” kata Sigit.
Di sisi lain, roda industri bergerak kian cepat saja. Sinetron kejar tayang bertebaran di berbagai stasiun televisi. Segala cara dilakukan untuk mengejar efisiensi hingga menekan kualitas produk yang dihasilkan.
“Stripping ini kan gila-gilaan. Dulu saya pernah main dalam FTV pada 1990an, satu episode berdurasi satu jam bisa dibikin selama tiga minggu. Lama-lama makin cepat, jadi hanya dua minggu. Lama-lama jadi satu minggu, itu pun sutradaranya sudah kebakaran jenggot. Sekarang, satu hari bisa bikin dua episode, bahkan hampir tiga episode,” kata Sigit.
Sigit kini ikut bermain sebagai Datuk Abu dalam sinetron 7 Manusia Harimau yang tayang di RCTI. Menurutnya, dalam sekali pengambilan gambar saja ada empat tim yang bergerak berbarengan. Masing-masing tim memegang tiga kamera. Karena itu para aktor pun dibatasi ruang geraknya. Mereka harus menjalankan blocking sesederhana mungkin hingga para kru tak perlu mengubah pengaturan lampu dan sebagainya. Sekali take, selesai, lanjut yang berikutnya.
“Inilah tuntutan industri. Ngeri,” kata Sigit.

Dari sana, Sigit mendukung anak muda untuk ikut aktif mengembangkan komunitas-komunitas seni sejak dini, salah satunya teater. Apalagi, kini masyarakat seakan kehilangan tokoh-tokoh besar dalam dunia teater yang pernah begitu berjaya pada era 1970an dan 1980an. Dahulu ada Teater Populer yang dipimpin Teguh Karya, Teater Kecil yang dipimpin Arifin C. Noer, Bengkel Teater yang dipimpin W.S. Rendra, Teater Mandiri yang dipimpin Putu Wijaya, dan Teater Koma yang dipimpin Nano Riantiarno.
Kini, yang masih aktif dan rutin mengadakan pementasan tinggal Teater Koma. Ada kecenderungan, sebuah komunitas teater akan bubar jalan selepas pemimpinnya tiada. Putu Wijaya memang masih ada, tapi ia sudah sepuh dan sakit-sakitan. Alhasil, Teater Mandiri pun mulai jarang muncul di permukaan.
Di sisi lain, banyak orangtua pesimis melihat anaknya berkecimpung di dunia teater karena dirasa tak mampu menjamin masa depan yang aman. Sigit pun mengakui, sulit untuk menggantungkan hidup pada teater semata. Karena itu, menurutnya kita harus pandai membagi prioritas antara idealisme dan tanggung jawab sehari-hari.
“Hidup dari teater memang berat, apalagi bila sudah berkeluarga. Saat sudah menikah, kita tak boleh menutup mata bahwa kebutuhan materi itu penting, terutama uang. Jadi, punya idealisme boleh, asal kebutuhan utama dalam hidup sudah tercukupi,” ujar Sigit.
Memang, yang ideal belum tentu bisa membenahi masa depan kita. Tantangannya berat, tapi bukan berarti tak mungkin. Seperti Sigit yang mesti menunggu sebulan dengan penuh cacian sebelum diajak ikut bermain bersama Teater Mandiri. Akhirnya, kegigihan kita yang akan bicara dengan sendirinya.