Saya percaya, rokok adalah bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Saya tidak bilang rokok 100 persen menyehatkan, atau mengajak setiap orang untuk ikut merokok. Namun, ia nyata dalam keseharian kita. Walau harus diakui, keberadaannya selalu sukses memancing kontroversi di dua sisi berseberangan.
Untuk memulai pembahasan soal rokok, pertama-tama kita mesti menghilangkan stereotip dan stigma pada para perokok. Tidak semua perokok itu pesakitan berengsek yang gemar menyusahkan orang lain. Bila dari sini saja kita gagal, berbicara soal rokok hanya akan menguras tenaga dan waktu sia-sia. Ingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer, berlakulah dengan adil sejak dalam pikiran.
Dulu saya pernah iseng bertanya pada seorang kawan, “Kalau pacar elo ngerokok gimana?”
“Enggak boleh.”
“Kan elo ngerokok juga.”
“Ya gua kan cowok.”
Nah, ini bikin persoalan lebih rumit karena belum selesai urusan stigma pada perokok, dia menambahkan pula stigma pada perempuan. Mungkin tekanan sosial semacam itu yang membuat angka perokok perempuan di Indonesia relatif rendah. Diperkirakan, 5 persen dari total populasi perempuan Indonesia adalah perokok. Bandingkan dengan persentase perokok perempuan di Inggris yang berjumlah empat kali lipat lebih banyak.
Di Indonesia, merokok seakan identik dengan aktivitas laki-laki, simbol maskulinitas sejati. Walau pada kenyataannya belum tentu begitu, angka perokok laki-laki memang dominan dibanding perempuan. Menurut data Kementerian Kesehatan pada 2013, ada 58.750.592 perokok aktif berusia di atas 10 tahun di seluruh Indonesia. Sebanyak 56.860.457 orang atau 96,7 persen di antaranya adalah laki-laki. Indonesia pun disebut-sebut sebagai negara dengan perokok laki-laki terbanyak di dunia.
Karena itu, banyak ekspatriat yang heran dengan kebiasaan merokok warga Indonesia. Pada Agustus hingga November 2013, saya sempat bekerja magang di kantor berita Reuters cabang Jakarta. Di sana, beberapa wartawan asing terkejut mengetahui saya terbiasa menghabiskan satu bungkus rokok per hari.
“Aku biasanya cuma satu atau dua batang sehari. Menurutku, kamu merokok terlalu banyak,” kata Kanu, wartawan asal India.
Bagaimana bila dia tahu teman-teman saya banyak yang bisa menghabiskan dua hingga tiga bungkus rokok per hari?
Masalahnya, rokok adalah kebiasaan yang perlahan berubah jadi kebutuhan dasar. Didukung lingkungan pergaulan yang kebanyakan juga sesama perokok, sulit bagi saya untuk berhenti begitu saja.

Menariknya, rekan lain di Reuters, Randy, sempat berujar, “Mungkin budaya merokok di Indonesia sama dengan budaya minum bir di Amerika.”
Di Indonesia, lazim bila teman-teman sepermainan berkumpul saat senggang sembari merokok bersama. Ini bisa dilakukan kapan saja (pagi-siang-malam) oleh orang-orang dari kalangan mana saja (bawah-menengah-atas). Bila ada duit berlebih, bisa juga ditambah minum bir atau minuman keras lainnya.
Di Barat, yang terjadi sebaliknya. Bergaul di bar seusai jam kerja adalah hal lumrah. Bir merupakan jembatan persahabatan. Menurut data World Health Organization (WHO) pada 2010, negara “termabuk” sedunia adalah Belarusia dengan konsumsi alkohol rata-rata sebanyak 17,5 liter per tahun. Rinciannya: 17,3 persen adalah bir, 5,2 persen anggur, 46,6 persen liquor, serta 30,9 persen jenis minuman beralkohol lainnya.
Sementara itu, Jerman “hanya” masuk posisi ke-16 dengan rata-rata konsumsi alkohol 11,8 liter per tahun. Ia setingkat di atas Inggris dengan 11,6 liter alkohol per tahun. Di kedua negara itu, konsumsi bir jadi yang terbesar dibanding minuman keras lainnya; 53,6 persen di Jerman dan 36,9 persen di Inggris.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia ada di posisi ke-101 (berjarak lima posisi dari dasar klasemen), berbagi tempat bersama Senegal dan Timor Leste. Rinciannya: 84,5 persen pemabuk Tanah Air mengonsumsi bir, 0,1 persen anggur, dan 15,3 persen liquor.
Masih menurut WHO, pada 2012 ada 3,3 juta orang meninggal karena alkohol. Perhitungannya, ada satu orang mati karena alkohol tiap 10 detik. Pada tahun yang sama, ada 5,4 juta orang meninggal karena rokok. Perhitungannya, ada satu orang mati tiap enam detik. Kematian terkait rokok di Indonesia pun disebut-sebut mencapai 200 ribu jiwa per tahun.
Dari perbandingan tersebut, terlihat bahwa angka kematian akibat rokok jauh melebihi alkohol. Namun, bagaimana sebenarnya perhitungan itu dibuat?
Pada 1993, Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat sempat merilis data yang menunjukkan bahwa 419 ribu orang meninggal akibat rokok pada 1990. Rokok pun disebut sebagai pembunuh nomor satu penduduk Amerika, di atas angka kecelakaan mobil, pesawat, AIDS, alkohol, narkotika, bunuh diri, dan pembunuhan dijumlahkan sekaligus.
Lima tahun berselang, lembaga think tank Amerika, The Cato Institute, merilis artikel berjudul “Lies, Damned Lies, & 400000 Smoking-Related Deaths” dalam jurnal Regulation. Penulisnya adalah Robert Levy, dosen statistik Universitas Georgetown, dan Rosalind Marimont, ilmuwan dari National Institute of Standards and Technology dan National Institute of Health.
Dalam tulisan tersebut, mereka menilai angka kematian 400 ribu jiwa akibat rokok sesungguhnya tidak berdasar. Perhitungan itu didapat dari aplikasi komputer Smoking Associated Mortality, Morbidity, and Economic Cost (SAMMEC) yang menggeneralisasi kematian seluruh perokok menjadi murni karena rokok semata. Padahal, bisa saja ada perokok yang meninggal karena berbagai faktor lain, misalnya konsumsi alkohol berlebih.
Namun tetap saja, biasanya orang-orang yang mendukung artikel semacam itu akan segera dicap sebagai pendukung militan industri rokok. Dan para perokok, akan selamanya dianggap sebagai pesakitan berengsek yang gemar menyusahkan orang lain.
***
“Kalau tembakau bagus, petani akan ke Mekkah atau Madinah. Kalau tembakau hancur, petani akan ke Malaysia.”
Begitu kata Sukirman, Kepala Dusun Paok Rengge, Lombok Tengah, yang telah bertani tembakau sejak 1988. Menurutnya, saat usaha perkebunan tembakau berjalan dengan baik, para petani akan hidup sejahtera, bahkan bisa sampai naik haji. Namun bila gagal, mereka bisa kabur jadi TKI ke Malaysia.
Lombok memang pemasok tembakau jenis Virginia Flue Cured terbesar di Indonesia. Penamaan “flue cured” merujuk pada proses pengeringan tembakau yang menggunakan aliran uap panas. Berbeda dengan tembakau rakyat/jamak, ia tak perlu melalui proses fermentasi hingga bisa langsung diproduksi setelah melalui tahap pengeringan. Diperkirakan, Lombok dapat mencukupi 80-90 persen kebutuhan tembakau Virginia nasional.

Semua bermula pada akhir 1960an, kala PT Faroka dan PT British American Tobacco masuk ke Lombok dan mulai membudidayakan tembakau. Selanjutnya, berbagai perusahaan rokok lain ikut berdatangan. Salah satunya PT Djarum pada 1985. Sejak itu, mereka berusaha membangun kemitraan dengan para petani tembakau lokal.
Tiap musim panen, para petani itu akan datang ke gudang tembakau milik pelbagai merek rokok untuk menjual hasil petikannya. PT Djarum saja mesti menggelontorkan uang tunai Rp 6 miliar per hari untuk membayar para petani di kala panen. Dalam satu siklus panen, petani bisa memetik tembakau sekiranya tujuh hingga delapan kali.
“Setiap tahun, Lombok bisa menghasilkan 30 ribu ton tembakau Virginia. Uang yang beredar ke petani saat panen dalam setahun bisa mencapai Rp 3-5 triliun,” ujar Paox Iben Mudhaffar, budayawan Nusa Tenggara Barat yang kini tinggal di Lombok.
Dari sana, tembakau berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Sarminuddin, anggota Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Lombok juga bicara senada. “Dari tembakau itu, petani bisa biayai anaknya kawin, sunatan, sekolah, semuanya. Kadang-kadang ngapel juga pakai uang dari tembakau,” ujarnya.
Tak hanya itu. Saat musim panen, penjual makanan ringan hingga tukang las pembuat sabit akan ikut diuntungkan. Ratusan tenaga kerja juga terserap ke gudang tembakau. Misalnya di gudang PT Djarum di Montong Gamang, Lombok Tengah. Setibanya di sana, tembakau masih harus melewati proses grading dan sortasi secara manual. Lalu ia dikeringkan dan dikemas untuk dikirim ke pabrik di Kudus, Jawa Tengah.


Dalam perhitungan skala nasional, setidaknya ada 6,1 juta pekerja di industri rokok Tanah Air saat ini. Seluruhnya menggantungkan hidup pada tembakau. Belum lagi bila kita menilik keuntungan yang didapat negara. Sepanjang 2014 saja, penerimaan cukai rokok mencapai Rp 111,4 triliun. Sementara itu, nilai ekspor rokok dan cerutu pada tahun yang sama menyentuh US$ 804,7 juta.
Pantas saja bila daerah-daerah penghasil tembakau dapat bertahan kala krisis moneter menerpa pada 1998. “Dulu saat krisis moneter, harga tembakau justru melonjak tinggi, dari Rp 700 ribu hingga Rp 2,5 juta per kuintal. Dari sanalah saya bisa bangun rumah dan beli motor,” kata Sukirman yang sebelumnya sempat bekerja sebagai tukang ojek dan TKI di Malaysia.
Namun, hal-hal semacam ini kerap tak masuk perhitungan para aktivis antirokok. Perjuangan hidup para petani tembakau terbiasa disederhanakan jadi “propaganda terstruktur yang dibiayai industri rokok”.
Lalu saya mendadak teringat kembali kisah legendaris Agus Salim kala menghadiri acara penobatan Elizabeth II sebagai Ratu Inggris di Istana Buckingham, Inggris, pada 1953. Melihat Pangeran Philip muda canggung menemui banyak tamu internasional, Agus Salim pun iseng mendatanginya. Ia memainkan kretek di depan hidung sang pangeran dan berkata, “Paduka, adakah Paduka mengenali aroma rokok ini?”
“Inilah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya.”
Agus Salim memang perokok berat, dan ia tak segan mengepulkan asap di mana-mana selama kunjungannya ke Inggris tersebut. Namun pada praktiknya kini, kita tak bisa bergaya sebebas itu. Saya pribadi selalu mencoba sebisa mungkin untuk merokok jauh dari kerumunan para non-perokok dan membawa asbak kecil di dalam tas. Namun, keterbatasan ruang khusus perokok di tempat umum juga kerap menyulitkan.
Beruntungnya Agus Salim. Ia menggoda Pangeran Philip di era ketika internet belum hadir menebarkan kebencian di mana-mana. Bila kejadian itu berlangsung pada 2015, niscaya akan muncul tulisan di portal berita online semodel “Astaghfirullah, Eks Menlu Permalukan Indonesia di Hajatan Internasional”.
Lalu di media sosial akan muncul nasionalis kemarin sore yang berujar, “Coba itu otaknya dicari dulu. Mungkin ketinggalan di asbak.”
Kini, segala hal memang bisa jadi kebenaran, tergantung pihak mana yang menyepakatinya.
***