Sinetron dan Kebodohan yang Tak Selesai

Ilustrasi anak kecil menonton televisi.
Ilustrasi anak kecil menonton televisi. Vidmir Raic/Pixabay.

Selasa, 29 Juli 2014. Kami sedang duduk di ruang tengah. Sudah malam. Udara dingin Puncak tak menghentikan obrolan hangat yang berlangsung di antara kami. Tiga keluarga besar berkumpul di sana. Waktu libur Lebaran memang jadi satu-satunya ruang pertemuan dan silaturahmi. Di hari biasa, semua sibuk, semua terikat repetisi. Ini justru terjadi sebaliknya. Semua ingin bicara. Topik tumpah ruah dalam arus pembicaraan.

Saya sendiri sedang beristirahat sejenak di dalam kamar. Malam sebelumnya saya keasyikan menulis hingga lupa tidur tepat waktu. Walau begitu, perbincangan di luar masih saja bisa terdengar. Karena itu, saya ikut kaget kala tiba-tiba ada yang bertanya, “Eh, Lala mana?”

Lala adalah keponakan saya yang paling kecil dari keluarga besar Papa. Saya lupa tepatnya, tapi kira-kira ia masih duduk di bangku kelas 1 atau 2 SD. Pipinya bulat, rambutnya pendek sebahu. Kalau sudah bicara, Lala jadi yang paling bawel. Bila sedang semangat, Lala suka berlarian ke sana ke mari. Bikin pusing yang kebagian menjaganya.

Namun saat itu semua sedang larut dalam perbincangan. Semua bergantian bercerita dan tertawa, hingga lupa memperhatikan Lala. Lala hilang entah ke mana. Sontak semua panik. Jalanan di luar vila yang kami tempati sudah gelap dan sepi.

Untung saja kebingungan tak berlangsung lama. Kakak saya datang bawa kabar gembira. Katanya ia lihat Lala mendadak keluar rumah berjalan sendirian. Ia segera kejar dan memanggilnya kembali.

“Lala tuh suka begitu. Dulu di rumah juga dia pernah berantem sama kakaknya, terus diam-diam kabur. Dia cuma bawa jaket dan selimut tipis kesayangannya, terus berjalan ke arah pintu keluar komplek,” kata Tante Winda, mamanya Lala.

“Untung waktu itu ada satpam dan ibu-ibu yang ketemu Lala, terus nelepon saya. Kayanya dia begitu karena keseringan nonton sinetron. Apa yang ada di sinetron jadinya dicontoh sama Lala.”

Mendengar hal ini, saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Sudah lama saya merasa, sinetron di berbagai saluran TV Indonesia hanyalah sarana pembodohan publik. Adegannya berlebihan, sering tak wajar serta jarang memberi hikmah. Buat saya, pertandingan sepak bola yang paling rusuh sekalipun masih menampilkan drama yang lebih jujur dan masuk akal dibanding kebanyakan sinetron Tanah Air saat ini.

Gampangnya, ini bisa dilihat dari jumlah pengaduan masyarakat pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sepanjang tahun 2013 hingga April 2014, KPI telah menerima sedikitnya 1.600 pengaduan terhadap sinetron dan FTV yang dianggap meresahkan serta mengganggu pertumbuhan mental anak.

Pada Mei 2014, Komisioner KPI Agatha Lily menjabarkan berbagai bentuk pelanggaran UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dilakukan belasan stasiun televisi. Pelanggaran itu mencakup bullying, kekerasan fisik, kekerasan verbal, adegan percobaan pembunuhan, percobaan bunuh diri, percobaan pemerkosaan dan sebagainya.

“Bahkan program sinetron dan FTV kerap menggunakan judul-judul yang sangat provokatif dan tidak pantas, seperti Sumpah Pocong di Sekolah, Aku Dibuang Suamiku Seperti Tisu Bekas, Makhluk Ngesot, Merebut Suami dari Simpanan, 3x Ditalak Suami dalam Semalam, Aku Hamil Suamiku Selingkuh, Pacar Lebih Penting dari Istri, Ibu Jangan Rebut Suamiku, Istri dari Neraka aka Aku Benci Istriku,” ujar Agatha Lily.

“Kami meminta pertanggungjawaban pengelola televisi yang meminjam frekuensi milik publik agar tidak menyajikan program-program yang merusak moral anak bangsa.”

Kondisinya memang serba salah. Pers dan industri hiburan bagai pisau bermata dua. Ignatius Haryanto sempat menjabarkan hal ini dalam kata pengantarnya di buku The New York Times: Menulis Berita Tanpa Takut atau Memihak.

Di sana, ia berujar bahwa semakin besar sebuah industri media, justru bagian hiburannya yang akan semakin ditonjolkan. Itu bisa terjadi karena industri hiburan dianggap paling mudah mendatangkan uang.

“Coba saja cek saja, berapa persen dari tayangan televisi yang berisikan informasi? Paling hanya 10 persen. Sisanya adalah hiburan, dan berbagai acara hiburan ini pun harus bersaing antara satu stasiun dengan stasiun lainnya. Oleh karena itu, jangan heran kalau tiap acara televisi berlomba untuk ‘makin heboh’, ‘makin membuat orang terperangah’, dan lain-lain,” kata Ignatius.

Syahdan, publik pun jadi pihak yang paling dirugikan. Apa yang mereka lihat, perlahan jadi perilaku dalam keseharian. Kebohongan pun bisa jadi kebenaran bila ditampilkan secara konstan.

Kalau begitu, rasanya Lala tak perlu lagi menonton televisi, kecuali pertandingan sepak bola tentunya.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top