Sunset Deity: Kreasi Bumi Dalam Imajinasi

Pentas Sunset Deity oleh Merchant of Emotion.
Pentas Sunset Deity oleh Merchant of Emotion. Felix Jody Kinarwan.

Tak banyak orang yang memahami kegetiran senja. Ia datang sesaat untuk melepas kepergian matahari, sebelum gelap menyergap menutup hari. Selalu seperti itu, seakan senja bermusuhan dengan waktu. Walau begitu, banyak orang memuja senja. Karena ada yang mutlak di sana, kala kerinduan berjalan pasrah menyambangi malam.

Kelompok teater Merchant of Emotion mencoba mengangkat tema ini dalam pentas berjudul Sunset Deity pada 23-25 Januari 2015 di Teater Tertutup, Dago Tea House, Bandung. Di sana, mereka mempersonifikasi senja dalam sebuah elegi.

Cerita bermula dari kegaduhan tengah malam. Seorang bocah perempuan bernama Sinneki masih saja terjaga selewat jam tidurnya. Ia masih asyik bermain dengan bonekanya sembari melompat-lompat di atas ranjang. Sang ibu pun datang dan naik pitam. Sinneki justru balik menuntut dibacakan cerita sebelum tidur. Gusar, sang ibu menolak dan pergi begitu saja.

Dirundung kecewa, Sinneki tak menyangka mendapat kunjungan dari sesosok wanita misterius bernama Crystal Lady. Mengaku sebagai Midnight Stranger, wanita itu datang menawarkan cerita. “Adalah tugas kami untuk menjaga anak-anak kecil dengan imajinasi, agar anak-anak tidak kehilangan masa kecilnya,” bisiknya.

Lalu kisah mulai berkisar di perjalanan hidup seorang bocah laki-laki tanpa nama. Sang Pencipta menghadirkannya bahkan sebelum Ia rampung membuat semesta. Tak tahu harus berbuat apa, bocah itu hanya termangu sepanjang waktu.

Namun semua berubah semenjak kedatangan Sun, seorang perempuan ceria nan periang. Sontak, sang bocah jadi begitu bersemangat. Ia bagai menemukan alasan untuk menjalankan seluruh indranya, dari pendengaran hingga penglihatan. Mereka cepat akrab, dan tanpa rikuh berbagi tawa.

Mereka pun saling berkejaran, bermain dan bernari tanpa kenal lelah dan waktu. Mereka bahkan mulai memberi nama seluruh hal yang ada di sekitar. Tempat mereka terbang adalah langit, kristal berdesir tempat mereka menjejak adalah pasir, lalu hamparan air pasang surut adalah laut.

Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Seiring dengan proses penciptaan semesta, muncul pula berbagai ujian yang mesti dihadapi sang bocah. Pada satu titik kala cintanya pada Sun sedang membubung, ia terpaksa berkenalan dengan waktu.

Tiba-tiba tubuh Sun menyala berkilauan. Bocah itu terkesima. Inilah senja pertama yang pernah dilihatnya, yang perdana hadir dalam kisah semesta. Sayangnya, itu juga berarti satu hal: Sun mesti pergi berganti tempat dengan Bulan. “Kita tak bisa lagi bermain sepanjang hari, kita harus berbagi waktu dengan malam,” kata Sun.

Di sinilah sang bocah mulai menemui ragam ujian dari Sang Pencipta untuk meluluskannya jadi manusia. Dalam satu malam ia belajar begitu banyak hal, dari menghadapi sakitnya kesepian, memahami kekecewaan dan menemui akhir perjalanan.

Esoknya, Sun kembali bersama fajar. Namun sang bocah kadung gusar. Ia tak terima waktunya dibatasi dengan Sun. Ia percaya ada cara untuk membekukan waktu. “Kamu sudah menampik semuanya, bahkan sang waktu. Dia akan jadi musuhmu sekarang,” kata Sun.

Alhasil, sang bocah memutuskan untuk pergi, mengasingkan diri seperti dulu, saat pertama lahir mendahului waktu. Sejak itu, Sun memanggilnya sebagai Sunset, sang penanda terbenam. Dari sana muncullah saga soal Sunset Deity, Midnight Stranger pertama di muka bumi.

Pentas ini mengangkat kisah penciptaan berbalut imajinasi tanpa batas. Ini pun dipermanis dengan sentuhan teknologi video mapping yang memanjakan mata penonton sepanjang pertunjukan. Misalnya kala sang bocah dan Sun terbang mengelilingi bumi. Cahaya terik membanjiri panggung, langit cerah muncul jadi latar. Suasana pentas jadi lebih hidup karenanya.

“Sunset Deity ini adalah Midnight Stranger pertama. Ke depannya kami ingin bikin karya lagi untuk menceritakan tujuh lainnya, salah satunya adalah Crystal Lady,” kata penulis cerita, Sutansyah Marahakim.

Mulanya kelompok ini dibentuk pada 2010 dengan nama Teater Epik untuk mengiringi peluncuran sebuah majalah kampus Institut Teknologi Bandung bernama sama. Seiring berjalannya waktu, kelompok teater itu justru berkembang lebih pesat dibanding majalahnya. Pada 2014, mereka baru berganti nama jadi Merchant of Emotion.

“Kita berharap ini enggak cuma berhenti di teater. Ke depannya semoga kita bisa membuat bentukan karya lainnya, entah animasi ataupun komik,” kata Sutansyah.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 2 Februari 2015.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top