Surga Menit ke-93 dan Runtuhnya Mimpi Remaja Atletico

Real Madrid menjuarai Liga Champions 2014.
Real Madrid menjuarai Liga Champions 2014. Sumber: realmadrid.com.

Real Madrid frustrasi. Belasan tembakan telah mengarah ke gawang Atletico Madrid selama 90 menit waktu normal laga final Liga Champions 2014. Tak ada yang berhasil melabrak gawang Thibaut Courtois. Gaya main mereka pun jadi tak sabaran. Dalam 10 menit terakhir, lebih banyak umpan panjang yang langsung diarahkan ke kotak penalti Atletico. Semuanya sia-sia. Hanya dua menit berselang sebelum Atletico jadi juara Eropa untuk pertama kalinya.

Namun, surga bagi Real ada di menit ke-93. Kala itu, untuk kesekian kalinya Real mendapat sepak pojok. Angel Di Maria yang sebelumnya lebih sering menjadi eksekutor, kali ini digantikan tugasnya oleh Luka Modric. Saat Modric mengambil ancang-ancang, kamera sempat menyorot sosok Cristian Rodriguez, pemain sayap Atletico, di bangku cadangan.

Rodriguez terlihat menunduk dengan dua tangan di kepala. Ia tampak begitu gelisah. Kepalanya tak bisa diam, menengok kiri-kanan sembari kedua tangan terdekap erat. Ia tahu, kejayaan itu telah ada di depan mata.

Atletico pernah sekali menembus final Liga Champions pada 1974, tapi harus kalah telak 0-4 dari Bayern Munchen saat melakoni laga ulangan. Laga ulangan seharusnya tak perlu terjadi.

Pada pertandingan pertama, skor kacamata berlanjut hingga babak tambahan. Barulah Luis Aragones bisa memecah kebuntuan di menit ke-114 dengan golnya ke gawang Munchen. Sayangnya, kemenangan hilang di saat-saat akhir kala bek Hans-Georg Schwarzenbeck menyamakan kedudukan di menit ke-120, atau detik-detik akhir sebelum laga usai.

Setelah 40 tahun berlalu, situasinya berlangsung hampir serupa. Diego Godin mencetak gol di menit ke-36 dan selama hampir satu jam berselang, Atletico bertahan ketat untuk mempertahankan keunggulan. Real seperti mati kutu. Duet mahal Cristiano Ronaldo-Gareth Bale di kedua sayap Real tak bisa berbuat banyak malam itu. Bale bahkan menyia-nyiakan dua peluang emas di masing-masing babak.

Tinggal dua menit saja, dan Atletico akan keluar sebagai juara. Final Liga Champions adalah hal yang terlampau mewah untuk disinggahi Atletico berkali-kali. Baru dua kali mereka berhasil menjejakkan kaki di sana. Maka, prinsipnya cuma satu: lakukan atau tidak sama sekali.

Syahdan, Modric menembakkan umpan deras ke tengah kotak penalti Atletico. Sergio Ramos berlari menyambut umpan dengan gerakan zig-zag. Sesaat ia seakan melaju ke arah penyerang muda Alvaro Morata, tapi di saat akhir ia berubah arah. Godin, yang bertugas menjaga Ramos, kewalahan (mungkin juga kelelahan) mengikuti bek asal Spanyol tersebut. Godin justru terhambat sosok Morata di tengah jalan dan menabrak rekan setimnya sendiri.

Tanpa pengawalan, Ramos melompat tinggi dan menyundul bola sekuat tenaga ke sudut kiri bawah gawang Atletico. Gol.

Estadio da Luz meledak usai gol tersebut. Setengah isi stadion bergemuruh oleh sorak sorai pendukung Real. Rodriguez tertunduk lesu dengan dua tangan menutupi wajah. Miranda berjalan lunglai dengan tatapan kosong di matanya.

Godin berubah dari pahlawan jadi pemupus harapan. Satu sama, dan apapun bisa terjadi setelahnya.

Dahulu Manchester United pernah menjuarai Liga Champions 1999 setelah membalikkan ketertinggalan satu angka dari Munchen dengan dua gol di menit ke-91 dan 93. Atletico tidak sesial itu. Pertandingan memasuki perpanjangan waktu, tapi semua tak lagi sama.

Mental Atletico runtuh seketika. Pemain Real sudah begitu kelelahan tapi tetap ada di atas angin. Berkali-kali mereka melancarkan serangan untuk menyudahi permainan. Real tahu, satu gol berikutnya akan menjadi penutup laga di Lisbon tersebut.

Menit ke-110, Di Maria menyisir sisi kanan pertahanan Atletico. Tiga orang dilewatinya dengan akselerasi tinggi. Sayang, tembakannya berhasil ditepis oleh Courtois. Namun, bola muntahan justru mengarah ke Bale yang segera melompat dengan seluruh sisa tenaga terakhir. Bale, yang sebelumnya telah berkali-kali kehilangan bola dan salah umpan karena kelelahan. Bale, yang mencetak gol penentu kemenangan Real atas Barcelona di final Copa del Rey sebelumnya.

Dengan sedikit sentuhan, Bale menghentikan kekuatan bola dan melesakkannya ke sudut kanan atas gawang Atletico. Permainan, benar-benar selesai kemudian.

Dua gol tambahan berhasil diraih Real lewat kaki kiri Marcelo dan penalti Ronaldo. La Decima jadi kenyataan, dan skor 4-1 ada di tangan. Malam yang kelewat sempurna bagi Real.

Lagi-lagi, kita menyaksikan mimpi seorang remaja kandas di tengah jalan. Dahulu, ada remaja bernama Valencia. Juga asal Spanyol, juga menjuarai liga setelah menembus dominasi Real dan Barcelona. Mimpinya terus terbangun perlahan lewat senjata-senjata bernama Pablo Aimar atau Gaizka Mendieta.

Dua kali Valencia menembus final Liga Champions, pada 2000 dan 2001, dan keduanya berujung dengan kekalahan. Setelahnya, Valencia memang sempat menjuarai liga pada 2002 dan 2004, tapi mimpi untuk menjadi yang terbaik di Eropa tak pernah terwujud hingga kini. Para pemain terbaiknya harus dijual untuk menjaga kestabilan ekonomi klub, dan popularitas mereka hanya berlangsung sesaat.

Remaja Valencia berhasil melabrak dominasi, tapi urung membangun dinasti. Sesuatu yang kita takutkan kembali terjadi pada seorang remaja bernama Atletico.

Atletico adalah berkah dan harapan yang ditunggu-tunggu para penggila sepak bola Spanyol, dan bahkan dunia. Semua menunggu hadirnya liyan yang bisa meruntuhkan tembok tinggi bernama Real dan Barcelona. Bukan sekadar meruntuhkan, tapi juga membersihkan puing-puingnya.

Langkah itu dimulai dengan menjuarai Liga Europa pada 2010 dan 2012. Kemudian, sukses berlanjut dengan raihan Piala Super Eropa 2012, Copa del Rey 2013 serta La Liga 2014. Hanya butuh satu raihan lagi untuk mengukuhkan mimpi Atletico: Liga Champions.

Dengan trofi Liga Champions di tangan, akan lebih mudah bagi pelatih Diego Simeone untuk mempertahankan dan membeli pemain-pemain terbaik bagi Atletico. Ada kebanggan tersendiri kala bermain dalam seragam juara Eropa. Loyalitas terjaga, pemasukan meningkat. Semua akan berjalan begitu indah dan dinasti bisa saja terbangun secara perlahan.

Kini, ada potensi bagi Atletico hanya untuk menjadi gangguan sesaat, tetangga yang berisik kalau kata Sir Alex Ferguson. Siapa yang bisa menjamin top skor tim Diego Costa akan bertahan di musim-musim selanjutnya? Siapa yang berani berkata bahwa dalam dua atau tiga tahun ke depan Atletico akan tetap menjuarai liga?

Alhasil, yang besar akan semakin besar, dan jurang disparitas akan terus terbentuk karenanya. Skenarionya sudah hampir tertebak. Ronaldo kembali meraih Ballon d’Or tahun depan, Real kembali memecahkan rekor transfer, dan remaja Atletico akan semakin tersingkir kembali ke rumahnya selama ini: papan tengah klasemen.

Namun, tak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan. Mungkin saja seorang syekh asal Timur Tengah tiba-tiba membeli Atletico dan mewujudkan mimpi yang tertunda untuk menjadi juara Eropa.

Mungkin saja.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di media online GeoTimes.co.id.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top