Tarian Menuju Bawah Sadar

Pentas teater-tari To Belong atau Suwung.
Pentas teater-tari To Belong atau Suwung. Felix Jody Kinarwan.

Sekiranya empat tahun telah berlalu sejak pertemuan perdana Akiko Kitamura dengan Slamet Gundono di Surakarta, Jawa Tengah. Pengalaman itu begitu berkesan bagi Akiko hingga menuntunnya pada sebuah renungan spiritual. Ia pun memulai pencarian akan sesuatu yang asing, tapi begitu dekat dalam keseharian; tak tampak, tapi terasa nyata dan berkelindan.

Inilah yang mendorong diadakannya pentas teater-tari To Belong atau Suwung di Goethe Institut Jakarta, pada 16-17 Desember 2014. Teater Garasi dan Wati Gandarum bekerja sama mewujudkannya sebagai ajang penghormatan bagi Slamet yang meninggal dunia di usia 48, Januari lalu. Penyakit diabetes yang diderita Slamet berujung pada komplikasi yang mengganggu fungsi jantung, hati, paru-paru dan ginjal.

Slamet adalah seniman dalang kontemporer kelahiran Tegal yang gemar memainkan wayang suket (rumput) dalam tiap pertunjukannya. Ia adalah kontradiksi dunia seni. Dengan badan tambun dan berat sekitar 150 kilogram, ia dikenal sebagai penari lincah dan pendongeng andal. Saat mendalang, ia juga kerap memasukkan unsur teatrikal, musik, dan bahkan seni rupa.

Di sisi lain, Akiko adalah koreografer asal Jepang yang telah melanglang buana. Sebelumnya, berbagai karya tari Akiko telah dipentaskan di mancanegara, entah di Asia, Eropa ataupun Amerika. Setelah berjumpa dengan Slamet, ia kian yakin untuk mewujudkan proyek kolaborasi Indonesia-Jepang yang memadukan beragam disiplin seni.

“Saat bertemu dengan Gundono, saya memintanya bercerita soal tubuh dan jiwa, serta dialog dengan mereka yang telah mati. Lalu dia membuat cerita yang berdasarkan pada kisah ibunya yang telah lama meninggal dunia,” kata Akiko.

Lalu Akiko membuat tarian berdasarkan cerita tersebut. Ia juga mengundang beberapa seniman Indonesia lain untuk ikut terlibat. Direktur artistik Teater Garasi, Yudi Ahmad Tajudin, diajak jadi dramaturg atau penggarap naskah. Selain itu, ada pula pesinden Endah Laras dan penyanyi hip-hop Mohamad Marzuki alias Kill the DJ.

Ada tiga penari asal Solo yang mewakili Indonesia, yaitu Danang Pamungkas, Luluk Ari dan Rianto Dewandaru. Mereka bekerja sama dengan para penari asal Jepang, yaitu Kana Ote, Llon Kawai dan Yuki Nishimura.

Sebelum mereka tampil, Akiko membuka pentas sembari menari perlahan berlatarkan video percakapan dengan mendiang Slamet beberapa tahun silam. Tak lama, masuklah Endah yang segera berdendang dengan nada pilu.

“Lagu yang sedang dinyanyikan itu tentang suwung. Ini konsep spiritual Jawa yang menjelaskan situasi transisi,” kata Yudi. “Secara harfiah, suwung itu tempat, keadaan yang kosong, tapi bukan berarti tak berisi.”

Bagi Yudi, lagu ini bisa jadi jawaban atas kegundahan Akiko selama ini soal trans, kondisi di luar batasan fisik dan logika manusia yang ingin diaplikasikannya dalam tarian.

Kemudian suasana berubah gelap sebelum muncul animasi Slamet sedang bermain ukulele. Matanya terpejam, dan asap pekat keluar dari kepalanya. Ia seakan sedang di bawah alam sadar, dan terlihat begitu menikmatinya.

Para penari masuk satu per satu. Mereka bergerak tak beraturan, tapi tetap elegan. Lalu musik menghentak kian cepat hingga tarian semakin liar. Mereka memutar, melompat, menggeliat, jatuh, bangkit, geram, terhenyak, dan lain sebagainya. Tak terprediksi, tapi padu dalam harmoni.

Musik terus bertransisi, membawa nuansa riang, gaduh, syahdu atau bahkan mencekam. Para penari tak jua berhenti, mengikuti arus yang mengalir entah ke mana. Mereka bagai kesurupan. “Dari kenyataan-kenyataan yang tampak berlawanan ini, maka seorang penari harus bisa membayangkan, melakukan lompatan logika dan lompatan keyakinan,” kata salah seorang di antaranya.

Dari sana, Akiko menemukan jawabannya. Sebelumnya, ia meletakkan logika pada dasar tariannya. Namun ia kerap melupakan rasa.

“Setiap penari dari Indonesia yang saya temui menekankan pentingnya rasa saat sedang menari. Itu sungguh menginspirasi saya,” kata Akiko. “Itu membawa kita pada hubungan spiritual, entah dengan alam, masa lalu dan sebagainya yang membawa kelegaan besar dalam diri.”

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 29 Desember 2014.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top