Teater Dalam Pusaran Krisis Sinetron Nasional

Ilustrasi.
Ilustrasi. Sumber: Remotivi.

Pada awal perkembangan industri televisi, pekerja teater punya andil besar dalam membidani kelahiran sinetron bermutu. Terhentinya regenerasi pekerja teater di layar kaca berimbas pada anjloknya kualitas sinetron kita.

Ada satu masa saat sebuah generasi pekerja teater di Indonesia mampu menyokong pertumbuhan pesat industri sinetron nasional, yang, sayangnya, kemudian ikut jeblok saat perkembangan seni teater tersendat di awal abad ke-21.

Masalah utama sinetron hari-hari ini mungkin dapat tergambarkan cukup jelas dari kehidupan si culas Ratna.

Setelah beberapa tahun bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Astrid, tak terhitung sudah berapa kali Ratna mengutil barang dan membohongi majikannya tersebut. Ia membawa pulang setrika “rusak” yang sebetulnya masih berkondisi prima, mengambil sisa uang belanja seenaknya, hingga hanya memberi makan Putri – anak tunggal Astrid – mi instan sehari-hari.
Karena sibuk bekerja, Astrid tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia kadung percaya dan menyerahkan segalanya pada Ratna. Hingga kemudian tipu daya Ratna terbongkar oleh kecurigaan Sarah, ibu dari Astrid yang kerap berkunjung ke rumah.
“Bu Sarah ngapain muncul tiba-tiba tadi ya? Gagal (jadinya) ngambil jam tangan Bu Astrid. Wah, (kalau) Bu Sarah pulang, sudah, (saya) ke kamar Bu Astrid lagi, ambil jam tangannya,” ujar Ratna pada diri sendiri.

Kisah di atas muncul di salah satu episode dalam antologi Film Televisi (FTV) Sinema Pintu Taubat yang tayang di Indosiar pada periode 2012-2016. Episode yang dimaksud berjudul “Pembantu yang Tidak Bersyukur”.

Cerita soal Ratna ini, dalam penayangannya, menunjukkan begitu banyak klise dan cacat logika yang ironisnya telah jadi bagian tak terpisahkan dalam produksi FTV dan sinetron di Indonesia. Salah satu contohnya adalah stereotip pada kelompok marjinal tertentu, atau pada asisten rumah tangga di kasus Ratna.

Selain itu, alur cerita yang ada juga kerap mengada-ada, seakan-akan logika tidak penting asalkan bisa menuju konklusi sesuai rencana. Ini diperparah pula dengan kemampuan teknis para aktor atau aktris yang sering kali hanya pura-pura paham caranya berakting di depan kamera.

Lantas, wajar saja bila kualitas FTV dan sinetron kerap dipertanyakan karena dengan konstan ia terus mencoba menghina akal sehat kita.

Data KPI memang menunjukkan penurunan jumlah aduan publik yang cukup signifikan, dari 19.146 aduan (2014), 8.539 aduan (2015), hingga 5.387 aduan (2016). Sanksi KPI pun mengalami tren yang sama, dari 266 sanksi pada 2015 menjadi 175 sanksi pada 2016. Namun demikian, tren ini tidak serta merta berarti kualitas program siaran telah mengalami perbaikan signifikan. Apalagi mengingat penilaian terhadap sinetron dan infotainment yang bahkan untuk bisa dibilang “kurang berkualitas” saja sulit.

Sejak dua tahun silam, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan sejumlah universitas telah melakukan survei berkala untuk mengetahui indeks kualitas program acara televisi. Hasilnya, sepanjang 2015 indeks kualitas program siaran televisi berada di angka rata-rata 3,38, dari skor tertinggi 5,00. Sinetron/FTV dan infotainment rutin berada di posisi dua terbawah dibandingkan program-program lainnya dengan nilai rata-rata adalah 2,72. Pada 2016, hasilnya tak jauh beda. Sepanjang tahun lalu, sinetron mendapat angka rata-rata 2,88. Sinetron dan FTV bahkan tidak bisa dikategorikan sebagai “kurang berkualitas” yang memerlukan skor 3,00.

Memang, kita bisa memperdebatkan indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian tersebut. Untuk sinetron, KPI menetapkan indikator yang terdiri dari “relevansi cerita”; “membentuk watak, identitas, dan jati diri bangsa Indonesia yang bertakwa dan beriman”; “menghormati keberagaman”; “menghormati nilai dan normal sosial di masyarakat”; “tidak bermuatan kekerasan”; “tidak bermuatan seksual”; “tidak bermuatan mistik, horor dan supranatural”; serta “menghormati orang dan kelompok tertentu”.

Sekilas, terlihat bahwa pelbagai indikator tersebut lebih terkait pada sisi penceritaan atau penggarapan naskah sinetron. Namun, persoalannya tak sesederhana itu.

Pada akhir abad ke-20, sesungguhnya publik sempat dimanjakan dengan ragam sinetron berkualitas yang dipelopori para pekerja teater di awal kelahiran industri televisi. Para jagoan panggung itu bermigrasi untuk mencari peruntungan ekonomi, hingga tanpa disadari, industri mengeksploitasi bakat mereka tanpa henti tanpa memberi timbal balik nan setimpal.

Saat regenerasi bakat jalan di tempat, kelangsungan kelompok-kelompok teater yang ditinggalkan pun jadi pertanyaan dan industri televisi terpaksa ikut kena imbasnya.

Bisa dikatakan, para pekerja teater itu pergi dan tak pernah benar-benar kembali.

Migrasi pekerja teater
Perkembangan teater kontemporer Indonesia tak lepas dari berdirinya Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki di Jakarta pada 10 November 1968 yang kemudian menjadi sarana unjuk gigi para kelompok teater terbaik Tanah Air di zaman itu seperti Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra, Teater Populer pimpinan Teguh Karya dan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer.

Di saat yang sama, banyak pentolan teater mulai mencoba peruntungan di dunia film yang menawarkan pemasukan berlipat untuk menjaga kelangsungan kelompok teater mereka. Banyak yang sukses, dan bahkan, beberapa di antaranya kemudian lebih dikenal sebagai sineas sepanjang hidupnya.

Misalnya saja Teguh, yang sejak pertama terjun ke dunia film pada 1960an hingga meninggal pada 2001, sukses mengumpulkan 54 Piala Citra, termasuk kala ia menyutradarai film Doea Tanda Mata (1984) dan Ibunda (1986). Karier Arifin di dunia film pada 1970an hingga 1990an awal juga penuh kesuksesan. Pada periode tersebut, ia kerap berperan sebagai penulis naskah ataupun sutradara film. Beberapa karyanya adalah Suci Sang Primadona (1977), Serangan Fajar (1981) dan, tentu saja, film kontroversial Pengkhianatan G30S/PKI (1982).

Di sisi lain, industri televisi juga mulai tumbuh dengan lahirnya TVRI pada 1962. Stasiun televisi ini diperkirakan menikmati masa keemasannya pada periode 1970-1980, kala ia berhasil memenuhi sepertiga tayangannya dengan film impor.

Namun, larangan siaran iklan di TVRI pada 1981 oleh Presiden Soeharto membuat ia mesti menghadapi kesulitan finansial yang mendorong jatuhnya kualitas siaran dan, akhirnya, membuka jalan bagi berdirinya berbagai stasiun televisi swasta sejak akhir 1980an. Kroni-kroni Soeharto mulanya mendominasi pendirian stasiun-stasiun baru tersebut.

Semua diawali lahirnya RCTI pada 1987, disusul TPI dan SCTV pada 1990, ANTV pada 1993, Indosiar pada 1995, hingga Trans TV pada 1998.

Di saat yang sama, belanja iklan televisi terus meningkat pesat, dari Rp 51,12 miliar pada 1990 hingga menyentuh Rp 613 miliar pada 1993 dan Rp 1,6 triliun pada 1995. Pada 1997, ketika badai krisis ekonomi mulai menyerang, angkanya bahkan telah mencapai Rp 2,6 triliun.

Iswadi Pratama, pendiri Teater Satu Lampung, mengakui bahwa para pekerja teater pun akhirnya tergiur mencicipi kue industri televisi.

“Itu juga karena mereka butuh banyak tenaga kan. Karena mulai berkembang, mereka butuh pekerja seni, aktor dan lain sebagainya dalam jumlah besar. Nah, ini terjadi migrasi memang. Orang-orang teater kemudian terjun ke televisi dengan bayaran yang cukup menggiurkan,” kata Iswadi saat diwawancara pada pertengahan Juni 2017.

Pada 1988, Teater Populer sempat menggarap sinetron untuk TVRI berjudul Pulang. Di sini, Dedi Setiadi berperan jadi sutradara, sementara beberapa pemain terkenal juga turut serta dalam produksi, entah Didi Petet maupun Niniek L. Karim.

Putu Wijaya dari Teater Mandiri bahkan berhasil membuat sinetron berjudul Dukun Palsu yang meraih predikat serial komedi terbaik di Festival Sinetron Indonesia (FSI) 1995. Setahun berselang, ia kembali masuk nominasi FSI 1996 sebagai pengarang cerita, penulis skenario dan sutradara terbaik melalui sinetron Perlu Ada Sandiwara.

Seperti kata Iswadi, industri televisi menawarkan apa yang sulit didapatkan seorang aktor atau aktris di dunia teater: kemapanan ekonomi. Di sisi lain, tak bisa dimungkiri bahwa tuntutan industri juga membawa setumpuk konsekuensi.

Degradasi kualitas sinetron
Sigit Hardadi mencoba berpikir realistis. Setelah lulus dari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (D3)—kini bernama Institut Kesenian Jakarta (S1)—pada 1984, ia lebih memilih untuk fokus mengembangkan karier di dunia film dan televisi alih-alih menjadi dosen di almamaternya tersebut. Dari sudut pandang ekonomi, pilihan itu lebih menjanjikan baginya untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Pada awal abad ke-21, Sigit sempat muncul di sinetron Tali Kasih (2000) dan Pernikahan Dini (2001-2002) yang tayang di RCTI. Kini, ia lebih banyak dikenal orang sebagai Datuk Abu, tokoh yang diperankannya dalam sinetron 7 Manusia Harimau yang juga disiarkan di RCTI.

Menurutnya, dalam sekali pengambilan gambar di sinetron itu saja ada empat tim yang bergerak bersamaan. Masing-masing tim memegang tiga kamera, karena itu para aktor dibatasi ruang geraknya. Mereka harus menjalankan blocking sesederhana mungkin hingga para kru tak perlu mengubah pengaturan lampu dan sebagainya. Sekali take, selesai, lanjut yang berikutnya.

Stripping ini kan gila-gilaan. Dulu saya pernah main dalam FTV pada 1990an, satu episode berdurasi satu jam bisa dibikin selama tiga minggu. Lama-lama makin cepat, jadi hanya dua minggu. Lama-lama jadi satu minggu, itu pun sutradaranya sudah kebakaran jenggot. Sekarang, satu hari bisa bikin dua episode, bahkan hampir tiga episode,” kata Sigit saat wawancara pada Juli 2015.

Di sisi lain, Sigit berujar bahwa minimnya jumlah sekolah akting dan sanggar teater di Indonesia sejalan dengan terbatasnya jumlah aktor berkualitas untuk bisa memenuhi tuntutan industri film ataupun televisi. Karena itu, banyak yang terjun ke dunia seni peran secara autodidak. Sayangnya, menurut Sigit, banyak dari mereka yang kerap tidak menghargai proses, atau menurut bahasanya, tidak sabar untuk cepat terkenal.

“Sekarang, banyak pemain muda yang secara kedisiplinan agak memprihatinkan. Misalnya saat shooting sinetron, dipanggil datang jam 9, tapi dia datang jam 10. Begitu sampai lokasi pun dia tidur. Saat dibangunin malah ngamuk. Jadi, kesannya shooting itu enggak dibayar,” kata Sigit.

Aktor kawakan Roy Marten juga mengungkapkan hal senada. Ia berkata, ada perbedaan besar antara aktor dan aktris sinetron yang autodidak dan yang pernah berkecimpung di dunia teater, entah soal etos kerja maupun kemampuan teknis saat pengambilan gambar.

“Memang berbeda. Pertama, mereka menguasai dialog-dialog panjang. Kemudian, blocking mereka luar biasa. Kalau main, temponya juga pasti bagus,” kata Roy saat wawancara pada Agustus 2015. “Yang sekolah dan enggak sekolah kan kelihatan.”

Sementara itu, Iswadi merasa wajar bila pemain teater punya etos kerja lebih baik karena mereka terbiasa mengerjakan segala sesuatunya sendiri dengan segala keterbatasan yang ada, terutama dari sisi finansial.

Selain itu, menurutnya pemain teater sedari awal telah mendapat pembekalan yang cukup soal keaktoran sehingga punya dasar yang kuat saat mesti bermain di film ataupun sinetron. Idealnya, Iswadi merasa seorang aktor harus paham metode akting ajaran mahaguru teater dunia, Konstantin Stanislavski, sebelum terjun ke dua industri tersebut.

“Kita lihat, tidak semua aktor atau aktris di film Indonesia itu memang benar aktor atau aktris. Kebetulan mereka dianugerahi tampang atau fisik yang memang punya daya jual cukup baik, tapi sesungguhnya mereka tanpa skill,” kata Iswadi.

“Industri-lah yang menyulap mereka menjadi aktor. Artinya, kehadiran mereka di sana, lebih besar pertimbangan bisnisnya daripada kualitasnya.”

Karena itu, Iswadi merasa perlu tercipta hubungan mutualisme antara industri film/sinetron dan dunia teater. Misal, sebuah kelompok teater dapat mengirimkan beberapa anggotanya untuk bermain dalam sebuah film dengan timbal balik mendapatkan dukungan finansial untuk beberapa produksi pementasan teaternya ke depan. Anggota teater tersebut tentu tetap mendapat bayaran setimpal atas perannya di film itu.

Ini penting karena industri pun membutuhkan kelompok-kelompok teater tersebut untuk membina bakat-bakat baru demi menjaga kelangsungan ke depan.

“Untuk kelompoknya, paling tidak ada dukungan supaya mereka tidak mati. Paling tidak untuk satu tahun, misalnya, mereka punya modal untuk tetap berproduksi,” kata Iswadi.

Sayang, selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Banyak jagoan teater yang ditarik ke dunia film dan sinetron hingga tercemplung lama di sana, utamanya karena tawaran finansial yang menggiurkan pada pribadi si aktor dan aktris, tanpa ada apresiasi setimpal untuk kelompok teater yang telah membesarkan namanya sejak awal. Karena itu, kelompok-kelompok teater yang ada akhirnya terbengkalai dan terhambat eksistensinya.

Terlebih lagi, kelompok-kelompok teater di Indonesia kerap bergantung pada kehadiran satu tokoh, entah Rendra, Teguh, Arifin, Putu maupun Nano. Alhasil, saat para tokoh tersebut wafat atau kadung kehilangan stamina untuk berproduksi di usia senja, nasib yang sama niscaya akan menimpa grup asuhannya masing-masing.

Kini, dari sekian nama besar tersebut, hanya Nano dengan Teater Koma-nya yang masih rutin berproduksi setiap tahun. Sementara itu, karena Putu sudah sepuh dan kerap sakit-sakitan, Teater Mandiri asuhannya pun mulai jarang muncul di permukaan.

Bila tren ini terus berlanjut, rasanya dunia teater akan kian terjepit saja, dan mau tak mau tayangan sinetron bakal terus menghina akal sehat kita.

***

Referensi
Anwar, Achmad Syaeful. 2012. Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008. Depok: Universitas Indonesia.
Armando, Ade. 2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia: Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Hutari, Fandy. 2015. Sandiwara dan Perang: Propaganda di Panggung Sandiwara Modern Zaman Jepang. Yogyakarta: Indie Book Corner.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di media online Remotivi.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top