Saya Viriya Paramita Singgih, penulis dan wartawan. Seperti banyak orang lainnya, perjalanan menulis saya tak bisa dilepaskan dari kegemaran saya membaca sejak kecil.
Cinta pertama saya adalah Harry Potter and the Sorcerer’s Stone karya J.K. Rowling yang saya lahap saat SD. Namun, saya justru mulai menulis karena tertawa tanpa henti saat membaca karya-karya Adhitya Mulya dan Raditya Dika pada masa SMA. Tiba-tiba, saya tak puas hanya membaca karya orang lain. Saya juga ingin bercerita.
Bermodal kenaifan, saya masuk Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada 2009. Saya berniat kuliah jurnalistik agar setelah lulus bisa jadi wartawan sepak bola. Bayangan bisa digaji untuk menonton sepak bola betul-betul menggiurkan bagi saya saat itu.
Nyatanya, tak perlu menunggu lulus kuliah, saya sudah mencicipi jadi wartawan sepak bola saat kerja libur di Kompas.com pada pada Juli-September 2011. Namun, pekerjaannya cukup membosankan. Hampir setiap hari saya mesti membuka situs olahraga luar negeri dan menerjemahkan belasan artikel ke bahasa Indonesia. Hanya sesekali saya mendapat penugasan ke lapangan, salah satunya saat harus meliput laga Indonesia melawan Turkmenistan pada 28 Juli 2011.
Untungnya, saya punya kebebasan menulis feature. Hal ini saya manfaatkan betul untuk belajar menulis sepak bola dengan panjang dan analitis, entah soal Lionel Messi, Jose Mourinho, atau Juventus.
Lama-kelamaan, saya jadi makin tertarik menulis apa saja, tak hanya sepak bola. Saya senang ke lapangan, mengobrol dengan narasumber, dan menceritakannya kembali lewat tulisan. Saya jadi jatuh cinta pada jurnalisme itu sendiri.
Saat kuliah, saya sempat mendirikan majalah independen bernama Sembilan pada akhir 2011. Di sana, saya jadi pemimpin redaksi, editor, sekaligus reporter. Saya dan teman-teman rajin bikin tulisan yang mengkritisi kebijakan kampus. Di sisi lain, tanpa diduga, saya diangkat jadi redaktur pelaksana majalah UMN Insight terbitan marketing kampus pada awal 2012. Jadilah saya sempat mengurus dua majalah kampus dengan gaya berbeda di saat bersamaan.
Menjelang akhir masa kuliah, saya bekerja magang di BeritaSatu Media Holdings (BSMH), tepatnya pada Juli-September 2012. Kala itu tulisan hasil liputan saya diterbitkan langsung di situs BeritaSatu.com dalam bahasa Indonesia, sebelum kemudian diterjemahkan kantor dan diterbitkan di koran The Jakarta Globe dalam bahasa Inggris. Dua media itu berada di bawah naungan BSMH.
Setelah lulus sidang skripsi pada Juli 2013, saya mencoba menambah kembali pengalaman dengan bekerja magang di kantor berita Reuters pada Agustus hingga November. Kali ini, saya coba mengasah kemampuan bahasa Inggris serta belajar melihat isu dari sudut pandang pembaca global, karena isu yang terlampau lokal pasti tidak akan laku di Reuters.
Selesai magang di Reuters, saya mendapat ajakan dari editor saya di BeritaSatu.com dahulu untuk masuk ke sebuah media baru. Rencana awalnya, media ini akan jadi edisi mingguan bagi koran legendaris Sinar Harapan. Seiring berjalannya waktu, ia berubah format jadi majalah dan mengambil nama The Geovanie Times, sebelum berubah lagi menjadi GeoTimes.
Saya lantas bekerja di GeoTimes sejak November 2013 hingga Februari 2015. Di periode ini saya banyak menulis soal teater. Saya dipercaya karena memiliki latar belakang bermain teater sejak kuliah, tepatnya sejak 2010. Selain itu, saya juga diberi kebebasan menulis feature soal hampir apa saja, entah lingkungan, film, atau bahkan Islamofobia.
Di masa ini, saya pun mendapat kesempatan menulis buku untuk pertama kalinya bersama rekan sekantor, Tito Dirhantoro. Kami pergi ke Papua untuk meliput 12 guru relawan yang dikirim Pertamina Foundation untuk mengajar di berbagai daerah di sana. Hasilnya, jadilah buku Ayo Sekolah, Papua! yang terbit pada Agustus 2014.
Mulai Maret 2015, saya beralih jadi penulis dan pekerja teater lepas. Saya manfaatkan waktu yang ada untuk mengirim tulisan ke berbagai media alternatif, termasuk Cinema Poetica, IndoProgress, dan Pandit Football. Saya juga sempat mengajar teater di beberapa sekolah, serta terlibat di dua pementasan besar Teater KataK pada 2015: Kebun Ceri hasil adaptasi karya Anton Chekhov dan Hamlet hasil adaptasi karya William Shakespeare.
Pada Juli 2015, saya iseng mengirimkan tulisan untuk program hibah buku Pindai. Sebulan berselang, keluar pengumuman bahwa saya jadi pemenangnya. Alhasil, kumpulan hasil reportase saya sejak 2012 diterbitkan dalam buku berjudul Menjejal Jakarta: Pusat dan Pinggiran dalam Sehimpun Reportase pada November.
Saya melamar kerja di The Jakarta Post pada Agustus 2015 karena ingin belajar menulis bahasa Inggris lebih jauh lagi, sembari mencari jalan untuk memiliki karier jurnalistik internasional. Saya diterima, menandatangani kontrak pada November, dan resmi bekerja di sana mulai awal 2016.
Setelah menjalani pendidikan dasar dan menjadi calon wartawan, saya ditempatkan di tim online The Jakarta Post. Saat itu saya kerap meliput isu-isu terkait hak asasi manusia. Namun, pada Juli 2016 saya dirotasi ke desk bisnis koran. Di sana saya belajar mendalami hal-hal yang sebelumnya selalu saya hindari: pasar saham, perbankan, industri manufaktur, dan sebagainya.
Ternyata, saya justru diangkat jadi wartawan tetap pada Oktober 2016 di desk bisnis karena dianggap menunjukkan kinerja yang baik. Saya mulanya mendapat pos liputan tetap di Bursa Efek Indonesia (BEI). Namun selewat sebulan, saya kembali dipindahkan ke beat energi dan pertambangan. Jadilah sejak itu saya menulis hal-hal terkait listrik, minyak dan gas bumi, serta komoditas tambang.
Pada Maret 2018, saya mendapat tawaran untuk mengikuti tes masuk ke kantor berita Bloomberg News. Saya mencoba peruntungan dan mengikuti tahapan-tahapan yang ada. Pada pertengahan April, saya resmi diterima Bloomberg dan segera mengajukan pengunduran diri dari The Jakarta Post.
Saya mulai bekerja di Bloomberg pada pertengahan Mei 2018. Di sini, pos liputan utama saya adalah Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Istana Negara. Saya mesti belajar lagi dari awal, utamanya untuk mendalami isu-isu terkait ekonomi makro dan moneter, serta membiasakan diri mengirim laporan singkat secara cepat dan akurat ke kantor. Di The Jakarta Post, saya bisa lebih santai karena tulisan saya untuk koran yang tenggatnya sore atau bahkan malam hari.
Saya mendapat kesempatan meliput hal-hal besar selama di Bloomberg, termasuk soal kesepakatan divestasi Freeport-McMoRan, Pilpres 2019, serta pengumuman pemindahan ibu kota negara. Karena itu, saya sangat bersyukur.
Walau begitu, saya mengundurkan diri dari Bloomberg pada akhir 2019 untuk beralih kembali menjadi pekerja lepas hingga kini. Setelah menjadi wartawan ekonomi dan bisnis selama 3,5 tahun, saya ingin mengambil napas sejenak dan lebih banyak menulis sesuatu yang benar-benar saya suka, entah terkait seni, budaya, atau kisah manusia dalam keseharian.
Pada November 2020, saya diajak Evi Mariani, mantan redaktur pelaksana The Jakarta Post, untuk terlibat dalam proses pembentukan proyek jurnalisme publik bernama Project Multatuli. Saya cocok dengan proyek ini karena ia fokus memberi suara pada mereka yang sering dipinggirkan dan memberi ruang untuk laporan mendalam. Proyek ini diluncurkan pada Mei 2021, dan sejak itu saya bekerja di sana sebagai wartawan penuh waktu.