The Jakarta Post: Prolog

Calon wartawan The Jakarta Post angkatan 2016 bersama Mba Maria Hartiningsih.
Calon wartawan The Jakarta Post angkatan 2016 bersama Mba Maria Hartiningsih (tengah).

Semua bermula saat saya bergerilya mencari tempat magang pada pertengahan 2012. Pilihan awal saya jatuhkan pada Kompas dan Tempo, dua media senior dengan reputasi menjulang. Namun, mendadak saya berubah pikiran karena sebuah obrolan santai dengan Mas Andreas Harsono.

“Kalau di media tersebut, jenjang karier kamu ke depan sudah jelas. Dalam 10 atau 20 tahun, mungkin kamu akan jadi redaktur. Tapi kalau kamu coba di media berbahasa Inggris, pilihan kamu akan lebih luas,” kata Mas Andreas saat saya bertamu ke kantor Yayasan Pantau di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Saya bimbang.

“Ya, tapi tergantung seberapa besar mimpi kamu, sih.”

Singkat cerita, beberapa minggu kemudian saya telah mulai bekerja magang di The Jakarta Globe. Walau bahasa Inggris pas-pasan, saya bermodal nekat saja.

Toh nyatanya di sana saya tetap diwajibkan menulis dalam bahasa Indonesia. Sehari-hari, tulisan saya diterbitkan di BeritaSatu.com. Hanya beberapa artikel terpilih yang diterjemahkan dan naik cetak di The Jakarta Globe.

Namun, obsesi saya untuk bekerja di media berbahasa Inggris dimulai di sana.

Saya bersama Mas Heru Andriyanto, mentor di The Jakarta Globe, pada September 2012.
Saya bersama Mas Heru Andriyanto, mentor di The Jakarta Globe, pada September 2012.

Untuk memperbaiki kemampuan Inggris, saya mendaftarkan diri di Wall Street English (WSE) cabang Ratu Plaza pada Agustus 2013. Saya cocok dengan jadwal kursus di sana: sesuka hati.

Jadi, ada 68 unit atau tingkatan di WSE. Di tiap unit, kita mesti menyelesaikan tiga lesson dan satu encounter class sebagai ujian kenaikan tingkat. Tiap lesson bisa kita kerjakan di speaking center WSE kapan saja kita mau, asalkan sesuai dengan jam kerja WSE. Barulah kita harus menyesuaikan jadwal untuk mengikuti encounter class, yang idealnya dilakukan sebulan dua kali.

Masalahnya, karena terlalu bebas saya jadi suka bablas. Kalau sedang rajin, saya bisa datang ke WSE seminggu tiga kali. Kalau sedang malas, tiga minggu sekali pun sudah syukur.

Namun, perlahan saya merasa mulai berkembang di sana. Apalagi, saya masuk WSE di bulan yang sama dengan saya diterima kerja magang di kantor berita Reuters.

Saya magang selama tiga bulan di Reuters, dari Agustus hingga November 2013. Di sana, saya belajar banyak dari para wartawan asing seperti Michael Taylor, Fergus Jensen, Kanupriya Kapoor, Randy Fabi dan Jonathan Thatcher.

Mulanya memang sulit karena saya tak familiar dengan isu-isu yang Reuters angkat, seperti keuangan, perbankan, ataupun energi. Belum lagi, interaksi sehari-hari di kantor juga kebanyakan dilakukan dalam bahasa Inggris, kecuali dengan beberapa wartawan lokal seperti Mba Rieka, Mba Detta atau Mas Janeman. Namun di situlah saya terpaksa untuk belajar, dan belajar.

Perlahan saya mulai berani bicara dalam rapat, bercanda dengan para wartawan asing, dan yang terpenting, memahami topik apa yang sekiranya menarik untuk dibaca pembaca internasional serta tema apa yang konteksnya terlalu lokal.

Saya bersama Michael Taylor, Fergus Jensen dan Mba Detta di kantor Reuters pada November 2013.
Saya bersama Michael Taylor (kiri), Fergus Jensen (kanan) dan Mba Detta (belakang) di kantor Reuters pada November 2013.

Selepas dari Reuters, saya bekerja di media baru bernama GeoTimes setelah diajak oleh Mas Didit, mantan redaktur di BeritaSatu.com dahulu. Saya bertahan di sana selama satu tahun tiga bulan, sebelum memutuskan untuk beralih jadi penulis lepas. Kenapa? Karena saya mengincar masuk The Jakarta Post.

Lowongan masuk reporter baru The Jakarta Post dibuka pada Agustus 2015. Saya segera mengirimkan surat lamaran dan CV. Sembari menunggu jawaban, saya menghabiskan waktu di atas panggung bersama Teater KataK.

Selewat beberapa bulan, panggilan tak kunjung datang. Saya pasrah. Mungkin memang belum jalannya ke sana. Saya mulai mencari opsi lain. Namun tiba-tiba, saya diminta datang ke kantor The Jakarta Post pada Oktober.

Sepanjang bulan itu, saya mesti melakoni tiga tes wawancara, serta masing-masing satu tes bidang, psikologis dan kesehatan. Yang terberat adalah sesi wawancara terakhir bersama Pemimpin Redaksi Meidyatama Suryodiningrat atau yang akrab disapa Pak Dimas.

Selama setengah jam berada di ruangannya, pertahanan saya serasa runtuh diterjang berbagai pertanyaan tajam.

“Dalam lima tahun ke depan kamu mau menikah? Hahaha.”

“Jadi selama beberapa bulan terakhir kamu menganggur saja? Enggak malu ya sama orangtua kamu?”

“Lalu kalau enggak diterima di sini, kamu mau ngapain?”

Banyak hal lain soal keluarga, pilihan hidup, dan pandangan ke depan yang ditanyakan pada saya. Seluruhnya dilontarkan Pak Dimas dengan gaya khasnya yang slengean dan arogan. Saya merasa sesi wawancara itu terasa lebih seperti uji mental sekaligus cara untuk melihat bagaimana saya bereaksi dalam tekanan. Mba Pita, HRD The Jakarta Post, terus saja mengamati saya tajam sembari sesekali mencatat selama sesi tersebut.

Yang pasti, setelahnya kepercayaan diri saya runtuh seketika. Saya merasa seakan apa yang telah saya pilih dan jalani selama ini sia-sia.

Belakangan, baru saya tahu kalau memang begitu cara Pak Dimas berinteraksi sehari-hari. Walau begitu, menurut cerita beberapa wartawan senior, sesungguhnya ia begitu memikirkan orang-orang di sekitarnya.

Ia adalah orang pertama yang selalu siap pasang badan bila The Jakarta Post diusik, seperti yang pernah terjadi beberapa kali saat ia menjabat sebagai pemimpin redaksi, entah kala koran itu mendukung Joko Widodo di Pilpres 2014 atau kasus karikatur ISIS setelahnya.

Kemudian, saya menandatangani kontrak pada November 2015 dan efektif bekerja di The Jakarta Post pada Januari 2016.

Tak lama setelah saya masuk, Pak Dimas nyatanya harus pergi. Ia ditunjuk sebagai direktur utama kantor berita Antara. Pak Endy pun dipanggil kembali dari masa pensiun untuk menggantikan Pak Dimas sebagai pemimpin redaksi. Walau hanya sempat bertemu sesaat, tapi Pak Dimas telah meninggalkan kesan cukup dalam bagi saya pribadi.

Calon wartawan The Jakarta Post angkatan 2016 (minus Reza) bersama Pak Dimas.
Calon wartawan The Jakarta Post angkatan 2016 (minus Reza) bersama Pak Dimas (tengah).

Selama dua bulan pertama, saya dan delapan calon wartawan lain wajib mengikuti beragam kelas di kantor, entah soal dasar-dasar jurnalistik ataupun penulisan bahasa Inggris. Di luar itu, secara bergantian kami diminta membantu proses proofreading koran dari sore hingga tengah malam.

Kami juga wajib memilih satu topik untuk liputan bersama satu angkatan di akhir kelas. Kebetulan kami memilih tema soal mati di Jakarta. Untuk itu, kami mesti berkeliling ke berbagai kuburan dan rumah duka, mewawancarai tukang rias mayat dan para tokoh agama, dan sebagainya. Liputan ini cukup berkesan. Apalagi saya mesti menjalaninya di tengah suasana Imlek.

Setelahnya, pada Maret 2016, saya dan teman-teman mulai dibagi ke berbagai desk untuk menjalani on-the-job training. Tantangan sesungguhnya ada di sini.

Saya dan Sepsha kebagian masuk redaksi online, sementara yang lainnya masuk ke tim koran: Fachrul dan Reza di desk City, Moses dan Winda di National, serta Adhit, Winny dan Vany di Business.

Karena berada di tim online, saya dan Sepsha bisa kebagian meliput apa saja tanpa ada desk pasti. Namun, kebanyakan liputan saya adalah soal isu politik, hukum dan keamanan, sementara Sepsha soal bisnis.

Kami memulai dengan was-was, tak yakin apa yang menanti kami di depan. Sungguh, biarpun saya dan Sepsha sebelumnya telah bekerja sebagai wartawan, tapi bekerja di media bahasa Inggris adalah hal baru untuk kami.

Saya merasa benar-benar memulai dari nol kembali, terutama soal kecepatan dan kemampuan menyusun kerangka tulisan.

Sebelumnya, di GeoTimes saya bekerja untuk tim majalah. Karena itu, saya terbiasa menulis panjang, antara 500-600 kata. Untuk tulisan feature, saya bahkan biasa menulis lebih dari 1.000 kata. Belum lagi saat menulis lepas. Saya pernah mengirim tulisan soal seniman Putu Wijaya untuk Pindai.org pada Desember 2015 sepanjang 4.000 kata.

Karena itu, saya merasa kesulitan di awal saat harus membuat tulisan-tulisan ringkas sepanjang 200 kata untuk redaksi online The Jakarta Post. Kasarnya, saya terbiasa bertele-tele, sementara berita online menuntut kita untuk langsung ke tujuan. Ringkas, padat.

Di sisi lain, sebelumnya saya kadung telah menemukan ritme dan gaya khas ketika menulis dalam bahasa Indonesia. Saya percaya diri dengan tulisan saya, dengan pilihan kata dan presentasi ceritanya. Kata-kata telah menjadi bagian dari kebanggaan saya sebagai wartawan.

Saat menulis dalam bahasa Inggris, yang terjadi benar-benar sebaliknya. Saya jadi lelet. Diksi saya terbatas. Saya mengerti ide besarnya, tapi belum khatam bagaimana menyajikannya. Saya kehilangan rasa percaya diri pada tulisan sendiri.

Mau tak mau, saya mesti mulai membiasakan diri. Saya coba lebih banyak membaca tulisan-tulisan Inggris dan mencari gaya yang sesuai. Saya pun jadi lebih rajin datang ke WSE, hingga kemudian saya menamatkan unit terakhir di sana pada pertengahan Juni lalu.

Saya cukup bangga dengan kelulusan saya dari WSE, mengingat sebelumnya saya pernah dua kali kursus bahasa Inggris – masing-masing saat SD dan awal kuliah – tapi saya tinggalkan begitu saja karena malas.

Saya lulus dari Wall Street English (WSE) pada pertengahan Juni 2016.
Saya lulus dari Wall Street English (WSE) pada pertengahan Juni 2016.

Pada akhir Juni, saya mulai merasa nyaman bekerja sebagai wartawan online The Jakarta Post. Ritmenya sudah terasa stabil. Kepercayaan diri pun telah membaik. Tapi itu tak lama, karena di awal Juli, saya dan teman-teman seangkatan harus kembali dirotasi.

Mulanya, saya benar-benar berharap bisa menghindari desk Business. Sungguh, saya sama sekali tak tertarik dengan angka, serta berbagai istilah keuangan dan perbankan yang njelimet itu. Namun bagai kena tulah, di sanalah saya ditempatkan.

Mulai 1 Juli 2016, saya pun bekerja sebagai wartawan bisnis bersama Moses. Sementara itu, Fachrul dan Winny masuk ke desk National, Sepsha dan Adhit ke City, serta Winda, Vany dan Reza ke tim online.

Alhasil, kini saya tengah berusaha jatuh cinta pada bisnis dan segala hal menakutkan di sekitarnya.

Kalau kata Moses, teman seperjuangan, “Kita pas bayi tadinya enggak bisa jalan, terus sekarang bisa jalan. Dulu kita enggak bisa ngomong, sekarang kita bisa ngomong. Bisalah. Pokoknya bisa.”

Entahlah. Saya tak tahu lagi harus apa selain berusaha. Saya sudah sejauh ini, dan tantangan seharusnya hanya akan membuat kita jadi lebih baik lagi.

Selain itu, saya percaya, kadang kita harus berani mengambil hal yang lebih besar dari kita agar kita bisa ikut terbawa besarnya.

Bagikan

4 thoughts on “The Jakarta Post: Prolog”

  1. Oh jurnalistik…maap baru baca 😀 mas vir, ada kontak gak? saya tertarik juga nih pgen berkarir di dunia jurnalistik. Saya kebetulan sedang kuliah sastra inggris.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top