Perempuan punya bentuk perjuangannya sendiri di tiap generasi. Sejak era kolonialisme Belanda hingga Reformasi di Indonesia, mereka kerap terjepit sistem sosial budaya dan norma yang mempersempit ruang gerak di masyarakat.
Inilah yang coba diangkat dalam pentas Monolog 3 Perempuan di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, pada 11 Oktober 2014. Happy Salma jadi produser, sementara Agus Noor berperan sebagai sutradara.
Menariknya, mereka mencoba menggabungkan fragmen dari tiga karya sastra lintas generasi. Ada Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Masing-masing diceritakan kembali melalui sudut pandang berbeda para tokoh di sekitar pusaran cerita.
Misalnya saja, ada tokoh Anneliesse dari kisah Bumi Manusia yang diperankan oleh Olga Lidya. Anneliesse adalah anak kedua dari Nyai Ontosoroh, perempuan yang dikucilkan masyarakat karena jadi gundik seorang pria Belanda bernama Herman Millema.
Walau begitu, Nyai Ontosoroh tak berpasrah diri begitu saja. Untuk melawan penghinaan, ia belajar banyak hal hingga bisa diakui kembali sebagai seorang manusia. Ia belajar tata niaga, hukum, bahasa Belanda dan sebagainya. Ini berbanding terbalik dengan sosok Anneliesse yang rapuh karena pernah diperkosa oleh kakaknya sendiri, Robert.
“Robert Millema, kakakku sendiri, memperkosa aku. Sejak itu, tak ada lagi kehidupan dalam diriku. Aku merasa bingung, takut, jijik,” kata Anneliesse.
Hal yang sama dialami pula oleh Nayla, yang diperankan oleh Sha Ine Febryanti. Sejak kecil, Nayla tak merasakan kasih sayang ayah. Kepergian sang ayah meninggalkan duka mendalam pada diri ibu. Karena itu, ia mendidik keras Nayla agar tumbuh besar jadi perempuan mandiri.
“Mama cuma mau kamu kuat, karena kehidupan di luar sana begitu bangsat,” begitulah nasihat sang ibu seperti yang ditirukan Nayla.
Namun sang ibu tak tahu, bahwa salah seorang kekasihnya pernah datang ke rumah dan memperkosa Nayla di usia sembilan tahun. Karena itu, Nayla tumbuh jadi sosok skeptis nan labil dalam hidupnya. Ia bahkan pernah berhubungan dengan sesama perempuan bernama Juli ketika remaja. Setelah berpisah dengan Juli, Nayla merasa hampa.
“Saya enggak menyangka bisa merasa begitu kehilangan seperti ini,” ujar Nayla.
Rasa kehilangan juga dirasakan betul oleh Nyai Kertareja, salah satu tokoh dari kisah Ronggeng Dukuh Paruk yang diperankan oleh Pipien Putri. Ia adalah orang yang mengasuh dan melatih Srintil (Arlin Putri) jadi ronggeng atau penari kebanggaan Dukuh Paruk, sebuah desa kecil di Banyumas. Namun, Srintil ikut ditangkap pihak keamanan setelah meledaknya Gerakan 30 September 1965 karena dianggap punya hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia.
“Dua tahun dalam tahanan membuat Srintil jadi sosok yang berbeda, asing. Ia seperti rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya,” kata Nyai Kertareja.
Para tentara memang memperkosa Srintil di tahanan. Karena itu, Srintil seakan kehilangan jiwanya. Kehadiran cinta pertamanya, Rasus, juga tak mampu membantu mengobati trauma dalam diri Srintil. “Srintil telah dihancurkan berkali-kali. Ia menanggung nasib buruknya sendirian,” kata Nyai Kertareja.
Tak bisa berbuat apa-apa, Nyai Kertareja dan Anneliesse berteriak memanggil Srintil dan Nyai Ontosoroh bergantian secara konstan. Perlahan semakin kencang. Terus seperti itu hingga mereka terdiam dengan sendirinya karena tak berdaya.
Di akhir cerita, Nyai Kertareja, Anneliesse dan Nayla masuk ke panggung bersamaan. Para perempuan lintas zaman terpaut satu sama lain dalam rasa sakit hati dan bebannya masing-masing. Walau begitu, kemudian mereka bisa menemukan penebusannya sendiri.
Seperti Nayla yang memilih memanjakan diri dalam duka dan pedihnya kehilangan. Ia menenggak anggur dan mulai menuangkan kisahnya dalam tulisan. Sementara itu Nyai Kertareja dan Anneliesse terus berusaha bangkit, menolak keras fakta bahwa selama ini hidup terus mempermainkannya.
“Mungkin aku memang kalah, tapi aku tidak akan pernah menyerah,” kata Anneliesse.
***