Katanya, karma adalah konsekuensi dari setiap tindakan kita di masa lalu. Ia menghadirkan pelunasan tepat waktu, tak terelakkan, dan tanpa kompromi. Salah satu contohnya bisa kita saksikan dalam lakon Opera Ular Putih oleh Teater Koma pada 3-19 April 2015 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Cerita berfokus pada kehidupan seekor siluman ular putih sakti yang telah bertapa selama 1.700 tahun. Selama ini, ia hidup berdampingan dengan sang adik, siluman ular hijau yang telah bertapa selama 500 tahun. Suatu hari, ular putih mengungkapkan hasratnya pada sang adik untuk hidup sebagai manusia. Ia iri, melihat kehidupan manusia yang penuh cinta dan cita-cita. Sementara hidupnya sendiri terasa begitu membosankan, hanya mengikuti perputaran alam hingga akhir zaman.
Setelah berhasil membujuk sang adik, ular putih pun menjalankan rencananya. Mereka menjelma jadi dua wanita jelita bernama Pehtinio dan Siocing dan hidup di dunia manusia, tepatnya di Kota Air. Tak hanya itu, Tinio bahkan menaruh hati pada Kohanbun, seorang asisten apoteker di Rumah Obat Sehat Sejahtera, dan berniat menikah dengannya.
Siocing tak habis pikir mendengar hal ini. Sebagai adik yang baik, selama ini ia selalu mengikuti kemauan Tinio. Namun, kenapa tiba-tiba Tinio ingin menikah dengan manusia? Bila harus begitu, kenapa pula harus dengan Hanbun?
Ternyata semua terjadi karena tautan karma. Sekiranya 900 tahun silam, tak sengaja Tinio tertangkap oleh pawang ular dan dibawa untuk dijual ke pasar. Seorang petani merasa kasihan dan membantu melepaskannya. Petani itu kini terlahir kembali sebagai Hanbun. Tinio yang cukup sakti untuk melihat kehidupannya yang lalu pun merasa berutang budi dan bermaksud melunasi seluruh utang karmanya pada Hanbun.

Karma memang terkait dengan perjodohan manusia. Perjodohan tak selalu dalam konteks pernikahan. Bisa pula seseorang menjadi teman, atau bahkan orangtua kita karena pernah berjodoh di kehidupan sebelumnya.
Dalam ajaran Buddha, ini dijelaskan lebih jauh. Kita dapat menghasilkan buah karma bila segala tindakan kita mengandung niatan sengaja. Bahkan sekadar pikiran jahat tanpa tindakan konkret juga masuk dalam perhitungan. Buddha pun tak lepas dari karma. Dalam sebuah cerita, seorang sepupu Buddha sempat mencoba membunuhnya dengan menjatuhkan sebuah batu besar. Aksi itu gagal, tapi kaki Buddha cedera karenanya. Lantas Buddha berujar, itu adalah buah karma yang harus diterima karena ia pernah mencoba membunuh saudara angkatnya di kehidupan sebelumnya.
Karena itu, tiap kesuksesan dan keberuntungan yang kita dapat di kehidupan saat ini bisa jadi adalah buah karma kita dari kehidupan lampau. Namun yang mesti disadari, tujuan menanam karma baik dalam ajaran Buddha adalah untuk memutus rantai kehidupan, bukan sekadar agar terlahir jadi manusia yang lebih baik atau dewa sakti di kehidupan selanjutnya. Seseorang dapat mencapai penerangan sempurna, berhenti bereinkarnasi, dan menjadi Buddha, bila persoalan karmanya telah tuntas. Bahkan Buddha Gautama mesti melewati jutaan reinkarnasi sebelum terlahir jadi boddhisatva atau calon Buddha.
Maka bisa dikatakan, ajaran Buddha tidak mengenal kata “takdir”. Tidak ada yang tersurat begitu saja dalam hidup manusia. Karena itu pula, penganut ajaran Buddha tak akrab dengan istilah penghapusan dosa. Manusia, binatang, ataupun siluman, diposisikan sebagai makhluk berkehendak bebas dan mesti menyadari konsekuensi dari tiap tindakannya. Apa yang telah ditanam dahulu, harus dibayar lunas pada waktunya nanti.
Alhasil, inilah yang membuat Tinio bersikeras untuk merebut hati Hanbun. Ia menurunkan hujan agar Hanbun kasihan dan rela meminjamkan payung. Esoknya, Hanbun menyambangi kediaman Tinio dan Siocing untuk mengambil payungnya kembali sekaligus berkenalan. Saat itulah Siocing mengajukan diri jadi makcomblang bagi Hanbun dan Tinio tanpa basa-basi. Siocing rela tak dibayar, dan justru memberi Hanbun 500 keping emas curian dari seorang raja korup untuk jadi modal pernikahan. Dengan begitu, Tinio merasa bisa membalas budi sekaligus memenuhi ambisi pribadi untuk hidup berkeluarga sebagai manusia seutuhnya.
“Kupinjam payung dari seorang manusia, sekaligus kupinjam nasibnya,” kata Tinio.

Ketiganya pun pindah ke luar kota dan mendirikan Rumah Obat Sehat Bahagia. Di sana mereka membangun reputasi sebagai pemilik toko obat yang gemar beramal dan membantu sesama karena kerap membuka praktik pengobatan gratis bagi warga miskin.
Sekilas, semua akan berakhir bahagia. Namun, kedatangan peramal Gowi dan tiga pengikut setianya, Aseng, Aheng dan Ameng, mengubah segalanya. Mereka adalah murid dari pendeta Bahai, seorang pembasmi siluman terkenal di wilayah kerajaan. Bagi mereka, siluman tak punya tempat di dunia manusia ataupun kahyangan. Bumi harus bersih, langit harus suci.
Segala cara pun dilakukan untuk membuka kedok Tinio dan Siocing. Hanbun terkena bujuk rayu Gowi untuk memberi arak kuning pada Tinio di malam perayaan Peh Cun. Saat itulah Tinio menunjukkan wujud aslinya hingga Hanbun mati terkejut.

Singkat cerita, Tinio nekad mencuri rumput sakti dari Gunung Suci dan berhasil menghidupkan kembali Hanbun. Bahai habis kesabaran dan mencoba mengurungnya dalam batok derma sakti, tapi itu gagal karena hanya siluman yang bisa masuk ke sana; anak Hanbun yang sedang dikandung Tinio menyelamatkannya. Namun setelah sang anak lahir, tak ada jalan lain, Tinio pun menyerahkan diri dengan sukarela.
Tinio pun menempuh jalan yang sama seperti Bhisma dalam kisah Mahabharata. Tautan karma membawa Bhisma pada pertemuan dengan Amba, wanita yang diboyongnya dari Kerajaan Kasi. Amba menolak dijodohkan dengan adik Bhisma, Wicitrawirya, karena telanjur mencintai Salwa. Namun saat kembali ke Kerajaan Kasi, Salwa pun menolaknya karena merasa telah kalah dari Bhisma. Di sisi lain, Bhisma menolak mempersunting Amba karena telah mengucap sumpah untuk tidak menikah seumur hidupnya. Alhasil, Amba mati dengan dendam membara pada Bhisma.
Dendamnya tak selesai sampai di situ. Amba terlahir kembali sebagai Srikandi yang memihak Pandawa dalam perang besar melawan Kurawa di Kurusetra. Pertempuran dahsyat terjadi. Bhisma yang kelewat perkasa seperti biasa berhasil membantai para musuhnya. Hingga kemudian ia melihat Srikandi membidikkan panah ke arahnya. Sesaat, Bhisma tercenung. Mendadak, ia teringat Amba.
Sejurus kemudian, lima anak panah Arjuna melesat dengan kecepatan mengerikan dan melabrak leher Bhisma. Ia wafat, setelah bermufakat dengan ajal yang dipilihnya sendiri. Ia pergi, setelah membayar utang karmanya pada Amba di masa lalu. Pada Amba, yang menjelma kembali dalam sosok Srikandi.
Di sisi lain, Tinio tak melawan kala Bahai berusaha menangkapnya. Mungkin karena ia tahu, ada yang belum usai dari tautan karmanya. Entah berapa ratus tahun yang mesti ia lewati dalam kurungan, tanpa bisa berjumpa dengan suami dan anaknya.

Namun kala ia mati nanti, Tinio tahu, masih ada kesempatan untuk bertemu kembali. Sebagai siluman ataupun manusia, cintanya tak akan binasa.
Lihat juga Kala Ular Putih Berhasrat Jadi Manusia.