Buat saya, masa-masa kuliah jurnalistik dahulu adalah periode hidup nan romantis. Dosen-dosen kerap bercerita soal pentingnya peran wartawan sebagai pelayan publik dan “anjing penjaga” demokrasi, soal berbagai tokoh jurnalistik yang mempertaruhkan nyawa di tengah usaha mencari fakta, serta karya-karya jurnalistik legendaris yang tak lekang oleh waktu. Semua itu selalu membuat saya takjub dan bersemangat untuk mengambil jalan menjadi wartawan.
Setelah lulus kuliah, perlahan saya memasuki periode realistis. Nyatanya, ada terlalu banyak cerita pahit yang tak pernah dibahas di ruang kelas perkuliahan dan hanya bisa ditemui di lapangan, entah oleh saya sendiri atau rekan-rekan wartawan lainnya. Bekerja bagai “anjing” dari pagi hingga pagi lagi tanpa apresiasi dan gaji yang setimpal, diminta meliput acara tak penting yang diadakan oleh pengiklan, dipaksa menulis berita sesuai kepentingan politik bos di kantor, dimaki narasumber karena editor seenaknya mengubah judul tulisan agar lebih sensasional dan bisa mendulang klik dan pembaca sebanyak mungkin, dituduh buzzer oleh buzzer, dan, setelah melalui itu semua, kena PHK karena alasan efisiensi.
Saya sendiri relatif lebih beruntung dibandingkan teman-teman wartawan lainnya karena bisa menghindari sebagian besar situasi yang disebutkan di atas. Namun, tetap saja seluruh cerita pahit itu membuat saya jadi skeptis dengan industri media. Setelah undur diri dari Bloomberg News pada akhir 2019, saya sempat memutuskan tidak mau lagi bekerja penuh waktu di media. Lebih baik menjadi pekerja lepas saja dengan pengaturan waktu dan keuangan yang lebih fleksibel, begitu pikir saya.
Hingga kemudian Mba Evi Mariani menelepon dan mengajak saya terlibat dalam sebuah proyek jurnalisme publik pada November 2020. Ia menjelaskan panjang lebar soal rencananya membuat media baru yang fokus memberi suara pada mereka yang selama ini terlalu sering diabaikan, yang memberi ruang untuk laporan mendalam, yang bergerak bebas tanpa disetir pengiklan atau pasar. Ia bilang, jalannya bakal tak mudah, tapi patut dicoba.
Saya mendadak kembali romantis.
Saya tanya, “Apa nama medianya?”
Ia jawab, “Project Multatuli.”