Kau tahu, ada banyak jalan menuju Roma. Tapi bagi banyak orang, hanya ada satu jalan menuju surga. Itu adalah jalanku. Bagiku. Juga jalanmu. Bagimu.
Saya ingat sebuah kejadian pada Juni 2015 yang membuat saya termenung cukup lama. Saat itu saya sedang menghabiskan waktu sendirian di dalam kamar rumah di Jakarta, duduk di lantai berseberangan dengan laptop di atas ranjang. Secangkir kopi hitam terletak di kanan, persis di samping asbak. Keduanya tak jauh dari dinding di bawah jendela yang menghadap jalan kompleks perumahan.
Jendela itu saya biarkan terbuka, hingga ragam suara dari luar bisa bebas lalu lalang di dalam kamar. Entah bunyi knalpot sepeda motor yang terlampau nyaring, obrolan dan tawa satpam kompleks yang membahana, ataupun suara lantang speaker masjid yang mengingatkan waktu sahur saat subuh. Itu hal biasa. Saya tak pernah benar-benar terganggu karenanya.
Hingga kemudian, terdengarlah suara khotbah yang begitu menggebu-gebu.
“Punya anak yang banyak, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, sampai 10 kalau masih kuat beranak. Masa, orang Islam anaknya cuma satu, orang Cina anaknya 20?”
Saya tekan tombol pause, menahan laju film yang sedang saya tonton kala itu.
“Entar lama-lama negara kita isinya bukan orang-orang kita, gimana tuh?”
Saya terdiam. Sejujurnya ini menggelikan. Seluruh argumen tersebut, yang entah berasal dari kitab mana, otomatis terpental dari logika saya. Namun tetap saja, pikiran saya melayang tak tentu arah.
Mendadak, saya teringat kejadian yang pernah papa saya alami lebih dari 10 tahun lalu. Saat itu, papa sedang mengunjungi sebuah lahan pemakaman di Gunung Gadung, Bogor, bersama seorang temannya. Di sana, mereka iseng berkeliling sekaligus melihat keadaan kuburan sebelum tiba Hari Raya Ceng Beng; waktunya ziarah kubur bagi orang Cina.
Berbagai persembahan diletakkan di atas makam oleh keluarga yang berkunjung ke sana, dari bunga, hingga beragam makanan yang bisa menggugah selera. Orang Cina memang punya tradisi membawa makanan favorit leluhurnya untuk dijadikan persembahan saat sembahyang. Banyak yang masih melaksanakannya, termasuk kedua orangtua saya yang beragama Buddha. Namun, tak sedikit pula yang mencibirnya sebagai perbuatan berhala.
Seorang pria di lahan pemakaman Gunung Gadung pun tampaknya berpikiran serupa. Tiba-tiba, ia bertanya iseng pada papa saya yang kebetulan ada di dekatnya. “Pak, memangnya itu makanannya bisa ‘sampai’ ya ke ‘atas’ sana?”
Papa saya terdiam sesaat. Lalu sembari melihat makam umat Kristiani, ia membalas, “Lalu, memangnya bunga-bunga yang di sebelah situ harumnya bisa tercium sampai ke ‘atas’ sana?”
“Beda dong. Bunga-bunga itu ditaruh sebagai tanda hormat, menunjukkan rasa bakti kita pada keluarga yang telah pergi.”
“Ya, sama saja, kan?”
Tak ada bedanya. Cerita soal perdebatan dua jenis persembahan dan khotbah agama di atas adalah cerita soal kompetisi. Bagaimana kita terus berlomba memamerkan yang kita percaya sebagai yang terbaik, terunggul, dan tak terbantahkan. Yang lain hanya liyan, orang-orang di luar kerumunan yang telanjur memilih jalan salah hingga harus menemui pertobatan sebelum kematian.
Lalu saya kembali asyik menonton film yang sesaat sempat terlupakan. American Hustle. Film keluaran 2013 yang terinspirasi dari operasi Abscam FBI untuk menangkap sejumlah politisi korup Amerika Serikat pada akhir 1970-an dan awal 1980-an.
Dalam film, Irving Rosenfeld dan Sydney Prosser, pasangan penipu kawakan, terpaksa bekerja sama dengan agen FBI, Richie DiMaso, sebagai upaya mendapatkan pembebasan bersyarat. Richie begitu bersemangat membayangkan potensinya jadi pahlawan di ujung jalan setelah memimpin operasi tersebut sendirian.
Sejak awal, Sydney menolak terlibat. Namun akhirnya ia mengangguk setuju agar bisa melenggang bebas bersama Irving. Ia bahkan berencana mendekati dan mengambil hati Richie agar suatu waktu bisa memanipulasinya kala situasi mendesak.
“Kita akan membutuhkan pilihan langkah lainnya. Percayalah padaku, dan kau akan berterima kasih padaku,” ujar Sydney.
“Kunci pada diri seseorang adalah apa yang mereka percayai, dan apa yang ingin mereka percayai.”
Di akhir cerita, FBI berhasil menangkap para pejabat publik korup. Irving dan Sydney pun berhasil mendapatkan kebebasannya setelah memanipulasi Richie yang terlampau menggebu untuk meraih “kejayaan”.
Memang, yang ingin kita percayai nyatanya kerap membutakan mata sendiri. Dan celakanya, hal semacam itu begitu sering terjadi hari-hari ini, di tengah situasi politik yang memanas jelang pemilihan kepala daerah.
Apalagi, kita hidup di tengah zaman kejayaan internet yang membuat kebohongan bisa begitu cepat menyebar ke seluruh pelosok negeri dan dirayakan dengan gegap gempita, saat orang lebih suka “membagikan tautan” dibanding “memeriksa ulang kebenaran”, saat stamina membaca banyak orang telah terkikis hingga empat sampai lima paragraf saja.
Akhirnya, semua seakan jadi cepat naik darah. Kala agama dijadikan bahan bakar beragitasi, kawan pun bisa jadi lawan hanya karena perbedaan sikap politik.
Beberapa minggu lalu, saya tertawa geli membaca status Facebook seorang kawan saya yang seorang anak band. Di situ, ia terlihat begitu kesal karena kawannya mesti bertengkar dengan kawan lain yang kerap memberi mereka pekerjaan manggung karena beda pendapat soal pasangan calon gubernur DKI Jakarta.
Alhasil, kemungkinan besar mereka bakal kehilangan salah satu sumber pendapatan rutin gara-gara pertikaian tersebut. Dan bukan tak mungkin, nafkah untuk keluarga masing-masing anggota band itu jadi tersendat karenanya.
Buat saya, sulit sekali rasanya mencerna hal ini. Tiap orang tentu berhak menentukan pilihan soal apa yang mereka percayai, dan apa yang ingin mereka percayai. Namun apakah itu benar-benar setara harganya dengan hilangnya persahabatan dan bahkan runtuhnya akal sehat?
Kalau Anda berani menjawab, “Iya,” saya kian yakin saja bahwa Pancasila memang benar-benar cuma utopia.
***