Yohanes Surya dan Mimpi Memajukan Bangsa

Pembangunan gedung Surya Institute, Gading Serpong, Tangerang (8/3/11).
Pembangunan gedung Surya Institute, Gading Serpong, Tangerang (8/3/11). Viriya Singgih.

Yohanes Surya pilih kasih dengan ketiga anaknya. Anak pertama ia didik dan beri bimbingan soal matematika secara intensif. Sementara yang kedua hanya ia bantu jawab pertanyaan yang sulit bila si anak menanyakannya langsung. Namun anak ketiga, hampir tak ia pedulikan dalam pembelajaran angka tersebut.

Alhasil, anak pertamanya telah menguasai ilmu matematika setara tingkat perguruan tinggi saat baru menginjak kelas 5 SD. Anak kedua pun tidak jelek hasilnya. Ia berhasil mendapatkan perunggu saat mengikuti olimpiade matematika. Penguasaannya akan matematika setara dengan pelajaran tingkat SMA, juga saat ia baru kelas 5 SD.

Namun, anak ketiga tidak seberuntung itu. Saat kelas 5 SD, ilmu matematikanya bahkan kalah lihai saat diadu langsung dengan anak-anak seangkatan dari daerah pedalaman nusantara. Hal ini terjadi karena tak ada kepedulian dari Yohanes sendiri untuk mendidik dan memberi motivasi mendalam pada sang anak.

Itu semua benar-benar terjadi, dan sengaja dilakukan Yohanes untuk bereksperimen soal cara mendidik yang baik pada anak.

“Hal ini saya lakukan untuk menunjukkan bahwa kepintaran anak tidak ada hubungannya dengan faktor gen. Anak yang gen-nya bagus sekalipun kalau tidak dilatih dengan baik ya tidak akan jadi juga tanpa kehadiran guru yang baik serta metode yang benar. Anak saya yang ketiga itu awalnya parah, tapi sekarang sudah saya latih lagi secara intensif sehingga menjadi lebih baik,” ujar Yohanes.

Semua bermula pada 1993 saat Yohanes dan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) pertama kali mengirimkan perwakilannya ke ajang olimpiade di Williamsburg, Virginia, Amerika Serikat. Pria berusia setengah abad itu berinisiatif membentuk TOFI bersama rekan-rekan seperti Agus Ananda, Roy Sambel dan Joko Saputro. Hal itu dilakukan sebagai bentuk keprihatinan karena tiadanya delegasi asal Indonesia sebelumnya di ajang tersebut.

Di kesempatan perdananya, perwakilan dari Indonesia berhasil meraih medali perunggu lewat Oki Gunawan. Setelahnya, TOFI pun secara konsisten membimbing dan mengirim perwakilan ke ajang olimpiade fisika internasional. Medali emas pertama akhirnya datang pada 1999 melalui Made Agus Wirawan.

Tidak sampai di situ, Yohanes terdorong pula untuk menggagas pelatihan khusus untuk para guru dan siswa di bidang matematika, fisika dan IPA. Maka, dibentuklah Yayasan Surya Institute pada 2006 lalu. Perjuangan untuk memajukan pendidikan di Indonesia didasarkan pada keyakinan Yohanes bahwa sesungguhnya tidak ada murid yang bodoh.

“Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang benar,” ujar Yohanes.

Oleh karena itulah, kala Bupati Tolikara di Papua, Jhon Tabo, meminta untuk memajukan pendidikan anak-anak di daerahnya pada 2009, Yohanes segera menyanggupi. Kemudian, sebanyak lima orang anak dari Tolikara dibawa Yohanes ke Surya Institute – yang kala itu masih terletak di Karawaci, Tangerang – untuk mengikuti program Prototype dan dilatih matematika secara intensif.

Hal ini segera diikuti oleh beberapa kabupaten lainnya di Papua. Mereka mengirimkan anak-anak yang dianggap memiliki kemampuan paling rendah untuk dilatih oleh Yohanes dan timnya. Akhirnya, dalam waktu kurang dari dua tahun, anak-anak ini berhasil menjuarai ajang olimpiade internasional di bidang matematika, sains dan robot.

Dalam mendidik anak-anak asuhannya, Yohanes menggunakan metode Gasing yang berarti gampang, asyik dan menyenangkan. Dengan metode tersebut, pelajaran matematika SD dalam enam tahun bisa dikuasai dalam tempo enam bulan saja. Sejak 2011, program Prototype diubah namanya menjadi Surya Intensive Program (SIP).

Lalu, langkah lebih jauh diambil Yohanes pada 2009 kala ia mendirikan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP). STKIP sendiri didirikan dengan tujuan memperbaiki wajah perekonomian Indonesia melalui tingkat pendidikan masyarakat yang lebih baik.

“Jadi waktu saya ke Papua pada 2008, saya bertemu dengan anak-anak Papua di pedalaman dan saya sedih sekali melihat mereka. Mereka sangat rendah kemampuan matematikanya. Maka, saya pikir harus ada terbososan, harus ada guru-guru yang baik untuk mereka. Guru-gurunya juga harus orang asli daerah sana,” jelas Yohanes.

“Tapi, orang sana mana mau jadi guru, untuk apa? Karena itu tunjukkan dulu kalau mereka mampu, latih dulu anak-anak kecilnya. Saat anak-anak itu berhasil jadi juara olimpiade, barulah rasa percaya diri mereka bangkit. Setelahnya, baru kita buat sekolah untuk mencetak guru. Kita cari anak-anak dari pedalaman, latih mereka untuk jadi guru. Itu ide awal saya membuat sekolah guru.”

Pada tahun ajaran 2012-2013 lalu, lebih dari 600 siswa lulusan SMA telah dikirimkan oleh 15 pemerintah daerah. Diharapkan, setelah lulus dari STKIP Surya, mereka akan kembali ke daerahnya masing-masing dan mengembangkan pendidikan di sana.

Namun, masalah tidak berhenti sampai di situ. Adaptasi kerap menjadi kendala bagi para siswa untuk mengikuti proses belajar mengajar di kota besar. Untuk itu, STKIP mewajibkan para siswanya mengikuti program matrikulasi selama setahun untuk mengejar ketertinggalan pendidikannya dan menyesuaikan gaya hidup dalam keseharian.

Walau begitu, poses adaptasi budaya dan gaya hidup ternyata tidak semudah yang diharapkan. Misalnya, Yohanes bercerita soal salah satu siswanya yang berasal dari Papua.

“Waktu itu ada yang naik taksi dari Tanjung Priok ke Serpong dan harus bayar 200 ribu. Padahal, dia cuma punya 75 ribu di dompetnya. Akhirnya mereka sempat bertengkar dan baru berhenti setelah dilerai salah satu pembina (dari sekolah) yang datang melunasi sisa pembayaran,” kata Yohanes.

“Hal itu terjadi karena berdasarkan budaya Papua, kalau seseorang telah menyerahkan semua yang dimilikinya saat itu ya berarti masalah selesai. Namun di sini kan tidak bisa seperti itu.”

Selain itu, para siswa kerap hanya mau berkumpul dengan rekan-rekan yang berasal dari daerah sama. Eksklusivitas yang terbentuk akhirnya membuat proses pembauran menjadi tersendat.

“(Proses pembauran) masih agak sulit dilakukan karena jumlah siswa dari Papua paling banyak. Kemarin sempat ada perkelahian antara anak dari daerah lain dan anak-anak Papua. Anak itu sikapnya arogan karena dia jago karate. Akhirnya dia dikeroyok sama anak-anak Papua, habislah dia. Masalah kelompok-kelompok ini sesungguhnya sensitif,” ujar Yohanes lagi.

Selain itu, paradigma siswa daerah terhadap masyarakat kota besar juga berpotensi menjadi kendala. Tommy Upetaya (23) siswa asal Papua jurusan matematika angkatan 2012 di STKIP Surya bahkan merasa harus berhati-hati saat sedang berjalan-jalan di kota besar seperti Jakarta.

“Banyak orang jahat di Jakarta, entah yang mencuri atau berbuat jahat lainnya. Tapi itu hanya menurut pandangan saya saja,” ujar Tommy.

Tommy sendiri merupakan salah satu perwakilan yang dikirim oleh pemerintah daerah Jayapura, Papua untuk menuntut ilmu di STKIP Surya. Ia bersama 14 orang rekan lainnya diharapkan nantinya akan kembali ke Jayapura untuk mengajar, entah di tingkat SD, SMP atau SMA. Lama waktu mengajar yang ada tergantung pada perjanjian siswa dengan masing-masing pemerintah daerahnya.

“Setelah selesai mengajar (di Jayapura), saya ingin melanjutkan pendidikan ke S2. Kalau kita bagus (berprestasi), nanti bisa diberikan beasiswa S2 lagi oleh pemda,” kata Tommy.

Lain lagi halnya dengan Stefanus Afi (20), siswa asal Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ia bisa dikirim ke STKIP Surya setelah mendaftar dan mengikuti berbagai tes, dari matematika hingga uji kesehatan. Namun, perbedaan bahasa sempat menjadi kendala baginya dalam pergaulan sehari-hari di Pulau Jawa.

“Awalnya saya sulit mengikuti bahasa di sini. Namun setelah beberapa bulan sudah mulai terbiasa,” kata Stefanus.

Akulturasi budaya memang tak semudah itu dapat terjadi dalam waktu singkat. Sehari-harinya, para siswa dari Papua dan daerah lainnya kerap terlihat bermain sepak bola pada sore hari di tanah kosong sebelah kampus sementara STKIP Surya di Serpong, Tangerang Selatan. Mereka juga biasa duduk bersantai di bawah pohon rindang yang ada di sekitar kampus sembari melepas obrolan satu sama lain.

Mira Rosalina (27), dosen mata kuliah Biologi Dasar dan Kimia Dasar di STKIP Surya, menjelaskan beberapa cara yang dilakukan kampus untuk mempercepat proses pembauran para siswanya.

“Di sini kan kita punya tiga asrama. Di masing-masing asrama itu ada beberapa pembimbing yang bertugas membantu mereka beradaptasi dengan lingkungan. Misalnya mereka suka diajak makan bersama dan lainnya. Selain itu, di kampus juga saat pemilihan kelompok untuk sebuah tugas, biasanya anak-anaknya dicampur dari berbagai daerah,” jelas Mira.

Selain itu, hal penting yang harus dilakukan seorang tenaga pengajar di sana adalah kelihaian menempatkan diri. Para dosen harus bisa memosisikan dirinya, entah sebagai pengajar atau sebagai sahabat di waktu yang tepat. Walau sulit, tapi Mira selalu berusaha untuk meminimalisasi pergesekan yang terjadi antara para siswanya.

Kemudian selain STKIP, Yayasan Surya Institute juga baru saja mendirikan Surya University pada 2013 lalu yang berfokus pada usaha pengembangan riset di tanah air. Oleh karena itulah Surya University mengumpulkan setidaknya 200 doktor sebagai tenaga pengajar dan memiliki 80 pusat riset sebagai fasilitatornya.

“Pada 2010, Indonesia cuma memiliki 15 paten internasional. Sedangkan, Cina punya 314.000. Kalau begini terus, Indonesia tidak akan maju. Kita harus membuat sebuah universitas yang mahasiswanya terus melakukan riset supaya menghasilkan banyak paten,” jelas Yohanes kembali.

Fakultas yang ada di Surya University pun berkutat pada berbagai variasi bidang teknologi, dari Fakultas Ekonomi Hijau dan Komunikasi Digital, Fakultas Energi Bersih dan Perubahan Iklim serta Fakultas Ilmu Kehidupan.

Dengan begitu, Yohanes berharap Indonesia dapat mencapai target Indonesia Jaya pada 2030 dan Indonesia Super Power pada 2045. Maksudnya, diharapkan Surya University dapat mencetak 30.000 Ph.D. di bidang riset dan teknologi pada 2030 sehingga bisa berkontribusi maksimal pada kemajuan bangsa.

Bila hal itu benar terjadi, anak ketiga Yohanes bisa berbesar hati karena telah menjadi bagian dari eksperimen untuk memajukan tanah airnya sendiri.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 14 April 2014.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top