Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya, dan juga bencana. Alam yang indah tak dibarengi dengan kepedulian untuk merawat serta menjaganya. Modernisasi, justru seakan jadi jembatan untuk bersama merusak lingkungan. Pesan (atau tamparan) ini disampaikan oleh anak-anak Teater Tanah Air dalam pentas Zero di Gedung Kesenian Jakarta pada 11 April 2014.
“Hai kawanku dari seluruh dunia. Cintailah alam, lingkungan dijaga. Gunung, sungai, lautan, rimba. Lestarikan Bumi. Damai sejahtera,” pesan anak-anak tersebut di atas panggung sembari bernyanyi dan menari.
Lantas, mereka pun bekerja sama menyatukan kepingan-kepingan puzzle yang berceceran hingga berhasil membentuk gambar Garuda Pancasila. Mereka seakan berusaha mengingatkan kita kembali akan dasar negara yang maknanya kerap terlupa.
Tak diduga, tiba-tiba muncul sesosok antagonis berbadan besar yang membubarkan keriaan yang tengah berlangsung. Tak senang dengan euforia yang ada, si antagonis serta merta mengusir anak-anak itu dengan cambuk dan menyandera mereka semua di belakang layar putih besar. Siluet yang tercipta terkesan mencekam dibalut dengan teriakan tak berdaya para bocah tersebut.
Sang antagonis lalu menghancurkan kembali keping-keping puzzle hingga Pancasila kembali kehilangan bentuknya. “Untuk apa lestari? Lebih baik swalayan, hotel, restoran, pencakar langit! Untuk apa alam? Pohon tak berjiwa!” ujarnya.
“Yang menentang tak akan menang, yang membangkang dibuang ke belakang.”
Di tengah keasyikannya bermonolog, ternyata seorang anak – sekaligus dalang di pementasan – berhasil melepaskan diri dari ikatan dan menyelinap keluar layar. Ia berusaha untuk mendekati si antagonis dan mengerjainya dengan sebuah petasan. Sontak, si antagonis tersungkur kena ledakan dan dalang segera membebaskan seluruh anak-anak lainnya.
Tersulut emosi, anak-anak itu terus berusaha untuk main hakim sendiri. Berkali-kali mereka ingin menghajar si antagonis, dan berkali-kali pula dalang menghentikannya.
“Kejahatan tidak usah dibalas dengan kejahatan. Kekerasan tidak bisa dibalas dengan kekerasan. Pakai dong kelembutan,” tegas si dalang.
Singkat cerita, si antagonis meminta maaf begitu rupa dan berjanji tak akan merusak lingkungan lagi.
“Sumpah, aku tobat!” ucap si antagonis sembari menangis.
“Tidak perlu sumpah, tobat saja!” balas dalang menimpali.
Anak-anak pun berunding sejenak, lalu menerimanya masuk dalam kelompok mereka. Tak lama, mereka asyik bernyanyi dan menari bersama seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Namun, ada satu hal yang belum terselesaikan. Garuda Pancasila masih terserak tak berdaya di ujung panggung menunggu inisiatif kita untuk kembali menyusunnya.
“Ayo penonton, yang cinta Bhinneka Tunggal Ika, bantu pasang kembali puzzle ini!” teriak dalang meminta bantuan.
Tak lama, beberapa anak turun dari panggung dan menyebar ke area bangku penonton. Mereka berusaha menarik beberapa anak kecil yang ada di sana untuk membantu penyatuan kembali keping Pancasila.
Setelah semua selesai, mereka pun bernyanyi kembali dengan riang. Hingga tiba-tiba sebuah UFO datang menyambangi Bumi. Lalu, turun dua astronot yang sedang mencari planet kosong untuk tempat pembuangan limbah nuklir.
Namun, dua orang tersebut terkejut melihat gambar Garuda Pancasila yang berdiri tegak di hadapannya.
“Komandan, ada getaran kehidupan, DNA kasih sayang. Di balik yang kosong kulihat sesuatu yang penuh. Wah, wah, wah, Pancasila,” ujar salah seorang astronot tersebut.
Menyadari kearifan lokal yang masih menyembul di tempat mereka berpijak, dua astronot tersebut segera mengurungkan niatnya dan meninggalkan Bumi. Ternyata, masih ada harapan menuju perubahan yang lebih baik ke depan.
Kisah dalam naskah Zero ini begitu sederhana dan mengena di saat yang sama. Anak-anak tersebut menyadari bahwa merekalah generasi penerus bangsa, sehingga tanggung jawab untuk menjaga alam ada di pundak mereka.
Pentas ini sendiri berlangsung tepat pada hari ulang tahun ke-70 Putu Wijaya, sang penulis naskah tersebut. Putu adalah sastrawan kelahiran Bali yang memiliki reputasi internasional. Berbagai tulisannya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Jepang, Arab, Thai dan Inggris.
Lebih lanjut, sejak berdiri pada 1988, Teater Tanah Air telah empat kali menjadi yang terbaik di dunia: pada 2004 di Jepang, 2006 di Jerman, 2008 di Rusia dan yang teraktual di India pada 2013. Atas segala prestasi internasionalnya tersebut, Teater Tanah Air bahkan diundang untuk tampil di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Eropa pada 2008.
Naskah Zero pulalah yang mengantar mereka jadi juara dunia di India lalu. Namun, beberapa modifikasi telah dilakukan dalam pementasan teraktualnya di GKJ tersebut yang juga sekaligus memeriahkan acara Pentas Kesenian Anak-anak (Peska) 2014 bertajuk “Mutiara Indonesia”.
“Di India, kami menggunakan puzzle gambar Mahatma Gandhi. Saat itu responnya luar biasa, penonton begitu marah saat sang antagonis menghancurkan puzzle tersebut. Saat dalang meminta mereka menyatukan kembali puzzle tersebut, mereka pun berlomba-lomba naik ke atas panggung,” ujar Jose Rizal Manua (59), pendiri Teater Tanah Air dan sutradara pentas Zero.
Di sisi lain, gambar Garuda Pancasila digunakan karena dianggap lebih menggambarkan kearifan lokal Tanah Air dan tepat unsur kekiniannya. Menjelang pemilihan umum presiden 2014, rakyat seakan diingatkan agar kembali memaknai Pancasila secara utuh.
“Seorang sutradara asal Jerman sempat memberi komentar atas pementasan kami di India lalu. Katanya, ‘Tempat kita tinggal berjarak hingga 5.000 kilometer jauhnya, tapi apa yang kalian tampilkan terasa begitu dekat,’” ujar Jose kembali.
Permasalahan global, memang tak bisa dibatasi ruang dan waktu. Setiap orang bisa dengan mudah bersimpati dan terpancing emosinya ketika melihat apa yang ia cinta dirusak begitu saja.
Seperti anak-anak Teater Tanah Air yang harus menarik penonton untuk menyusun kembali Pancasila yang tercecer begitu saja, kita tak bisa sendiri untuk menyongsong hari yang lebih baik di masa depan.
***